Salahuddin Wahid
Untuk kesekian kali sejak 2003 terjadi kerusuhan dan tindak kekerasan terhadap warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Bahkan, kali ini memakan korban tiga anggota jemaah itu meninggal dunia.Di layar TV kita bisa melihat bagaimana sejumlah besar warga menyerang sejumlah kecil anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sungguh memilukan. Tampak anggota Polri tak berdaya menghadapi serbuan massa karena jumlah mereka tak seimbang dengan jumlah massa. Kepolisian Pandeglang tak mau dianggap telah melakukan pembiaran. Mereka telah mengamankan beberapa tokoh JAI setempat sebagai tindakan antisipasi. Karena jumlah anggota Polri terbatas, tidak bisa mengatasi keadaan. Menurut mereka, menambah tenaga dengan mendatangkan bantuan dari tempat lain membutuhkan waktu lama.
Banyak yang risau terhadap masa depan Indonesia, tak hanya dalam kehidupan beragama, tetapi juga masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, yang hanya bisa berjalan baik jika hukum dapat hadir secara nyata dalam kehidupan. Apa pun bentuk suatu negara, ideologi apa pun yang dianut, apa pun sistem ekonominya, negara hukum adalah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi. Kalau dalam kasus Gayus dan lain-lain, hukum tunduk pada uang, kini mungkin hukum tunduk pada tekanan massa.
Tiga masalah utama
Ahmadiyah berada di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan dan JAI diakui secara hukum sejak 1953. Pada era Orde Lama dan Orde Baru tak pernah terjadi konflik fisik antara JAI dan pihak lain. Sering terjadi perdebatan JAI dengan Muslimin, tetapi berjalan dengan tertib. Baru di era Reformasi terjadi begitu banyak tindak kekerasan terhadap mereka. Melihat fakta itu, tentu kita sadar, amat sulit mencari pemecahan masalah keberadaan jemaah Ahmadiyah di sini.
Secara garis besar, ada 3 masalah utama yang kita hadapi: 1. Ahmadiyah dalam pandangan umat Islam di Indonesia; 2. hak hidup JAI di Indonesia; 3. perlindungan terhadap keamanan warga JAI dan harta mereka. Ketiganya saling berkaitan, terutama butir 2 dan 3. Melihat sudah sekian lama belum ada pemecahan yang bisa menghentikan tindak kekerasan, kita sadar masalahnya memang sungguh amat berat dan rumit.
MUI, Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lain sepakat ajaran . Ahmadiyah Qadiyan yang menganggap Ghulam Ahmad adalah nabi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Kebanyakan menggunakan istilah sesat dan menyesatkan. Di kalangan NU ada yang setuju istilah ini, tetapi ada yang tidak. Kelompok yang tak setuju mengusulkan istilah menyimpang. Selain itu, ada tuduhan Ahmadiyah punya kitab suci sendiri, yaitu Al Quran yang telah ditambah penafsiran Ghulam. JAI punya masjid sendiri untuk shalat Jumat dan tak mau shalat diimami Muslim kelompok lain. Kelompok Ahmadiyah memang eksklusif, tak berbaur dengan umat Islam lain.
Bagi mayoritas umat dan tokoh Islam, Ahmadiyah sudah dianggap bukan Islam lagi. Mereka menganggap Ahmadiyah menodai agama Islam dan menginginkan Ahmadiyah menyatakan diri bukan Islam. Perlu dikemukakan, ada sedikit tokoh Islam yang toleran serta tak punya pendapat dan sikap seperti kelompok mayoritas.
Hak hidup JAI di Indonesia
Banyak tokoh dan organisasi Islam di Indonesia menganggap Ahmadiyah telah menodai agama Islam dan meminta pemerintah membubarkan JAI berdasar UU No 1/PNPS Tahun 1965. Banyak aktivis HAM menganggap UU itu tak sesuai dan bertentangan dengan UUD yang telah mengandung substansi HAM. Sejumlah tokoh Islam (antara lain Gus Dur dan Dawam Rahardjo) dan beberapa LSM pegiat HAM mengajukan peninjauan UU itu ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Secara hukum dan politis, keberadaan UU ini jadi makin kuat. Namun, tampaknya pemerintah cenderung tak mau membubarkan JAI.
Ada yang mengusulkan agar Ahmadiyah menyatakan diri bukan Islam. Tentu mereka menolak. Ada yang mengusulkan kita meniru Pakistan sehingga pemerintah yang menyatakan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Rupanya yang mengusulkan ini lupa, Pakistan adalah negara Islam dan kita negara berdasar Pancasila.
Para aktivis dan organisasi pegiat HAM tentu membela hak hidup Ahmadiyah. Menurut mereka, sesuai UUD, warga dan organisasi Ahmadiyah punya hak hidup di Indonesia dan tak boleh dibubarkan atau dibatasi kegiatannya. Mereka menyesalkan pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali yang usul JAI dibubarkan.
Menghadapi banyaknya faktor yang saling bertentangan dan telah timbul konflik fisik antara JAI dan umat Islam, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Mendagri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008, yang terdiri atas enam butir. Bagi pemerintah, SKB itu jalan tengah yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Bagi pegiat HAM, tentu SKB itu tidak ideal.
Inti SKB ada pada butir kedua. Isinya: ”Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”.
Butir ketiga SKB berbunyi: ”Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Sanksi sesuai SKB bisa dilakukan sesuai UU No 1 PNPS yang hukuman maksimal bisa berupa pembubaran JAI, yang tampaknya tidak akan dijatuhkan.
Tampaknya sosialisasi SKB itu belum dilakukan secara serius. Mungkin tak banyak camat atau kepala desa yang menguasai SKB dengan baik, termasuk mereka yang daerahnya banyak warga JAI. Bisa jadi banyak juga kapolsek dan kapolres yang tak menguasai. Selain itu, tampaknya ada perbedaan penafsiran terhadap butir-butir SKB, yang bisa berdampak serius. Perlu dilakukan pertemuan untuk membuat penafsiran bersama. Penafsiran bersama itu perlu disebarkan seluas-luasnya supaya tak timbul ketidaksabaran umat Islam di lapisan akar rumput yang menuntut segera dilakukan pembubaran JAI. Ketidaksabaran itu amat berpotensi dihasut siapa pun juga.
Perlindungan warga JAI
Masalah paling mendesak adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada warga JAI dan hak milik mereka. Dahsyatnya serangan 6 Februari 2011 yang bisa dilihat dalam tayangan TV memang menyentuh nurani kebanyakan dari kita, tetapi bukan tak mungkin akan memicu kelompok yang tak mau kompromi dan merasa JAI sudah menodai Islam dan harus dibubarkan. Saya yakin, hampir semua umat Islam tak ada keinginan melakukan tindak kekerasan. Ada pihak yang memengaruhi mereka sehingga mereka terbawa keinginan tak positif itu. Mungkin mereka merasa sedang berjuang membela Islam yang sedang dirusak JAI. Warga di lapisan akar rumput harus dibina supaya tidak mudah terpengaruh aksi negatif itu.
Tentu ada data tentang konsentrasi warga JAI di berbagai tempat. Di daerah tersebut, kejaksaan, kepolisian, pemda, ulama, dan tokoh masyarakat setempat perlu mengadakan pertemuan untuk membahas potensi kekerasan terhadap warga JAI dan upaya mengantisipasi. Perlu dijelaskan isi dan tafsir yang benar terhadap SKB Ahmadiyah itu. Juga perlu dijelaskan, tindak kekerasan terhadap warga JAI tak sesuai ajaran Islam. Kepolisian di daerah yang banyak dihuni warga JAI juga harus dilatih khusus untuk menghadapi kejadian seperti di Cikeusik, termasuk dalam mekanisme mendatangkan bala bantuan dalam waktu cepat.
Proses hukum harus dilakukan terhadap mereka yang terlibat, khususnya pihak yang menggerakkan massa dan yang terlibat langsung dalam tindak kekerasan yang berakibat meninggalnya tiga korban itu. Harus juga diantisipasi potensi tekanan massa saat persidangan seperti yang terlihat pada persidangan di PN Cibinong terhadap terdakwa yang melakukan kekerasan terhadap hak milik JAI.
SALAHUDDIN WAHID Pengasuh Pesantren Tebuireng
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/09/04404321/.solusi..ideal.soal.ahmadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar