Kompas, Sabtu, 25 September 2010 | 03:07 WIB
Oleh Gede Prama
Di ruang minum teh, seorang murid bertanya ke gurunya. ”Mana jalan tercepat menuju pencerahan?” Gurunya bergumam, ”Minumlah tehmu.” Setelah teh habis, guru ini lagi-lagi bergumam, ”Sekarang cuci cangkirmu.” Hanya dengan mendengar pesan sederhana itu ternyata sang murid mendapat pencerahan. Bagi orang kebanyakan, cerita itu susah dimengerti. Namun, bagi yang lama bermeditasi, kisah itu mengagumkan.
Pencerahan tidak ada di tempat dan waktu yang jauh, setiap guru tercerahkan mengalaminya saat ini. Pencerahan teramat dekat, serupa buku. Karena teramat dekat, banyak yang tidak bisa membacanya. Pencerahan teramat sederhana, tetapi karena pikiran menyukai kerumitan, banyak yang tidak memercayainya. Mungkin itu sebabnya judul karya klasik Larry Rosenberg (2004) adalah Breath by Breath. Menyatu bersama tarikan dan embusan napas, temukan ketenangan, kelembutan, kesejukan. Baru kemudian mengisi dengan kasih dan kemuliaan.
Penderitaan buatan
Menggunungnya penderitaan manusia—dari penyakit badan, kejiwaan, sampai spiritual—sesungguhnya sebagian lebih ke penderitaan buatan sendiri, bukan alami. Sebutlah seseorang yang kalah dalam pemilihan umum kepala daerah. Kalah ialah penderitaan alami. Namun, marah-marah kepada pemilih, menuduh pemenang dan penyelenggara curang tanpa bukti, menyerang orang, dan akhirnya ditangkap polisi adalah penderitaan lebih besar yang dibuat sendiri.
Ini ciri khas manusia yang belum membadankan kesadaran, kesehariannya teramat sibuk menendang atau mencengkeram. Dukacita, kekalahan, dan hal menjengkelkan lainnya ditendang. Sukacita, kemenangan, dan hal menyenangkan lainnya dicengkeram. Padahal kehidupan serupa gelombang. Gelombang tinggi (baca: kesuksesan dan kemenangan) tidak bisa ditahan dengan keserakahan agar selalu tinggi. Gelombang rendah (kegagalan, kesialan) tak bisa dipaksa kesedihan agar cepat menghilang. Semua akan berputar alami.
Kesadaran dicengkeram, dibawa pergi oleh perasaan dan pikiran. Ini penyebab manusia ketika marah melakukan hal-hal berbahaya. Namun, melalui meditasi, perlahan-lahan kesadaran berpisah dengan pikiran dan perasaan. Kemarahan dan kebencian mirip mata pancing nelayan. Siapa yang menangkapnya susah sekali untuk lepas. Itu sebabnya, mata kesadaran diibaratkan dengan mata ikan yang terus-menerus terbuka. Dalam tidur, mata fisik boleh tertutup, tetapi melalui yoga mimpi, bahkan dalam tidur pun mata kesadaran sebaiknya terbuka. Artinya, kesadaran mendalam bisa membuat seseorang sadar dalam mimpi.
Kendati demikian, meditasi tak membuat seseorang bebas sepenuhnya dari masalah. Bahkan guru paling tecerahkan sekalipun, bila sampai putaran waktunya, akan tetap digoda masalah. Bedanya dengan orang kebanyakan, guru tecerahkan mengolah setiap masalah jadi berkah yang membunyikan bel kesadaran dalam diri. Seperti akar beracun diracik jadi obat.
Tiga jenis manusia
Maka manusia bisa dikategorikan dalam tiga jenis. Pertama, mereka yang melawan kemudian penuh penderitaan. Kedua, yang menyatu dengan setiap putaran kemudian mendapat kedamaian. Ketiga, yang mengolah kejadian menjadi bahan pencerahan.
Seorang sahabat asli Singapura yang bosan melihat keteraturan di negerinya bahagia sekali ketika pertama kali di Bali. Ia tersenyum melihat manusia mengendarai motor tanpa helm atau satu motor dinaiki empat orang.
Bila sahabat Singapura itu orang biasa, ia akan menendang kekiniannya sebagai warga Singapura yang menderita di tengah keteraturan dan mengira orang Bali bahagia. Jika ia guru tercerahkan, mungkin ia melihat pengalaman pencerahan. Keempat warga Bali di satu sepeda motor jelas sekali menyatu dengan tiupan angin, menemukan kedamaian dalam kekinian. Dalam pandangan guru tercerahkan, hidup adalah kasih sayang dalam tindakan. Kesederhanaan satu motor bukan penghalang berputarnya kasih sayang.
Problem manusia kekinian, baru bahagia bila memiliki yang dimiliki orang lain. Atau merasa akan bahagia ketika sejumlah keinginan tercapai. Banyak orang yang tidak berjumpa apa-apa dengan pendekatan ini, bahkan kesembuhan, kedamaian, keheningannya hilang. Diterangi cahaya pemahaman ini, dibanding memperparah kehidupan dengan menendang yang menjengkelkan serta mencengkeram yang menyenangkan, mungkin indah mengingat pesan guru yang bergumam, ”Minumlah tehmu.”
Memeluk lembut kekinian dengan ketenangan, keteduhan, keindahan kasih sayang itulah kesembuhan, kedamaian, keheningan. Mereka yang sudah sampai di sini akan memancarkan cinta ke delapan arah. Berbahagia melihat yang atas berbahagia, berdoa untuk kebahagiaan mereka yang masih di bawah.
Gede Prama Penulis Buku Pencerahan dalam Perjalanan: Menyirami Bibit-bibit Kesembuhan,Keteduhan, Kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar