Minggu, 06 Maret 2011

Demokrasi di Mata Mahasiswa dan Pelajar

(Tinjauan Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Pelajar)

Abstrak
Demokrasi berasal dari kara demos dan kratos/katein yang berarti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sejarah panjang pemerintahan Indonesia selalu mengalami pasang surut dalam tatanan demokrasi mulai dari pemerintahan orde lama, orde baru, dan kini orde reformasi. Dalam perubahan tatanan demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan derap perjuangan pelajar dan mahasiswa. Pemuda, pelajar, dan mahasiswa secara naluri selalu menjadi agen pengontrol (agent of control) dan agen perubahan (agent of change) demokrasi yang mewarnai percaturan politik di Indonesia. Karena pentingnya peran mahasiswa dalam mengontrol demokrasi di Indonesia, tidak mengherankan jika pemerintah orde baru berupaya menekan pergerakan mahasiswa yang selalu mengkritisi pemerintah melalui berbagai usaha yang pada intinya membatasi pergerakan mahasiswa dalam bidang politik dan memposisikan pelajar dan mahasiswa duduk manis dalam organisasi intra kampus dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun hal itu hanya bertahan dalam era orde baru hingga tahun 1998. Pada bulan mei tahun 1998 mahasiswa kembali turun ke jalan menduduki gedung DPR, menggulingkan rezim orde baru dan menggulirkan orde reformasi. Sejak orde reformasi mahasiswa kembali bebas mengekspresikan dirinya sebagai agen kontrol dan agen perubahan tatanan demokrasi hingga dihasilkan tatanan politik Indonesia pasca reformasi yang lebih demokratis yang diakui oleh dunia internasional.

Kata Kunci: Demokrasi, agen pengontrol, agen perubahan, politik  

Pendahuluan

Istilah ”demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena pada abad ke-5 SM. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.

Istilah ”Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Wilkipedia Indonesia, 2008). Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang independen dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.



Demokrasi, Mahasiswa dan Pelajar

Berbicara tentang demokrasi di Indonesia tidak bisa lepas dari gerakan mahasiswa dan pelajar. Gerakan mahasiswa (kaum terpelajar) berawal pada tahun 1908, dengan terbentuknya Boedi Oetomo. Boedi Oetomo merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Organisasi ini didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA. Wadah ini merupakan refleksi sikap kritis yang muncul akibat keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan organisasi, yaitu untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pendidikan, pertanian, peternakan dan perdagangan, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Seiring dengan perkembangan politik pada masa itu, Boedi berubah ke arah politik. Kehadiran Boedi Oetomo pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia yang disebut generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (selanjutnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Lahirnya pilihan organisasi melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu.

Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.

Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.

Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.

Ketika itu, disamping organisasi politik terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia ”generasi 1928”. Tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini pada masa itu adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928.

Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !

Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Para pejuang kemerdekaan Indonesia segera berinisiatif mewujudkan kemerdekaan. Indonesia segera berinisiatif mewujudkan kemerdekaan. Namun terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno, Hatta dan beberapa rekannya di satu pihak, dengan para pemuda seperti: Chaerul Saleh, Adam Malik, B.M. Diah, Wikana, dan rekannya di pihak lain.

Para pemuda menghendaki perebutan kekuasaan dari Jepang secepatnya, namun Sukarno dan kawan-kawan tidak menghendaki jatuhnya banyak korban. Para pemuda kemudian menculik Sukarno dan Hatta pada dini hari 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok untuk memaksa Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian selepas maghrib 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta berhasil dibawa kembali ke Jakarta.

Malam harinya, diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dihadiri wakil pemuda. Menjelang dini hari 17 Agustus 1945, teks proklamasi selesai dibuat dan ditandatangani Sukarno dan Hatta, mewakili bangsa Indonesia. Dengan didampingi Mohammad Hatta, pada pukul 10.00 WIB, 17 Agustus 1945, dibacakanlah teks proklamasi, yang menandai kemerdekaan Republik Indonesia. Esok harinya, PPKI bersidang di Gedung Kesenian Jakarta. Dalam sidang tersebut, Sukarno dan Mohammad Hatta terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sidang tersebut juga mensahkan Undang-Undang Dasar Negara. Dengan kemerdekaan Indonesia ini sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.

Setelah kemerdekaan suasana Indonesia pada awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik yang saling bertarung berebut kekuasaan. Pada saat yang sama mahasiswa sendiri lebih melihat diri mereka sendiri sebagai The Future Man ; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Dalam periode ini, pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini karena dipengaruhi oleh munculnya orientasi pemikiran untuk kembali ke kampus dan slogan kebebasan akademik yang membius semangat mahasiswa saat itu. Hanya sedikit perhatian diantara mereka untuk memikirkan masalah-masalah politik. Di sisi lain, ada pula perkembangan menarik yaitu terjadinya aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.

Namun demikian, secara pelan tapi pasti mulai muncul pada masa itu dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik dan aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Dalam masa (Demokrasi Liberal 1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan menjadi lebih bersifat underbouw partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.

Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI semakin bersinar dikala PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. Sebagai wujud kegembiraan namun sekaligus kepongahan, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI. Hal ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu oleh banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Persaingan ini mencapai puncak tatkala terjadi G30S/PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), seiring dengan upaya pemerintahan Soekarno untuk mengubur partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, kekuatan moral maupun kekuatan politik yang nyata.

Tragedi nasional pemberontakan G30S/PKI dan kepemimpinan nasional yang mulai otoriter akhirnya menyebabkan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan. Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendirian KAMI, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Pada masa ini lahir generasi 1966.



Peristiwa Malari

Tahun 1974 pada saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta ( 14 - 17 Januari 1974) terjadilah peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa Malari tidak terjadi secara mendadak, berawal dengan kedatangan Ketua Inter Governmental Group On Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk yang dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Tepatnya 15 Januari 1974 mahasiswa merencanakan menyambut kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Maka terjadilah demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Jakarta berasap dan karena situasi yang tidak memungkinkan, tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Peristiwa ini digerakkan oleh Hariman Siregar dan kawan-kawan.

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagian kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes tetap ada namun aksi-aksi itu pada umumnya tidak menimbulkan gaung yang berarti.

Pada saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa. Dengan mengangkat isu-isu penyimpangan politik, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat “lokal”.

Bermula dari niat pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan “berkampanye” di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian , upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.

Upaya tersebut dilakukan pemerintah agar dampak pergerakan mahasiswa dan pelajar tidak mengulangi kembali malapetaka 1974. Sementara ini mahasiswa mempertahankan gerakan aksi mereka sebagai gerakan moral semata. Artinya, bahwa gerakan mereka lebih menonjolkan perannya sebagai kekuatan moral dan kontrol kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan, dan bukan sebagai aksi yang berorientasi politik praktis, serta menghindarkan pengaruh vested interest kelompok politik tertentu yang ingin memperalat atau “mengendarai” gerakan mahasiswa.



NKK/BKK

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan NKK/BKK pemerintah mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Hal yang penting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Pada awal tahun 1980-an muncul kelompok-kelompok studi. Kenyataannya, kelompok studi lebih berfungsi sebagai information actions dengan tujuan the distribution of critical information bagi mahasiswa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.

Perbedaan kedua bentuk wadah ini adalah jika kelompok studi merupakan bentuk pelarian dari kepengapan kampus dengan ciri gerakannya yang bersifat teoritis, maka LSM menjadi tempat pelarian mahasiswa yang memilih jalur praktis. Dalam perkembangan berikutnya bermunculan pula berbagai wadah-wadah lain berupa komite-komite aksi untuk merawat kesadaran kritis mahasiswa. Beberapa kasus “lokal” yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dan sebagainya.

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Kebijakan SMPT menimbul pro kontra di kalangan mahasiswa. Dalam perkembangan selanjutnya banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini dalam eksperimentasi demokrasi. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri. Sehingga pada tahun 1994 munculah kembali Dewan Mahasiswa (Dema) di UGM yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Masih segar ingatan kita 10 tahun lalu, gerakan mahasiswa berhasil meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru. Tapi sekali lagi gerakan ini memakan korban dengan yang disebut tragedi semanggi dan kerusuhan mei yang cukup banyak menelan korban. Kerusuhan ini berawal dengan tertembaknya mahasiswa Trisakti Elang Mulya dan kawan-kawan, pada tgl 12 Mei 1998. Kemarahan masyarakat dalam peristiwa Trisakti menimbulkan amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita di berbagai media mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat.

Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah. Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Lengsernya Suharto harus diakui karena gerakan keberanian moral kaum muda Indonesia-terutama para mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran yang berpuncak dalam bulan Mei 1998 (Siregar, 2008).

Pasca Reformasi, Negara Indonesia menunjukan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi. Sebagai bukti yang nyata, Indonesia telah sukses melakukan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden (Effendy, 2008). Dengan tidak ada rasa terpasa rakyat dengan bebas memilih calon pemimpinnya. Selain itu kebebasan pers timbul seiring dengan tumbuh suburnya demokrasi di Indonesia. Ini memungkinkan Indonesia akan menjadi salah satu kiblat demokrasi di kawasan Asia.



Penutup

Melihat fakta sejarah, mahasiswa era tahun 2000 an seakan-akan mempunyai beban sejarah yang sangat berat. Dari mulai tahun 1908 sampai 1998 mahasiwa dan pelajar telah terbukti mampu membuat perubahan dan arah perkembangan demokrasi (dengan berbagai dampaknya) di Indonesia. Selain itu Mahasiswa Indonesia juga sangat identik sebagai agent of change alias agen perubahan. Anggapan itu merujuk pada sejarah aksi mahasiswa semasa reformasi yang bisa menggulingkan Soeharto ataupun era Orde Lama yang menjatuhkan Soekarno.

Era reformasi sudah berjalan 10 tahun. Terjadinya reformasi (dengan berbagai akibatnya) merupakan titik awal perkembangan demokrasi di Indonesia yang lebih hakiki. Terlepas dari pro kontra perkembangan demokrasi di Indonesia menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, Indonesia berhasil membangun sistem politik yang demokratis. Keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ”tangan besi”. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi (Anonim, 2008). Namun keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi tidak banyak disadari oleh bergai pihak membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia.

Lalu bagimana sikap mahasiswa dan pelajar ketika negeri ini sudah lebih demoktratis. Menurut penulis mahasiswa dan pelajar cukup mengawal dan mengawasi proses demokrasi ini, tidak perlu terjun langsung ke dalam kancah politik praktis. Mahasiswa dan pelajar ada baiknya kembali ke khitahnya untuk fokus study. Perlu kita ingat bahwa saat ini kita mengalami ketertinggalan dalam dunia pendidikan dibanding negara tetangga (sebut Malaysia dan Singapura). Walau beban sejarah terus membayangi, pelajar dan mahasiswa jangan terus dibebani peran sebagai agen perubahan politik dinegeri ini. Beban mahasiswa sebagai agen perubahan politik harus dikurangi dan kita percayakan kepada lembaga trias politica, yaitu eksekutif, legistatitif dan yudikatif, namun sebagai agen pengontrol, mahasiswa masih tetap diperlukan. Rakyat akan menilai apakah lembaga negara sanggup menjadi agent of change. Jika tidak sanggup, mahasiswa akan kembali tampil sebagai agen pembaharu yang meluruskan kembali hakikat demokrasi yang seutuhnya.

Satu hal yang perlu perlu diketahui, penegakkan demokrasi selalu diwarnai konflik dan seringkali menuai korban jiwa. Dari uraian sejarah panjang perjuangan mahasiswa dalam menegakkan demokrasi nampak berjatuhannya korban jiwa mulai perjuangan kemerdekaan, G30S PKI, peristiwa malari, hingga peristiwa Mei 1998. Ini hal yang wajar, seperti diungkapkan oleh Piliang (2003) bahwa demokrasi datang bukan tanpa korban. (Agus Saeful Mujab).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Demokrasi di Indonesia. http://forum-politisi.org/berita/article.php? id=547 [12 mei 08].



Effendy, F. 2008. Demokrasi di Indonesia. http://kewarganegaraan.wordpress.com /2007/11/19/demokrasi-indonesia/ . [12 MEI 08].



Piliang, IJ. 2003. Demokrasi Khas Indonesia: Riwayat Singkat dan Masa Depannya. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=519&Itemid=116. [12 Mei 2008]



Siregar, L. 2008. Demokrasi dan Keberanian Moral. http://www.indonesiamedia.com/ rubrik/opini/opini99november-demokrasi.htm. [12 mei 2008]



Wilkipedia Indonesia. 2008. Demokrasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. [12 mei 2008]


Tidak ada komentar: