KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Santri di Pondok Pesantren Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menunggu waktu shalat, Jumat (3/9). Pesantren ini mendidik para santrinya untuk bersikap terbuka dan menghargai perbedaan.
ARIS PRASETYO & REGINA RUKMORINI
Dinding kamar itu begitu ”meriah”. Di bagian tengah, ada lukisan labu raksasa dengan taring dan mata melotot—mirip ikon perayaan Halloween. Bidang lain dipenuhi poster artis Amerika, seperti Travis Barker, drummer pop-punk Blink 182, dan band metal Avenged Sevenfold.
Dinding tersebut tak ubahnya mural tembok garapan anak muda di kota metropolitan. Padahal, pemandangan itu terdapat di salah satu kamar Pondok Pesantren Pabelan di Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Pelukisnya adalah para santri.
”Kami mencorat-coret dinding kamar agar lebih nyaman untuk ditinggali. Ustaz memberikan izin,” kata Mustofa (17), santri asal Lampung.
Tak beda dengan remaja kota, para santri itu leluasa menggemari artis-artis pop Barat. Hanya saja, selain gandrung pada musik, sebenarnya mereka juga punya alasan lain. ”Dengan menikmati musiknya, kami sekaligus belajar mengucapkan kata-kata bahasa Inggris,” lanjut pemuda yang menggemari band Avenged Sevenfold ini.
Pada akhir bulan Ramadhan (pertengahan September) lalu, sejumlah santri bernyanyi dan bermain gitar sambil menunggu jadwal mudik. Penampilan mereka santai: berkaus, tanpa sarung dan peci, bahkan ada yang bergaya mirip detektif dengan fedora hat—topi yang sering dikenakan penyanyi Tompi. Bukankah itu gaya anak gaul hari ini?
Gaya hidup terbuka juga berdenyut dalam kehidupan sehari- hari di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Para santri boleh bergaul dengan budaya pop. Saat menyambut tahun ajaran baru, misalnya, digelar acara Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy, yang antara lain berisi lomba olah vokal.
Pada momen itu, para santri menyanyikan lagu-lagu pop, katakanlah, seperti grup Nidji atau ST12. Selain berdendang, mereka mahir memainkan gitar, drum, atau keyboard. ”Silakan saja, asalkan lagu-lagunya tidak bernada asmara yang cengeng dan murahan,” kata Wakil Direktur Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (Lembaga Pendidikan Tingkat Menengah) Nur Hadi Ihsan.
Kehidupan Pesantren Pabelan dan Gontor memang sangat cair. Para santri asyik bergumul dengan budaya Barat, termasuk dengan ikon pop Amerika. Ini seperti menyempal dari citra umum pesantren selama ini: asrama tradisional, berjarak dari dunia luar, serta para santri bersarung- berpeci yang berkutat dengan kitab-kitab berbahasa Arab.
Terbuka
Keterbukaan Pesantren Pabelan dan Gontor itu tak saja terlihat dari gaya hidup para santrinya, tetapi juga melebur dalam sistem pendidikan, penggunaan bahasa, serta persentuhan dengan dunia luar. Dua pesantren ini menerapkan sekolah berjenjang dan setara dengan pendidikan nasional, mulai dari madrasah (setingkat SD), tsanawiyah (SMP), aliyah (SMA), hingga jamiyah (perguruan tinggi).
Tak hanya ilmu agama Islam, setiap jenjang juga diperkenalkan pada ilmu umum, seperti fisika, matematika, atau biologi. Sehari-hari, para santri menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Didukung laboratorium modern, mereka digembleng untuk menguasai dua bahasa tersebut agar bisa memadukan ilmu agama dan umum.
Lingkungan pesantren tak menutup diri terhadap dunia luar. Ambil contoh saja Pesantren Pabelan yang sering kedatangan tamu dengan latar belakang profesi dan agama berbeda. Semasa hidupnya, almarhum Romo Mangunwijaya, pastor yang juga arsitek di Yogyakarta, sering menginap di pesantren ini.
”Kami siap untuk sharing, bertukar pikiran dengan siapa pun,” ujar salah seorang pengasuh Pesantren Pabelan, Ahmad Najib Hamam.
Keterbukaan untuk memahami agama-agama di luar Islam diperkenalkan lewat mata pelajaran Adyan. Pelajaran yang mulai diberikan kepada santri kelas II madrasah aliyah itu mengkaji berbagai ajaran agama yang berbeda. Dengan begitu, santri dan ustaz tak ragu bergaul dengan umat agama lain.
Contohnya, saat liburan sekolah, para santri dan siswa-siswa SMA Van Lith, sekolah Katolik, bergantian saling mengunjungi untuk bermain basket bersama. Salah seorang pengajar Pesantren Pabelan, bahkan, tercatat sebagai guru tetap di SMA Van Lith.
Mercusuar
Dari mana kesadaran keterbukaan di dua pesantren itu berasal? Itu tak lepas dari visi untuk menjadikan pesantren sebagai media menumbuhkan iklim berpikir moderat. Pesantren Gontor, contohnya, sudah lama memegang moto ”berpikir bebas”.
”Kebebasan di sini meliputi keleluasaan bersikap, memilih, dan berkreasi, sepanjang tidak melanggar kaidah-kaidah Islam,” kata Nur Hadi.
Menurut Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism M Syafi’i Anwar, semangat keterbukaan seperti di Pesantren Pabelan dan Gontor sebenarnya juga tumbuh di banyak pesantren di Indonesia. Sikap ini patut dikembangkan demi memperkuat nilai-nilai keberagaman (pluralisme), tasamuh (toleransi), moderat, dan kearifan di kalangan umat Islam. Saat lulus nanti, alumninya bisa ikut membangun masyarakat beradab yang menghargai kemajemukan.
”Pesantren-pesantren seperti itu adalah mercusuar yang mencerahkan masyarakat,” katanya.
(ryo/iam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar