Sabtu, 16 April 2011

Tafsir tentang Ahmad Dahlan

Kompas, Minggu, 5 September 2010 | 04:26 WIB
undefined
MVP PICTURES
"KH Ahmad Dahlan" (mengenakan beskap putih dan alas kaki) berjalan di antara pengikutnya. Tokoh pahlawan nasional dan pendiri Muhammadiyah itu diperankan oleh Lukman Sardi.


Budi Suwarna & Sarie Febriane
Sosok Ahmad Dahlan diangkat dalam film ”Sang Pencerah” arahan sutradara Hanung Bramantyo. Film semacam itu termasuk jarang diangkat dalam perfilman kita yang belakangan banyak menggarap tema cinta, horor, dan seks.

”Ini test case. Kalau film ini diterima pasar, saya akan membuat lanjutannya,” ujar Hanung berjanji seusai preview Sang Pencerah, Jumat (3/9), di Jakarta.
Sang Pencerah berpretensi menggambarkan peran penting Ahmad Dahlan dalam mengembangkan pemikiran Islam modern di tengah lingkungan kekuasaan yang konservatif. Film diawali dengan
masa remaja Ahmad Dahlan yang sebelumnya bernama Darwis (diperankan Ihsan Taroreh). Di usia belasan tahun, Darwis digambarkan telah bersikap kritis terhadap kepercayaan takhayul yang berkembang di sekitarnya.
Ketika berusia 15 tahun, Darwis memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Mekkah. Setelah lima tahun di sana, Darwis pulang ke Yogyakarta dengan nama baru Ahmad Dahlan.
Kepulangan Ahmad Dahlan disambut meriah. Namun, sambutan itu segera berganti menjadi konflik. Ceramah Ahmad Dahlan dianggap merongrong posisi ulama Masjid Gedhe dan kekuasaan Keraton. Konflik kian meruncing ketika Ahmad Dahlan berusaha mengoreksi kiblat Masjid Gedhe yang tidak mengarah ke Mekkah, melainkan ke Afrika.
Para ulama konservatif bereaksi. Mereka berpendapat, dengan menyalahkan kiblat Masjid Gedhe sama saja Ahmad Dahlan menyalahkan Sultan sebagai kalifatullah panatagama. Lagi pula, Ahmad Dahlan menentukan arah kiblat dengan menggunakan kompas, alat yang dianggap buatan orang kafir.
Ahmad Dahlan bergeming dengan sikapnya. Sejak saat itu, dia menjadi duri dalam daging bagi kekuasaan para ulama konservatif. Para ulama konservatif yang takut kehilangan kekuasaan itu akhirnya menggunakan dalil agama untuk mengafirkan Ahmad Dahlan. Puncaknya mereka menggunakan massa untuk merobohkan Langgar Kidoel tempat Ahmad Dahlan mengembangkan ajaran-ajarannya.
Tindakan itu tidak mampu menghentikan Ahmad Dahlan. Pemikirannya terus berkembang, apalagi setelah bersentuhan dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Dia kian sadar bahwa Islam tidak hanya berkutat di seputar tauhid. Islam mampu membebaskan masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan.
Pemikiran Ahmad Dahlan itu bermuara pada pendirian organisasi Muhammadiyah, 12 November 1912, yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial.
Gamang
Hanung membangun cerita secara linier mulai Ahmad Dahlan remaja hingga mampu mendirikan Muhammadiyah. Penggalan peristiwa dan konflik mengalir dengan lancar.
Ada tiga isu penting yang tampaknya hendak diartikulasikan Hanung dalam film ini, yakni relasi antara kekuasaan dan agama, persoalan nasionalisme dan kebangsaan, dan masalah toleransi beragama. Tidak hanya toleransi antarumat beragama yang berbeda, tetapi juga toleransi di antara pemeluk Islam sendiri.
Hanung memilih memberikan porsi besar untuk menyoroti problem di antara pemeluk Islam sendiri terkait pandangan yang berbeda menyangkut fikih (hukum) dan akidah (teologi). Persoalan inilah yang digunakan Hanung untuk membangun hampir semua konflik Sang Pencerah.
Gagasan kebangsaan dan nasionalisme Ahmad Dahlan justru kurang dieksplorasi. Sang Pencerah hanya menjelaskan bahwa Ahmad Dahlan mulai menyadari konsep mengenai nasionalisme dan kebangsaan setelah bersentuhan dengan Boedi Oetomo. Dia kemudian mendirikan sekolah rakyat.
Pemikiran Ahmad Dahlan mengenai toleransi beragama yang sangat relevan hingga kini juga kurang terpaparkan secara rinci. Isu ini hanya muncul selintas ketika Ahmad Dahlan mengatakan, orang yang beragama itu semestinya memberikan kedamaian.
Hanung mengatakan, sosok Ahmad Dahlan memang tidak mungkin dijelaskan tuntas melalui Sang Pencerah yang berdurasi 109 menit. Penjelasan selanjutnya, kata Hanung, kemungkinan akan dibeberkan pada sekuelnya, yakni Sang Penanda.
Hanung mengakui, menjelaskan sosok sepenting Ahmad Dahlan ke dalam sebuah film bukan perkara mudah. Apalagi, referensi mengenai sosok pendiri Muhammadiyah ini terbatas. Bahkan, bagaimana karakter Ahmad Dahlan tidak banyak ia ketahui.
”Orang-orang Muhammadiyah bilang, dia tokoh yang sangat toleran sehingga dicintai semua orang, termasuk yang non-Muslim,” katanya.
Referensi mengenai karakter Ahmad Dahlan di usia 15 tahun diakuinya sangat minim. ”Sama sekali tidak ada referensi. Jadi, itu (yang muncul di film) adalah interpretasi saya. Karya seni itu, kan, memang interpretasi. Kalau ada interpretasi lain, itu bagus untuk didialogkan,” ujarnya.

Tidak ada komentar: