Sabtu, 16 April 2011

Demokrasi dan Politik Kesejarahan

Kompas, Rabu, 8 Desember 2010 | 04:56 WIB

Agus Subhan Malma
Untuk mengenali tahap-tahap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan konstruksi struktural budaya politik bangsa ini menyangkut kekuasaan.
Bagaimanakah konsolidasi demokrasi tidak hanya berkembang menjadi konsolidasi kekuasaan an sich ketika akses terhadap proses dan lembaga demokrasi terbatasi sedemikian rupa oleh ukuran-ukuran yang terbentuk dari gelapnya sejarah pengaturan atas kekuasaan?

Saat ini, pengaturan atau disiplin dalam organisasi kekuasaan kita diwarnai situasi ”gagap teknologi politik”. Pemilihan presiden-wakil presiden dan kepala daerah serta anggota DPR/DPRD secara langsung belum tersesuaikan dengan persepsi masyarakat politik Indonesia atas kekuasaan.
Bagi mereka yang menang, pemilihan langsung menjadi jalan mulus bagi dioperasikannya cara pikir the winner takes all. Sementara bagi yang gagal, kekalahan mereka dalam pemilihan langsung melahirkan perilaku untuk berpikir dan bertindak tidak lebih dari buangan politik.
Di pihak masyarakat, teknologi politik berupa demokrasi langsung membentuk suasana moral yang lepas dari landasan pikir menyangkut kebutuhan ekonomi politik yang hanya bisa dipenuhi sebagai proyek sosial berkelanjutan. Hal inilah yang lebih kurang bisa diistilahkan sebagai gegar mental masyarakat-bangsa yang harus dikalkulasi untuk kemudian dirumuskan antisipasinya dengan membangun perspektif tentang modal sosial dalam menyelenggarakan demokrasi dan terutama untuk mengelola kekuasaan sehingga dapat didarmabaktikan bagi seluas-luasnya dan sebesar-besarnya kesejahteraan umum.
Ordonansi sosial politik
Pemilahan ala Louis Althuser bahwa di samping aparat negara terdapat masyarakat politik dan masyarakat sipil dalam wujud sosial masyarakat Indonesia harus dilengkapi dengan suatu wawasan bahwa ordonansi sosial politik Indonesia pernah dilakukan dengan berdasarkan pendapat sosial Clifford Geertz yang mengajukan teori politik aliran di mana strukturasi atas budaya politik dikembangkan dari ”asumsi” tentang keberadaan entitas santri, priayi, dan abangan.
Bagaimanakah susunan pandangan tiap-tiap lapisan sosial, baik dalam batasan Althuser maupun Geertz, menyangkut demokrasi tentu sudah banyak diulas berdasarkan berbagai riset dan atau penelitian. Yang perlu untuk saat ini segera kita cermati adalah perspektif politik lapisan- lapisan masyarakat Indonesia atas kekuasaan yang dalam hal tertentu masih memberlakukan cara pandang ke-kasta-an yang terwarisi dari periode budaya zaman berkuasanya tatanan Hindu di Nusantara.
Bisa jadi, yang ternyata tidak bisa bertemu dengan prosedur demokrasi adalah sistem kasta dan bukannya penataan sosial berdasarkan monarki, apalagi kalau kita mengikuti bentuk konfigurasi keputusan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
Suatu pertimbangan kajian budaya tentang partai politik sebagai elemen demokrasi yang tampil dalam kemenjadian lebih sebagai representasi ’budaya pop’ di tengah kekuasaan yang makin elitis, saat ini kita butuhkan untuk melihat ironi bukan sebatas mengenai antara monarki (kasus DIY) dan demokrasi, melainkan juga ironi antara kekuasaan dengan negara dan masyarakat yang mengamanatkan kewenangan kepadanya.
Ironi itu bisa jadi paralel dengan sindrom yang bersumber dari virus globalisasi dalam arti satu warna dengan masalah yang berlangsung pada level negara- negara dalam arti global. Akan tetapi, tidak jarang, ironi itu berawal dari penumpulan kesadaran kenegaraan yang belum sempat disadari, apalagi dipulihkan, tetapi berlangsung secara sistemik sebagai sebab dan akibat dari rezim yang berkuasa di Indonesia sebelum reformasi 1998.
Ironi dalam hal ini misalnya berlangsung ketika isu demokrasi disuarakan dan diselenggarakan melalui unit-unit kekuasaan peninggalan Orde Baru yang fasis.
Secara telanjang, tanpa maksud menggunakan teorema tunggang-menunggangi sebagai penjelasan politik: demokrasi—seperti halnya reformasi—menjadi tunggangan dari kelompok-kelompok mengambang yang hanya berkepentingan dengan kedudukan dan jabatan dalam kekuasaan. Dan biaya terbesar yang harus dikeluarkan akibat budaya politik seperti itu adalah pengabaian sejarah atas hak dan tanggung jawab sebagai prasyarat dasar untuk seseorang mendapatkan kebebasan dalam berpolitik.
Maka, walaupun tidak bisa disimpulkan sebagai mewakili kebenaran: kasus seperti studi banding anggota Badan Kehormatan DPR/MPR untuk belajar etika di Yunani tidak bisa disalahkan kalau kita melihat bahwa perkara sistemik dalam budaya politik kita saat ini adalah urusan moral dan etika. Tentu dengan catatan, Yunani pada zaman ketika etika atau filsafat dan demokrasi dirumuskan oleh para filsuf sebagaimana dulu kita ketahui adalah sudah berbeda dengan Yunani yang dikunjungi para anggota Dewan yang terhormat.
Yang dibutuhkan adalah sikap bahwa—kalau memang kita bisa menuntaskan cita-cita nation and character building dari para pendiri bangsa—slogan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya kita perlakukan secara internal dalam kehidupan kebudayaan nasional, tetapi ia juga bisa kita jadikan modal dasar untuk tampil sederajat dengan masyarakat dan bangsa-bangsa dalam kehidupan internasional.
Agus S Malma Alumnus Korps Debat Yogyakarta; Saat Ini Menetap dan Bekerja di Teluknaga, Tangerang, Banten

Tidak ada komentar: