Sabtu, 16 April 2011

Demokrasi, Konflik, dan Damai

Kompas, Kamis, 9 Desember 2010 | 08:45 WIB

Krisis moneter telah melanda Indonesia yang berawal pada tahun 1997/1998. Bermula dari jumlah pinjaman pemerintah yang tidak sebanding dengan tabungan devisa dan longgarnya aturan main perbankan telah memengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Sendi perekonomian negara menjadi lemah dan kemudian mudah ”diserang” spekulan global. Perekonomian Indonesia semakin memprihatinkan. Dana talangan perbankan mencapai lebih dari Rp 600 triliuan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan rakyat Indonesia.

Hebatnya, dalam kondisi seperti itu, walaupun dalam hitungan matematik-ekonomis sudah terancam kebrangkrutan, bangsa Indonesia justru menunjukkan persistensinya, kenyal dan tahan uji. Bangsa Indonesia mampu bertahan menghadapi situasi yang paling sulit.
Di sisi lainnya, krisis ekonomi juga membawa suasana rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia, yaitu perubahan rezim otoriter-represif berubah menjadi suasana reformasi-demokrasi. Meskipun dalam praksisnya masih memerlukan waktu untuk mencapai suasana demokrasi secara utuh, perubahan suasana itu membawa harapan dengan penghargaan dan menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak asasi manusia.
Dalam realitasnya, untuk mengawali tahapan demokrasi memang tidak mudah khususnya bagi para pemimpin dibandingkan dengan suasana otoriter-represif karena secara historis-sosiologis suasana era kerajaan dan penjajahan telah berpengaruh dalam kultur bangsa Indonesia. Suasana otoriter-represif lebih mudah dilakukan dengan jalan intimidasi kekuasaan seperti kekuatan senjata, ekonomi, dan ranah hukum sehingga rakyat takut untuk berbicara dan mau tidak mau harus mengikuti kemauan pemimpin. Rakyat harus tunduk dan mendengarkan perintah penguasa. Suasana otoriter-represif memprioritaskan stabilitas dan keseragaman. Kekuasaan hanya tunggal di tangan pemimpin paling tinggi.
Dalam suasana demokrasi, tidak ada kekuasaan tunggal. Kekuasaan menyebar di tangan rakyat. Setiap individu bebas menyampaikan pendapat. Bukan rakyat yang harus tunduk kepada perintah penguasa, namun pemimpin yang harus mendengar suara rakyat. Dengan demikian, pada saat mengambil keputusan, pemimpin harus terlebih dahulu menampung dan berdasarkan aspirasi rakyat.
Apalagi jika mengingat semangat para pendiri bangsa yang menyadari bangsa Indonesia dibentuk dari realitas multikultural dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau sehingga hakikat keberagaman sebagai hakikat demokrasi adalah suatu keniscayaan.
Kemudian jika memerhatikan sisi kodrati pun menunjukkan bahwa setiap individu pada hakikatnya merupakan makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial, maka dalam memenuhi dan mempertahankan kelangsungan hidupnya ia harus selalu bermasyarakat. Seseorang tidak mungkin bisa hidup sendiri. Ia memerlukan bantuan dan berkomunikasi dengan orang lain sebagai kebutuhan sosialnya. Dengan mengingat secara kodrati yang lain pula, tidak ada seorang pun manusia yang sempurna. Setiap orang memerlukan kelebihan orang lain.
Pasti ada perbedaan
Dengan demikian, tatanan kelompok sosial dari keluarga—sebagai kelompok sel yang paling kecil masyarakat, organisasi formal, maupun nonformal, esensinya pasti selalu terdiri dari paling sedikit dua atau lebih orang yang memiliki sifat, minat, bakat, harapan, dan impian kehidupan yang berbeda. Dalam satu keluarga pun antara suami istri adalah bermula dari dua pribadi yang berbeda, misalnya perbedaan status sosial, pendidikan, latar belakang suku dan budaya. Bahkan, anak-anak sekandung dalam satu keluarga pun tidak identik. Pasti ada perbedaan. Setiap komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok tidak selalu satu pendapat atau satu kesepahaman. Dengan demikian, suatu perbedaan pendapat bahkan konflik adalah suatu keniscayaan yang pasti akan terjadi. Oleh karena itu, jika dalam suatu kelompok atau organisasi tidak ada perbedaan atau konflik justru menjadi pertanyaan.
Dalam tataran praksis, memang sering ditemukan, dalam suatu kelompok atau organisasi, suatu perbedaan pendapat apalagi konflik dianggap tabu dan harus dihindari. Apalagi kritik terhadap kekurangan atau keterbatasan seseorang. Corak kepemimpinan dalam kelompok seperti ini pada umumnya bersifat otoriter. Harus menurut kemauan pemimpin. Anggota kelompok tidak boleh menyampaikan usulan masukan apalagi kritik. Setiap pertemuan dalam kelompok tidak diperkenankan untuk berbeda pendapat apalagi konflik sehingga untuk menjaga agar kelompok atau organisasi tidak ada perbedaan pendapat maka para pemimpin kelompok, secara langsung atau tidak langsung, melakukan intimidasi dengan berbagai cara, seperti intimidasi sangsi sosial dan sangsi ranah hukum untuk ”membungkam” setiap anggota agar merasa takut memberikan masukan, pendapat atau kritikan. Sehingga suasana kelompok tenang, damai, dan ”adem-ayem” namun sebenarnya semu.
Suasana tenang dan damai dengan cara intimidasi dan larangan berbeda pendapat pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suasana damai semu dan melanggar hak-hak asasi manusia. Sebab, jika diperhatikan, walau dalam suasana berkomunikasi dan bersosialisasi seperti itu, di belakangnya biasanya kemudian akan muncul suasana ”saling ngrasani”, bisik-bisik sehingga justru tidak sehat. Dengan demikian, perbedaan pendapat dan konflik adalah keniscayaan, yang paling utama adalah kemampuan mengelola perbedaan pendapat dan konflik yang bermuara justru menjadi kekuatan.
Oleh karena itu, di era demokrasi dan keterbukaan ini, setiap kelompok sosial, organisasi formal maupun nonformal akan semakin berhasil mengantisipasi perubahan dan dinamika kehidupan yang cepat ini dengan jalan harus mulai menyadari untuk membangun suasana demokratis. Para pemimpin dan anggota dapat saling menerima masukan dan kritik sebagai identitas organisasi yang demokratis. Pemimpin, anggota, dan organisasi yang tidak mau membuka diri akan ketinggalan dan hanyut oleh derasnya perubahan zaman.
EKA AMBARA Kandidat Doktor di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Tidak ada komentar: