Kompas, Rabu, 29 September 2010 | 03:09 WIB
Komaruddin Hidayat
Keragaman budaya, agama, dan bahasa semakin menyatu dengan kehidupan sehari-hari, khususnya di kota dan dunia perguruan tinggi.Di sejumlah mal biasanya ada food court yang menyajikan beragam makanan, baik dalam maupun luar negeri. Pengunjung pun menikmati, hitung-hitung rekreasi lidah. Begitupun musik dan pakaian, masyarakat senang menikmati keragaman nada, bahasa, dan mode pakaian yang bernuansa kosmopolit, sampai-sampai menggeser budaya daerah.
Yang fenomenal dan ekspansif adalah budaya iptek. Telepon genggam bagi kalangan eksekutif dan pebisnis seakan telah jadi bagian integral organ tubuh dan kinerja pikirannya. Orang kian tak memiliki suasana kesendirian. Tak ada ruang dan waktu tanpa kehadiran orang lain meski virtual, diwakili oleh gambar, kalimat, dan suara melalui telepon genggam.
Ekspansi dan penetrasi iptek berlangsung cepat tanpa penolakan karena datang dengan menawarkan manfaat teknis yang langsung dapat dirasakan dan diukur tingkat kenyamanannya. Sampai-sampai secara ekstrem masyarakat kota masih bisa merasa hidup nyaman tanpa agama, tetapi akan merasa sengsara tanpa dukungan iptek. Mereka bisa meninggalkan sembahyang dan melupakan Tuhan, tetapi tak bisa lepas dari kartu kredit, telepon, dan kendaraan bermotor. Fenomena ini dalam masyarakat Barat dan China daratan sangat mudah ditemukan.
Bagaimana Indonesia?
Bumi Nusantara saking makmurnya sejak zaman dahulu memiliki daya tarik bagi orang luar untuk berdatangan. Ibarat telaga madu, semut berdatangan. Karena itu, sejarah Indonesia penuh dengan warna- warni agama dan budaya.
Yang namanya orang dan budaya asli Indonesia sulit dijawab dengan ringkas dan memuaskan. Meski dikenal sebagai negara Muslim, tidak dapat dimungkiri dulu pernah berjaya kekuasaan Hindu-Buddha yang warisan candi dan budayanya masih bertahan hingga hari ini, berdampingan dengan komunitas-komunitas kepercayaan dan agama lain yang sering disebut kelompok minoritas.
Lalu, pengaruh Islam mengganti masa kejayaan Hindu-Buddha sampai sekarang. Memasuki abad ke-21, hegemoni agama dalam masyarakat tersaingi oleh budaya iptek yang hadir bersama kekuatan ekonomi global. Peranan pemerintah dan negara yang mestinya melindungi warganya pun kedodoran menghadapi penetrasi dan agresivitas budaya baru yang mengglobal ini. Kepentingan ekonomi, politik, kelompok, dan keyakinan agama telah berbaur dan kiprahnya sulit dilokalisasi karena mobilitas penduduk serta informasi berlangsung sedemikian fluktuatif dan cair.
Di antara permasalahan serius dan sensitif yang muncul adalah tuntutan keadilan ekonomi dan kebebasan beragama. Bagi pemerintahan sekuler atau pemerintahan tiran, kehidupan beragama relatif mudah diselesaikan. Dalam masyarakat sekuler di Barat, agama adalah urusan pribadi dan Tuhan. Pemerintah hanya memberi rambu-rambu hukum untuk menjaga ketenteraman warganya, tidak mencampuri kehidupan beragama. Sebaliknya dalam pemerintahan tiran, negara mengatur segalanya, termasuk kehidupan beragama.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan negara republik sekuler, bukan kerajaan yang tiran, bukan pula teokrasi. Sebaiknya hindari ungkapan sinis, berarti Indonesia ”negara bukan-bukan”? Setiap bangsa dan negara punya filsafat hidup dan sejarahnya sendiri. Masyarakat dan bangsa Indonesia punya kepedulian tinggi pada tradisi agama, tetapi juga bertekad menjadikan negaranya modern dan demokratis sehingga tradisi dan aspirasi agama diberi tempat khusus dalam struktur pemerintahan. Bahkan, ada Kementerian Agama dengan dukungan anggaran negara yang cukup besar.
Dalam bentuk formalnya, Indonesia tak ubahnya negara sekuler yang menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun untuk memilih kepala negara serta wakil rakyat. Namun, kandungan Pancasila dan struktur kelembagaannya memberikan ruang dan perhatian pada pembinaan kehidupan agama. Ini unik dan khas Indonesia yang mesti dibanggakan, tetapi juga dicermati karena di dalamnya mengandung potensi masalah. Misalnya, bagaimana hubungan agama dan negara? Mengapa negara membatasi jumlah agama? Bagaimana negara menyikapi pluralitas paham dan aliran kepercayaan?
Problem ini adalah khas Indonesia dan jika pemerintah tidak mengantisipasi, dari waktu ke waktu konflik antarumat beragama selalu saja akan muncul. Jika sesama warga konflik, yang paling bertanggung jawab pemerintah. Berbagai peraturan pemerintah tentang kehidupan beragama bisa saja ditinjau ulang jika tak lagi sejalan dengan dinamika sosial keagamaan yang terjadi. Pertanyaannya, kalau terjadi sengketa kerukunan hidup beragama, apakah karena lemahnya peraturan, atau terjadi pembangkangan terhadap peraturan, atau pemerintah sendiri yang tidak tegas melaksanakan peraturan?
Saham politik
Sejak masa Orde Baru sampai sekarang komunitas agama merupakan aset politik yang tinggi untuk ditukarkan dengan kekuasaan. Tokoh dan isu keagamaan senantiasa diperhitungkan oleh setiap penguasa atau mereka yang mengincar kekuasaan. Banyak parpol menggunakan label dan ciri keagamaan sebagai instrumen tawar-menawar politik.
Agama memiliki kekuatan untuk menciptakan kohesi dan solidaritas kelompok seiman, sekaligus menyimpan kekuatan disintegrasi sosial ketika berhadapan dengan pemeluk agama yang berbeda ketika terjadi konflik antarpemeluknya. Jebakan dan ancaman ini dapat diatasi jika pemerintah memiliki peraturan yang rasional dan tegas dalam menegakkan hukum. Siapa pun yang melanggar hukum dan meresahkan masyarakat mesti ditindak tegas, apa pun etnis, agama, dan jabatannya. Dengan ungkapan lain, jika peraturan yang ada tak menjamin keadilan dan pemerintah tak tegas, setiap saat akan muncul lagi konflik antarpemeluk agama yang akan mengganggu kinerja pemerintah dan keharmonisan sosial.
Terdapat indikasi, di berbagai level, pemerintah tak tegas menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran hukum ketika pelaku punya massa keagamaan. Mungkin pemerintah khawatir tak populer ketika menghadapi massa keagamaan, takut dianggap pemerintahan sekuler yang anti-agama. Sekali pemerintah lengah dan lemah, sekelompok orang akan memanfaatkan kelemahan itu untuk kepentingan mereka. Padahal, sejauh ini kerja sama pemerintah dan tokoh-tokoh agama cukup bagus dalam memberantas terorisme yang mengeksploitasi solidaritas keagamaan. Pemerintah tak perlu ragu bersikap tegas terhadap kelompok mana pun yang melanggar peraturan atau melakukan tindak pidana sekalipun mengatasnamakan Tuhan dan agama. Ketika masyarakat sudah letih dengan berbagai problem politik dan ekonomi, justru kekuatan agama diharapkan menawarkan solusi dan suasana damai, bukannya menambah keruh dan letih suasana.
KOMARUDDIN HIDAYATRektor UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar