Sabtu, 16 April 2011

Melampaui Saintisme dan Religionisme



1animated1834























Samsul Ma’arif Mujiharto, pendidik pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Suatu ketika penulis bertemu dengan pedagang minyak wangi dan perlengkapan ibadah di sebuah masjid di Yogyakarta. Dari perbincangan singkat dengannya, terungkap bahwa dia jebolan mahasiswa biologi di sebuah perguruan tinggi.

Lantaran tidak menerima Teori Evolusi, yang notabene merupakan salah satu teori penting dalam biologi, akhirnya dia memutuskan berhenti kuliah. Sebab, baginya evolusi seturut dengan penegasian Tuhan dalam skenario penciptaan manusia.
Pada kesempatan lain, penulis juga sempat menjumpai mahasiswa fakultas hukum yang gelisah karena harus mempelajari hukum positif, bukan hukum Islam (baca: syariah). Padahal, dalam keyakinannya, tak berguna mempelajari hukum sekuler. Belakangan dia kemudian memutuskan untuk keluar dari fakultas hukum dan pindah ke salah satu perguruan tinggi agama.
Dua petikan kisah di atas mengilustrasikan adanya persoalan dalam tata hubungan sains dan agama. Sains terus dihadap-hadapkan dengan agama yang pada gilirannya harus dipilih salah satunya. Menerima sains pada saat bersamaan harus menegasikan agama, begitu sebaliknya. Sehingga yang kerap dirasakan adalah konfrontasi yang dalam bahasa Ian Barbour (2000) dicatat sebagai “konflik” (saling berbenturan). Selain model konflik, Barbour menggenapi tipologinya dengan tiga model yang lain, yaitu independensi (saling otonom), dialog (saling mengisi), dan integrasi (melebur jadi satu).
Meletakkan sains dan agama dalam relasi konflik berkonsekuensi menutup rapat adanya wilayah irisan di antara keduanya. Antara agama dan sains rasanya mustahil dilakukan kerja sama. Akibat paling ekstrem dari model ini adalah adanya kecenderungan untuk saling mengekspansi wilayah otoritas pihak lawan (Stenmark, 2004). Ekspansi sains terhadap agama melahirkan saintisme atau absolutisme ilmiah yang menengarai bahwa semua fakta (hanya) bisa didekati dengan sains, atau setidaknya bisa direduksi menjadi pengetahuan saintifik (Stenmark, 2001).
Sains pun menjanjikan kemampuan menjawab semua persoalan, termasuk persoalan yang secara tradisional berada di bawah otoritas agama atau etika. Ekspansi ini bisa pula dibaca sebagai upaya sains menggeser tapal batas ke wilayah non-empiris, semisal agama dan etika. Model ini diperankan dengan sangat baik oleh Richard Dawkins, seorang biolog ateis dari Universitas Oxford yang menolak eksistensi Tuhan, karena sains (terutama evolusi) secara teknis tidak bisa membuktikan keberadaan “sang pembuat jam suci” (blind watchmaker*) yang “serba-merencanakan”.
Secara berlawanan, religionisme menolak saintisme karena mencurigai saintisme ditopang oleh metafisika materialisme. Materialisme dinilai berbahaya, selain karena berpotensi menggusur peran kekuatan adi-kodrati, juga dinilai berperan dalam mendorong percepatan destruksi. Sebagai gantinya, pendukung religionisme atau ideologisasi sains mengajukan proposal bahwa yang paling layak dijadikan acuan utama atas segala persoalan adalah agama. Model ini dirayakan mereka yang mendorong pentingnya agama dalam menginspirasi dan atau memagari sains dari pembajakan oleh materialisme. Sebut saja sains Vedik dan sains Islam sebagai contoh yang secara berurutan mengambil Weda dan Quran sebagai sumber pengembangan sains.
Melampaui
Dalam hal ini penulis mencatat, baik saintisme maupun religionisme sama-sama menyisakan persoalan. Sains memang menjanjikan akurasi yang didapat dari ketepatan metode yang verifiable. Namun, saintisme (dengan imbuhan “isme”) berbahaya lantaran sains dijadikan sebagai satu-satunya alat dan prosedur untuk mendekati dan menuntaskan persoalan.
Persoalan senada juga menghinggapi religionisme. Alih-alih mengupayakan pembersihan sains dari ideologi tertentu, semisal materialisme, pendukung religionisme justru menggantang ideologi lain untuk didesakkan ke dalam kerja-kerja sains. Kalau toh agama absah untuk dilibatkan, persoalan berikutnya adalah di level mana agama didesakkan. Bila di level metodis, bukankah metode adalah sesuatu yang (seharusnya) netral dan bebas-nilai? Namun, bila di level praktek, batasan apa yang tepat agar kerja-kerja sains tidak dihukum sebelum diadili?
Jawaban atas pertanyaan itu pun tidak bisa diberikan oleh pendukung restriksionisme ilmiah dan religius. Yakni, mereka yang menganggap “perang” antara agama dan sains adalah salah, sebab, baik agama maupun sains merupakan “magisteria” otonom dan tidak bisa saling mengintervensi, atau biasa disebut prinsip NOMA (Non-Overlapping Magisteria) (Stenmark, 2004).
Penulis berpendapat bahwa baik saintisme maupun religionisme tidak bisa diandalkan lantaran mudah terjebak dalam pencampuradukan argumentasi ilmiah dengan argumentasi filosofis (dan teologis). Demikian halnya dengan restriksionisme yang meniscayakan pengkaplingan eksak antara sains dan agama. Padahal, mestikah sains dan agama selalu dihadapmukakan secara diametris? Benarkah distingsi sains dan agama dipisahkan tembok tak tertembus? Ataukah ada ruang interseksi di antara keduanya?
Memang jelas, tidak ada jawaban a priori tunggal untuk menjawab persoalan tentang sains dan agama. Sepakat dengan Stenmark, penulis menilai bahwa baik sains maupun agama tidaklah monolitik yang bisa dihubungkan layaknya benda padat yang secara solid bisa saling dipertukarkan dan dicampuradukkan secara semena-mena. Diperlukan kesadaran bahwa hubungan sains dan agama mesti dipahami dalam bingkai praktek-praktek sosial. Kesadaran ini mensyaratkan sikap rendah hati dengan tidak ambisius men-segala-kan persoalan dengan satu kacamata tertentu. Sebangun dengan kesadaran yang sama, tindakan ekspansif ataupun restriktif baik ilmiah maupun religius pun pada gilirannya bisa dihindari.
* Koran Tempo Edisi 14 Desember 2008
Agama esensinya seni dan teori mereka-ulang manusia. Manusia bukanlah ciptaan yang selesai.
— Edmund Burke
Negarawan Irlandia (1729-1797)
Buatlah agar agamamu lebih mengurangi teori dan memperbanyak kasih.
— Gilbert K. Chesterton
Penulis Inggris (1874-1936)
Aku telah berdoa selama 20 tahun dan tak mendapat tanggapan apa pun, sampai aku berdoa dengan kedua tanganku.
— Frederick Douglass
Penulis Amerika (1817-1895)
Moralitas adalah kepentingan tertinggi–tapi bagi kita, bukan bagi Tuhan.
—- Albert Einstein
Fisikawan dunia (1879-1955)
Sembahyang tak mengubah Tuhan, tapi ia mengubah yang bersembahyang.
— Soren Kierkegaard
Filsuf Denmark (1813-1855)
Kita sudah punya cukup agama untuk membuat kita saling membenci, namun kurang cukup untuk membuat kita saling mengasihi.
— Jonathan Swift
Penulis Irlandia (1667-1745)

Tidak ada komentar: