Kompas, Senin, 3 Januari 2011 | 03:17 WIB
Hingga Sabtu (1/1) tensi konflik politik akibat dualisme kepemimpinan di tingkat presiden di Pantai Gading, menyusul sengketa atas hasil pemilu 28 November 2010, makin tinggi. Presiden petahana Laurent Gbagbo dan tokoh oposisi Alassane Ouattara tetap saling mengklaim sebagai presiden meski komunitas internasional dan Komisi Pemilu Nasional mengakui Ouattara.
Guillaume Soro, perdana menteri versi Ouattara, mengatakan, perang saudara sudah dimulai lagi. Sudah lebih dari 200 orang dibunuh kubu Gbagbo yang didukung kekuatan militer dan polisi negara. PBB menuding Gbagbo melakukan penculikan dan pembunuhan, dan hal itu membuka kembali perang saudara.
PBB, mengutip laporan-laporan saksi, percaya sekitar 80 mayat ditemukan di dalam sebuah bangunan di antara gubuk-gubuk di permukiman pendukung Gbagbo di tepi kota Abijan. Atas dasar itu pula aktivis HAM menuding Gbagbo di balik aksi penculikan dan pembunuhan. Gbagbo menyangkalnya.
Soro mengatakan, Gbagbo harus diusir oleh militer dari kekuasaannya. Warga Pantai Gading dan komunitas internasional agar mendukung aksi militer menggulingkan Gbagbo yang secara nyata sudah kalah dalam pemilu putaran kedua, 35 hari lalu. ”Gbagbo akan lengser hanya dengan kekuatan senjata. Komunitas internasional harus campur tangan melindungi demokrasi di Pantai Gading,” ujar Soro.
Dia menolak usul Gbagbo yang meminta dunia internasional harus melakukan penyelidikan atas kekerasan di Pantai Gading. Usul itu hanya sebagai ”taktik Gbagbo” mengulur waktu. ”Ia hanya ingin mengalihkan perhatian demi melanggengkan kekuasaannya yang pada lima tahun kedua tanpa pemilu. Cukup sudah, tuan Gbagbo harus kita usir,” kata Soro.
Soro adalah mantan pemimpin pemberontak dari wilayah utara Pantai Gading. Selama ini negara penghasil kakao terbesar di dunia itu terbagi dua sejak perang saudara tahun 2002-2003. Utara dikuasai pemberontak garis keras berbasis agama dan selatan dikuasai pemerintah yang didukung tentara dan polisi. Ouattara dari utara. Gbagbo dari selatan.
Kepung basis Ouattara
Gbagbo melihat kemenangan Ouattara, yang meraih 54,1 persen suara, sebagai hasil kecurangan. Ia tidak mengakui Ouattara. Namun, komunitas internasional seperti PBB, Uni Eropa, Uni Afrika, dan blok regional Afrika Barat (Ecowas), mendukung Ouattara.
Sabtu (1/1) Gbagbo melakukan perlawanan fisik dengan mengerahkan kekuatan militer. Ia memobilisasi militer mengepung Hotel Golf di Abijan yang selama ini menjadi markas pemerintahan Ouattara. Pasukan tak sampai menciduk Ouattara dan Soro karena hotel dijaga 800 anggota pasukan perdamaian PPB (UNOCI).
Dengan mengerahkan militer, Gbagbo ingin menunjukkan bahwa ia tak gentar menghadapi tekanan komunitas internasional, termasuk Ecowas yang ingin dengan kekuatan senjata memaksanya turun. Lagi-lagi, pria yang berkuasa sejak 2000 itu mengatakan, jika komunitas internasional memaksanya dengan kekuatan senjata, Pantai Gading akan menjadi medan perang besar.
Dalam wawancara di televisi nasional, yang masih dikuasainya, Gbagbo mengatakan tidak boleh ada satu warga negara yang mengundang kekuatan asing untuk menghancurkan negaranya sendiri. Pekerjaan itu hanya dilakukan pemberontak, kelompok yang ingin menghancurkan rakyat dan negaranya.
Menurut Gbagbo, jika kubu Ouattara sampai melibatkan kekuatan asing, itu tak berbeda dengan pemberontak. Ia menuding pasukan PBB telah menembaki warga sipil. Ia menawarkan kepada Ouattara sebuah jalan damai, tetapi tawaran itu ditolak.
Sekjen PBB Ban Ki-moon dari markasnya di New York, Sabtu, berbicara per telepon dengan Ouattara. Ban menegaskan, komunitas internasional tetap berusaha keras mengakhiri kebuntuan politik di Pantai Gading. Ia menghargai Ouattara yang telah dengan sabar menghadapi provokasi dari Gbagbo yang juga diharapkan segera turun.
(AP/AFP/REUTERS/CAL)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/03/03172688/dua.presiden.saling.usir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar