Kompas, Minggu, 19 September 2010 | 03:12 WIB

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pengguna kendaraan bermotor tersendat di Jalan Gatot Subroto dan tol dalam kota di Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Walaupun tidak cemerlang, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bukan yang terburuk dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Tidak mandek, tetapi juga tidak tumbuh dengan cemerlang. Demikianlah perekonomian Indonesia, yang berprestasi pas-pasan di tengah kawasan yang berpacu dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal, setiap pemerintahan baru muncul, selalu ada janji dari para pejabatnya untuk melakukan kebijakan yang bisa mendorong perekonomian.
Salah satu contoh adalah kampanye yang menjanjikan pengurangan kemiskinan. Jika kemiskinan ingin dikurangi, dasar yang harus dibangun adalah pertumbuhan ekonomi.
Teorinya United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen akan berhasil melepas 1 persen warga dari kemiskinan.
Jika ada 100 juta rakyat miskin, walau pemerintah masih tetap memakai angka 30 jutaan, dengan pertumbuhan 7 persen baru 1 juta rakyat yang bebas dari kemiskinan. Untuk mengangkat atau membebaskan 100 juta rakyat dari kemiskinan, diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen selama 100 tahun. Ini terlalu lama dan bahkan yang miskin itu mungkin tak akan pernah tertolong karena rata-rata kehidupan warga Indonesia hanya antara 60 dan 70 tahun.
Sebenarnya tidak perlu terlalu pusing dengan teori-teori pembangunan. Yang diperlukan adalah keseriusan. Seperti pernah dikatakan mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono, ”Lakukanlah something doable.” Alias, lakukan program ekonomi yang harusnya bisa dilakukan.
Misalnya, sudah sejak lama diketahui bahwa begitu buruknya jalan dari kawasan industri Cikarang ke Pelabuhan Tanjung Priok. Maka, seharusnya, bangunlah jalan yang mantap dari kawasan Cikarang ke Pelabuhan. Sampai sekarang, mana ada perbaikan jalan dari Cikarang ke Pelabuhan Tanjung Priok. Yang ada hanya kemacetan luar biasa.
Padahal, jika dibangun jalan tol, semua mobil rela membayar biaya tol, yang artinya biaya pembangunan tol itu akan bisa terbayar.
Tidak ada uang negara untuk membangun jalan-jalan? Uang hanya akan datang jika ada kemauan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, negara tidak punya uang untuk membangun infrastruktur. Pemerintah hanya bisa berperan sebagai fasilitator. Dia tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan fasilitator itu.
Namun, ada hal yang bisa ditangkap dengan kata fasilitator itu. Yakni, pemerintah bersedia menjamin aspek hukum bisnis dan jaminan pembayaran selama beberapa tahun ke depan sehingga para investor besar bersedia menganggarkan dana ratusan miliar untuk pembangunan jalan di Indonesia karena merasa yakin dengan peran pemerintah sebagai fasilitator. Ya, lakukanlah peran sebagai fasilitator itu.
Peran fasilitator?
Namun, di mana peran sebagai fasilitator itu. Bertahun-tahun kita dijanjikan pembangunan jalan dan bertahun-tahun kita menantikan janji-janji kosong. Misalnya, tahun 1990-an ada rencana pembangunan jalan tripple track dari kawasan Kota di Jakarta menuju Depok. Jangankan tiang pancangnya, rencana itu mungkin sudah tak diingat lagi.
Ada lagi, bahkan pancang-pancang jalan kini malah dibiarkan menggantung dan tak dilanjutkan pembangunannya. Pancang-pancang itu kini bahkan menjadi pengganggu dan bisa dilihat di sebuah jalan di belakang Gedung MPR/DPR. Mungkin anggota DPR/MPR pun sudah tidak risi dengan tiang-tiang pancang itu.
Jangankan membahas kelanjutan tiang-tiang pancang itu, negara terus dicekoki dengan berbagai masalah, seperti isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga baru bernama KPK didirikan hanya untuk melahirkan persoalan baru, bukan menunjukkan reputasinya sebagai pemberantas korupsi.
Sebelumnya, muncul kasus Bank Century, yang kejahatan kerah putihnya tak jelas juntrungannya. Mengapa kasus ini muncul? Mengapa dana sekitar Rp 7 triliun itu tidak dipakai saja membangun infrastruktur ketimbang lenyap tanpa arah?
Bukannya kita membangun ekonomi, tetapi kita malah terjebak juga berbagai isu sektarian, isu pertikaian antar-ormas. Isu seperti ini tanpa sadar memberikan pesan kepada dunia bahwa negara kita ini adalah negara tidak aman untuk minoritas dan negara yang tidak bisa diamankan aparatnya. Jangan lupa, investor global memiliki berbagai pilihan lokasi untuk menanamkan modalnya.
Sebenarnya tidak hanya Indonesia yang memiliki masalah kelembagaan dan masalah sosial. Vietnam, misalnya, belum lama ini ketiban persoalan penyelewengan dana pembangunan infrastruktur hasil bantuan dari Jepang. China juga punya masalah dengan lembaga kepolisian yang berkolaborasi dengan geng narkoba, pejabat Partai Komunis yang korup.
Bahkan, Jepang, negara maju sekalipun, punya persoalan dengan apa yang disebutkan oleh sesepuh Partai Demokrat Jepang, Ichiro Ozawa, sebagai old politics, merujuk pada konspirasi antara penguasa dan pebisnis di mana penguasa mendukung dan membela perusahaan tertentu.
Bahkan, AS pun terlibat dengan money politics menjelang pemilu Kongres pada November mendatang, di mana para politisi bergelimangan uang dari sumbangan perusahaan yang tidak jelas.
Namun, semua negara itu tidak terhambat memikirkan pembangunan ekonomi walau dihadapkan juga pada masalah kelembagaan yang tak kunjung tuntas itu.
Urusan yang menjadi porsi para teknokrat ekonomi, di negara-negara yang disebut itu tetap jalan di tengah hiruk-pikuk politik, sosial, dan kelembagaan di negara itu.
Memang benar, sebaiknya semua kelembagaan berfungsi baik, yang akan berperan positif demi pembangunan ekonomi. Peran kelembagaan juga menjadi perhatian ekonom, termasuk ekonom AS, Douglass C North, yang mendapatkan Hadiah Nobel Ekonomi 1993 karena menemukan faktor kelembagaan di balik sukses ekonomi dalam tulisannya berjudul ”Economic Performance through Time”.
Namun, tidak semua negara memiliki kelembagaan yang baik, termasuk Vietnam dan China. Namun, dua negara ini mengembangkan ekonomi yang di Indonesia tidak jalan dengan mencengangkan.
Coba sebutkan, program ekonomi apa yang bisa dijalankan? Pengadaan atau pengembangan pasokan listrik yang sering mati? Pengembangan jalan? Bertahun-tahun berita mudik soal Lebaran, bertahun-tahun kita dicekoki dengan titik-titik kemacetan yang makin meluas karena kapasitas jalan yang tidak berkembang.
Pengembangan cyber space? Jika di AS, China, Malaysia, Thailand, kita dengan mudah mengakses internet karena cyber space-nya berkembang, maka di Indonesia sebuah SMS dan telepon seluler bisa sampai dua hari kemudian karena cyber space yang tak punya space leluasa.
Ini belum membahas soal pendalaman struktur industri, visi 20 atau 30 tahun ke depan. Mungkin kita baru bisa sekadar berwacana soal program ekonomi, yang baru sekadar slogan. Di tengah persaingan bangsa-bangsa yang berpacu dengan pembangunan ekonomi, ekonomi slogan tidak akan bisa diandalkan. (MON)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar