Senin, 18 April 2011

Pendidikan yang Membebaskan

Kompas, Minggu, 19 September 2010 | 04:02 WIB
undefined
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Santri di Pondok Pesantren Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melintas di depan dinding pondok pesantren yang penuh grafiti, Jumat (3/9).

ARIS PRASETYO & REGINA RUKMORINI
Di aula Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, pada suatu siang di akhir Agustus lalu, sekitar 100 santri menyimak pelajaran dari tiga ustaz. ”Izzayak (apa kabar)?” tanya salah satu ustaz. ”Qwaish (baik),” jawab para santri serempak. ”Izzayak” dan ”qwaish” adalah istilah gaulnya bahasa Arab.

Bahasa gaul itu dipelajari para santri dalam rangkaian kegiatan Syahru Dirasatil Lughah (Bulan Pembelajaran Bahasa). Diselenggarakan selama Ramadhan, kegiatan ini untuk mengasah keterampilan berbahasa Arab. Materinya mencakup Lughatul Juraid (belajar membaca koran), Lughatul Majalah (belajar membaca majalah), Ta’liqu Kuratil Qodam (menjadi komentator pertandingan sepak bola), dan Lughah al-Suqiyah (bahasa Arab gaul alias prokem).
Syahru Dirasatil Lughah hanya sepenggal contoh dari padatnya kegiatan sehari-hari para santri. Mereka bangun sejak azan subuh, sekitar pukul 04.30 belajar, dan baru beranjak tidur, sekitar pukul 22.00.
Selain bahasa Arab, Gontor mewajibkan santrinya untuk berbahasa Inggris, sebagai bahasa pengantar. Pendiri Pesantren Modern Gontor sedari awal memang menyadari pentingnya dua bahasa itu sebagai jendela dunia.
Adapun mata pelajaran yang dilalap tiap hari tak ubahnya pelajaran di sekolah umum seperti Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Singkatnya, para santri juga dibekali ilmu pengetahuan agama, pengetahuan umum, serta keterampilan praktis sehingga dapat diterapkan di kehidupan nyata.
”Pendidikan Gontor meniru model berbagai pendidikan di luar negeri,” kata Wakil Direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (Lembaga Pendidikan Tingkat Menengah) Nur Hadi Ihsan.
Gontor antara lain mencontoh Universitas Al Azhar di Mesir, yang terkenal dengan kesungguhan mendidik murid berwawasan Islam mendalam. Acuan lain, Sekolah Shantiniketan di India yang didirikan filsuf dan sastrawan Hindu Rabrindanath Tagore yang mengajarkan kedamaian serta kasih sayang. Semangat serupa diambil dari Pondok Syanggit di Mauritania, Afrika Utara, yang mengembangkan kedermawanan dan keikhlasan, serta Universitas Muslim Aligarh, India, universitas yang memadukan pendidikan umum dan agama.
Menurut catatan buku Profil Modern Gontor (2004), era modernitas Gontor diproklamasikan tahun 1936, ketika pondok ini mendirikan sistem pendidikan baru, yaitu Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI/Sekolah Guru Islam). Agaknya, sistem tersebut menarik minat Pondok Pabelan yang mengadopsinya tahun 1965. Sampai kini, pola pendidikan tersebut dipertahankan.
Pondok Pesantren Pabelan, di Mungkid, Magaleng, Jawa Tengah, memang sangat serius mengawinkan pengetahuan Islam dan umum. Perbaikan sarana prasarana terus dilakukan. Dengan dana Rp 4 miliar dari Islamic Development Bank, pesantren ini mendirikan laboratorium kimia, fisika, biologi, bahasa, tata busana, dan komputer.
Pendidikan formal yang bermutu ini menjadi bagian dari upaya menyiapkan para santri agar peka terhadap perkembangan teknologi informasi dan siap menghadapi perubahan zaman.
Pertukaran pelajar
Untuk memperlebar cakrawala para santri, Pesantren Pabelan membuka diri dengan Amerika Serikat. Caranya, dengan mengikuti program pertukaran pelajar American Field Services (AFS). Tahun 1970, pesantren ini mengirimkan santri Bachtiar Effendy ke Amerika Serikat. Santri ini sekarang dipercaya sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kendati sempat vakum, tetapi selama lima tahun terakhir, Pesantren Pabelan mulai aktif kembali mengirimkan santrinya mengikuti program pertukaran pelajar tersebut. ”Dengan berada di lingkungan baru, bersentuhan dengan budaya baru, kami yakin para santri dapat memetik banyak pelajaran,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Pabelan, Ahmad Najib Hamam
Pesantren Pabelan memang selalu mendorong segenap anak didiknya untuk bersentuhan dengan hal-hal baru di luar komunitas Muslim dan lingkungan pesantren. Menurut Najib, semangat ini sesuai ajaran Rasulullah SAW, bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam. ”Jelas kita harus berkarya untuk kepentingan banyak orang,” ujarnya.
Keterbukaan pun menjadi ciri khas Gontor. Sesuai salah satu moto pondok, yaitu ”berpikir bebas”, maka para santri diperkenankan untuk belajar ilmu apa pun. Meski kebebasan di sini tidak berarti bebas-sebebasnya.
Tradisi
Meski berorientasi modern dan global, Pesantren Gontor dan Pabelan tetap menjaga ilmu-ilmu dasar tradisional. Para santri tetap harus mempelajari berbagai ilmu agama, seperti ilmu fikih, tafsir Al Quran, tafsir hadis, atau kajian kitab klasik Islam yang dikenal dengan sebutan Kitab Kuning.
Meski demikian, sebagaimana dilakukan di Gontor, sejak dini para santri sudah dikenalkan dengan berbagai keragaman sikap dan pendapat dalam Islam. Salah satu pengenalan itu adalah santri mempelajari berbagai ilmu fikih dari bermacam mazhab atau aliran. Tak hanya mempelajari, mereka juga dibebaskan untuk mempraktikkan keragaman tersebut termasuk dalam ibadah ritual, seperti dalam shalat.
”Ada mazhab yang mengharuskan membaca doa qunut saat shalat subuh dan ada pula yang tidak. Nah, saat shalat subuh berjamaah, imam shalat yang juga dipimpin oleh santri mempraktikkan hal tersebut, ada yang membaca doa qunut ada pula yang tidak. Yang menjadi makmum hanya mengikuti apa yang ditunjukkan imam,” kata Nur Hadi.
Dengan sistem pendidikan dan kurikulum demikian, Gontor dan Pabelan telah bertahan melintasi perubahan zaman. Dua pesantren itu telah menelurkan banyak tokoh moderat yang bekerja untuk mendorong keterbukaan di masyarakat.
Dari Gontor muncul almarhum Idham Chalid (yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamijoyo), Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi. Dari Pabelan, lahir Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, dan pengamat politik Bachtiar Effendy.

Tidak ada komentar: