Kompas, Minggu, 26 September 2010 | 02:45 WIB

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Kader Posyandu Belimbing Dua, Pejaten, Jakarta, menimbang berat badan Elisia (4), Kamis (23/9). Kader posyandu tersebut lebih serius memantau berat dan tinggi badan anak balita setelah ditemukan dua kasus anak balita dalam status gizi kurang.
Selama 10 tahun terakhir, Millennium Development Goals atau MDGs menjadi seperti liturgi global yang mengikat berbagai persoalan dalam spektrum sangat luas, sangat beragam, saling berkait, dan berkelindan. Namun, MDGs hanya terfokus mengukur hal-hal yang dianggap sebagai penyebab penderitaan dan menghambat kemajuan suatu bangsa, tetapi tidak membuat orang menjadi paham mengapa hal itu terjadi. Maria Hartiningsih
MDGs mencakup program-program komprehensif, nonsektoral, meliputi pengurangan secara dramatis angka kemiskinan, kematian anak, kematian ibu, degradasi lingkungan, penyakit-penyakit infeksi, khususnya malaria, tuberkulosis dan HIV/ADS, serta diskriminasi terhadap perempuan, di samping meningkatkan pendidikan dasar, cakupan air bersih dan sanitasi, serta kerja sama internasional untuk mencapai target-target dari tujuan MDGs.
Dengan tenggat tahun 2015, MDGs menjadi komitmen internasional yang diyakini mampu membebaskan orang dari ketakutan dan memberikan jaminan keamanan dalam arti luas; bebas dari ketakutan oleh perang, konflik bersenjata dan penindasan, bebas dari kemiskinan, kelaparan, kebodohan, penyakit, lingkungan dan sanitasi yang buruk, serta pengangguran. Pada dasarnya bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Semua itu merupakan konsep baru keamanan (hidup) manusia, terpapar dalam Laporan Pembangunan Manusia (HDR) Dana Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1994. Itulah yang diyakini akan mengembalikan martabat manusia, seperti terangkum dalam kerangka keadilan dan perdamaian abadi, ”himne” yang diciptakan Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih dari enam dekade lalu.
Ironi zaman
Namun, cita-cita ideal Deklarasi Milenium yang ditandatangani September 2000 itu langsung dijawab dengan serangan negara adikuasa ke negara-negara yang menyimpan bara konflik di dalam negeri, seperti Afganistan dan Irak, ditambah jargon ”perang global melawan terorisme” setelah tragedi 11 September 2001. Bencana yang menghancurkan hidup dan sumber-sumber hidup, tak pernah berhenti sejak 2000.
Ahli ekonomi terkemuka di belakang proyek MDGs, Jeffrey Sachs, memaparkan berbagai upaya untuk mengubah kemiskinan menjadi sejarah. Dalam The End of Poverty (2005), ia mengusulkan banyak hal. Mulai dari peningkatan bantuan bilateral dan multilateral sampai penanaman tumbuhan jenis polong-polongan yang mengikat nitrogen untuk menambah kesuburan tanah; antiretroviral untuk AIDS; dari telepon seluler untuk memperbarui informasi pasar sampai perencanaan kesehatan dan pemanfaatan air hujan. Proyek MDGs mengusulkan 449 langkah untuk mencapai 18 target dari delapan tujuan MDGs.
Membantu orang miskin itu mudah, begitu diyakini para ekonom dan pemimpin. Obat untuk mengurangi separuh kematian akibat malaria hanya 12 sen dollar AS per orang, kelambu hanya 4 dollar AS, dan mencegah kematian anak dan anak balita selama 10 tahun hanya membutuhkan tambahan 3 dollar bagi setiap ibu yang melahirkan anak pertama.
Lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia, membuat perubahan ambisius melalui dokumen-dokumen Strategi Penghapusan Kemiskinan yang birokratik dan sulit membuat pemerintah yang tak demokratis (meski memakai jargon demokrasi), mau berbicara dan mendengarkan kebutuhan orang miskin.
Aliran terbalik
Pakar ekonomi pertumbuhan dan bantuan luar negeri dari Universitas New York, William Easterly, dalam The Utopian Nightmare (2003), mencatat kegagalan bantuan ke Afrika. Setelah 43 tahun dan 568 miliar dollar AS (2003), Afrika tetap terjebak dalam stagnasi ekonomi. Bantuan itu bahkan tak mampu memenuhi 12 sen dollar obat-obatan yang melindungi anak-anak dari kematian akibat malaria. Easterly juga menyatakan, pasar bebas dan demokrasi bukanlah solusi sekejap untuk menghapuskan kemiskinan.
Pada Pertemuan Puncak PBB 2010, beberapa waktu lalu, Social Watch, kelompok yang memantau penghapusan kemiskinan dan keadilan jender, menyatakan, tak ada kemajuan yang berarti dalam sistem perdagangan dunia setelah negosiasi Doha tahun 2001. Bahkan, sumbangan negara maju untuk bantuan luar negeri negara berkembang turun dari 0,44 persen pendapatan tahun 1992 menjadi 0,43 persen tahun 2008. Seperempat dari jumlah bantuan itu hanya tertuju kepada enam negara, yaitu Afganistan, India, Irak, China, Indonesia, dan Vietnam.
Jadi, sebenarnya siapa membantu siapa?
David Sogge (2010) dari Transnational Institute menyatakan, tak ada bantuan tulus karena tak pernah ada makan siang gratis dalam fundamentalisme pasar yang terus dipromosikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Sejak 1990-an, aliran global, setelah diperhitungkan dengan bantuan luar negeri, bantuan investasi asing langsung (FDI) dan remiten, justru mengalir dari yang miskin kepada yang kaya, seperti terbaca dalam tabel. Begitulah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar