Senin, 18 April 2011

Tak Selamanya Kami Jadi Pembantu

PEKERJA MIGRAN

Kompas, Senin, 31 Januari 2011


KOMPAS/HAMZIRWAN
Sejumlah tenaga kerja Indonesia asyik belajar menggunakan laptop untuk mengakses bahan perkuliahan Jurusan Penerjemahan Bahasa Inggris Universitas Terbuka di gedung Sekolah Indonesia Singapura, Singapura, Minggu (23/1).

Oleh Hamzirwan
Halimah (29) dan Erika (25) bertahan di kelas di kompleks Sekolah Indonesia di Singapura, Minggu (23/1) siang. Mereka asyik dengan komputer jinjing mereka, antara lain mengecek informasi dari Universitas Terbuka, tempat mereka kuliah.

Sesekali, Erika, tenaga kerja Indonesia asal Metro Timur, Kota Metro, Lampung, berbicara dalam bahasa Inggris kepada Halimah, TKI asal Jalan Merdeka, Kecamatan Tanjungtiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Mereka mengambil jurusan yang sama, strata satu Penerjemahan Bahasa Inggris Universitas Terbuka (UT).
”Tidak selamanya saya menjadi pembantu. Kan, saya pengen juga mendapat pekerjaan yang lebih baik di negara sendiri,” ujar Halimah yang tahun ini memasuki semester II.
Erika, yang sudah berkuliah empat semester, pun mengangguk. ”Daripada we waste our time by going anywhere, ada laptop, lebih baik kami belajar,” ujarnya.
Terus meningkat
Erika; Halimah; Sumarni Ramadanti (23) asal Adipala, Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; dan Muzalimah Suradi (32) asal Pengkol, Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjadi bagian dari 853 TKI pembantu rumah tangga yang berkuliah di Universitas Terbuka. Mereka mendaftar dan membayar 4 dollar Singapura (sekitar Rp 28.000) per SKS untuk mata kuliah yang diambil.
Sejak UT membuka penerimaan untuk TKI di Singapura, jumlah mahasiswa terus meningkat dari 502 orang pada semester I-2009 menjadi 853 orang pada semester II-2010. Mereka mengambil berbagai mata kuliah yang diyakini bisa meningkatkan kompetensi demi bekal masa depan.
Sumarni, misalnya, lulusan SMEA jurusan Akuntansi, memilih meneruskan kuliah ke UT untuk menjadi sarjana akuntansi. ”Saya mau memulai usaha katering di kampung. Ibu yang mengurusi menu dan memasak. Saya hanya mengatur manajemen keuangan,” ujar mahasiswi semester IV ini sambil tersenyum.
Mereka pun memenuhi ruang kelas mengikuti berbagai pelajaran keahlian yang disediakan di samping kegiatan perkuliahan. Dengan antusias, mereka meningkatkan kompetensi pada hari libur.
Majikan yang pengertian dengan memberikan libur sehari sangat membantu TKI. Bahkan, Erika, yang bekerja kepada pasangan berkebangsaan Inggris di Hillview Avenue, memiliki lebih banyak waktu untuk belajar karena jam kerjanya lebih singkat.
Kualitas
Pertumbuhan ekonomi Singapura yang pesat memang menggiurkan bagi pekerja migran. Kondisi ini membuat ribuan orang terus berangkat bekerja ke luar negeri walau untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Muzalimah dan kawan-kawan tidak merasa rendah diri dengan profesi tersebut. Mereka tetap bergairah bekerja sambil belajar karena sadar suatu saat harus memulai hidup baru dengan profesi baru.
”Yang kami lakukan sekarang mengumpulkan modal dan ilmu. Begitu kedua hal itu selesai, saya akan mulai usaha baru di kampung,” ujar perempuan putih berjilbab tersebut.
Mereka pun tak ragu memanfaatkan kesempatan yang diberikan pemerintah. Atas peranan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura, dengan melibatkan pelajar Indonesia di Singapura, TKI pembantu rumah tangga meningkatkan kompetensi mereka.
Saat ini ada 169.000 warga negara Indonesia di Singapura. Sebanyak 92.000 orang di antaranya adalah TKI pembantu rumah tangga, 14.000 pelaut, 16.000 pekerja profesional, dan 21.000 pelajar.
Duta Besar RI untuk Singapura Wardana mengatakan, peningkatan kompetensi TKI pembantu rumah tangga menjadi semakin mudah berkat kerja sama masyarakat Indonesia di Singapura dan pemerintah.
Semakin banyak TKI yang memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan jenjang pendidikan mereka berkat program kelompok belajar Paket B, Paket C, dan UT.
Kepastian hukum yang baik di Singapura turut mendukung perlindungan TKI. Sebagian besar TKI pembantu rumah tangga pun sadar hak mereka karena kualitas pendidikan yang relatif lebih baik daripada mereka yang bekerja di Malaysia.
Pemakaian bahasa Inggris di Singapura menuntut TKI harus memahami hal itu sehingga kemampuan TKI pembantu rumah tangga di Singapura relatif lebih baik. Halimah mengatakan, masih ada TKI pembantu rumah tangga yang jadi korban kekejaman majikan dengan hanya makan nasi basi atau malah tidak diberi makan sama sekali dengan jam kerja berlebih.
Dalam berbagai keterbatasan peran negara untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, mereka mengadu nasib ke luar negeri. Dengan segala kemampuan, ribuan TKI pembantu rumah tangga berjuang mengumpulkan modal dan meningkatkan kompetensi untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/31/02442247/tak.selamanya.kami.jadi.pembantu

Tidak ada komentar: