Minggu, 01 Mei 2011

Gita Citra (Cita) dari Istana

Kompas Rabu, 25 Agustus 2010 | 03:34 WIB

EFFENDI GAZALI
Semua pemimpin dunia yang terpilih secara langsung pasti melalui pencitraan. Waktu memerintah, mereka pasti pula memainkan pencitraan. Ketika ”mencurahkan hati” pun (seperti saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, banyak pihak menyerang, mendiskreditkan, dan menyalahkannya, Kompas, 23/8), bisa- bisa dianggap bagian dari pencitraan.
Dalam posisi seperti itu, tidak semua pemimpin memiliki daya pegas sama. Itu tentu juga hak asasi masing-masingnya. Bisa juga merupakan bawaan genotipe atau fenotipe (pengalaman, kebiasaan, pengaruh lingkungan). Mereka yang banyak menekuni bidang seni, seperti mencipta puisi atau lagu, barangkali lebih perasa dibandingkan pemilik kegemaran lain.

Gita citra istana di satu sisi memang akan abadi berhadapan dengan kritik di sisi lainnya. Saat praktiknya bertumbuh pesat, ilmu pencitraan juga berkembang cepat. Umumnya ia jatuh ke wilayah political marketing. Secara paralel, ilmu mengkritik juga melaju. Biasanya jatuh pada kekhususan komunikasi politik. Ambil contoh studi-studi soal hibrid jurnalistik dan parodi (Feldman & Young, 2008). Di sini bukan citra, melainkan elemen cita (dibaca: structure of action, Ryfe, 2009) yang menjadi obyek utama.
Cita untuk rakyat
Mengenai Pak Beye, tentu pengamat harus pula memuji hal yang positif darinya. Kami, misalnya, sangat memuji reaksi cepat Presiden, tanpa gembar-gembor, saat mengubah pola pengawalan kendaraannya menanggapi sebuah surat pembaca. Tetapi, di sisi lain, apa yang disampaikan pengamat harus pula disimak secara lengkap. Jangan langsung digeneralisasi bahwa pengamat tahunya cuma kritik melulu. Sama seperti Presiden yang tetap bekerja sambil merajut citra, sebagian besar pengamat tetap mengajar dan bekerja bersama rakyat akar rumput.
Dalam hal tertentu, kritik memang perlu disertai usulan. Sama juga, pidato citra perlu dilengkapi dengan cita dalam bahasa rakyat. Kira-kira untuk bagian citra, bolehlah 70 persen. Sisanya mesti untuk cita bangsa.
Misalnya, rakyat barangkali merindukan Pak Beye menambah uraian kedaulatan RI yang merdeka dengan menyapa tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan kita sambil menegaskan aksi. Kita bayangkan Presiden berkata, ”Saya menyampaikan salam kepada Erwan, Asriadi, Sevo (saat masih ditahan di Malaysia). Kita akan terus bersama mereka dan selanjutnya akan memastikan bahwa insiden seperti ini tidak terulang lagi. Kita akan bertindak tegas sambil memperkuat armada perbatasan kita. Kita juga akan memberikan beasiswa untuk 200 anak bangsa terpilih agar kita segera memiliki ahli-ahli hukum laut dan perbatasan. Mereka kita tugaskan belajar di negeri-negeri yang memiliki akses untuk penyelesaian persoalan ini di tingkat internasional!”
Tentang ledakan gas, mungkin rakyat rindu pernyataan Pak Beye seperti ini, ”Dari rancangan belanja yang saya uraikan tadi, kita akan mengeluarkan jumlah yang signifikan untuk memperbaiki kekurangan kita dalam evaluasi program konversi minyak tanah ke gas, yang mestinya harus kita lakukan satu tahun setelah kesepakatan nasional tersebut kita jalankan. Kami minta maaf atas kekurangan ini. Seluruh peralatan gas akan kita cek bersama. Kita akan mengadakan tempat pelayanan untuk konsultasi dan penukaran secara cuma- cuma semua peralatan yang diragukan atau tidak memenuhi standar nasional. Pemerintah juga akan mengganti seluruh biaya perawatan korban dari sejumlah musibah yang terjadi.”
Inspirasi
Cita biasanya juga berarti menginspirasi. Rasanya akan banyak rakyat dan jajaran kepolisian terinspirasi untuk bersikap jelas serta bertindak tegas seandainya Pak Beye juga pernah menyatakan, ”Apa yang menimpa umat beragama di Kuningan, Bekasi, dan lainnya harus menjadi yang terakhir. Bangsa kita jelas memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada seorang pun yang boleh menyerang inisiatif dan kegiatan anak bangsa lain sebagai umat beragama. Saya menuntut pertanggungjawaban aparat hukum secara serius di mana pun kasus ini terjadi.”
Analisis Presiden tentang biaya politik amat tinggi juga menarik untuk dikembangkan jadi bahan inspirasi. Mungkin rakyat bisa membayangkan Pak Beye berkata, ”Saya usulkan agar dari dana KPU sekitar lima belas triliun per tahun, dua triliun dialokasikan untuk TVRI dan RRI. Ini merupakan alokasi untuk sosialisasi pemilu dan iklan politik cuma-cuma bagi semua peserta, dalam jumlah serta jam tayang yang sama. Hal ini akan memangkas sebagian biaya politik tinggi. Persaingan harusnya pada kualitas iklan politik. Bersamaan dengan itu, kita akan memiliki penyiaran publik yang kuat mengimbangi gaya stasiun komersial. Iklan dan debat pilkada pun lebih tepat di TVRI-RRI daerah masing-masing.”
Pastilah Presiden dan para penasihat ahlinya punya lebih banyak cita dan inspirasi yang menyentuh rakyat. Untuk hal seperti ini, tentu Presiden tak perlu menahan diri berbicara. Pengkritik pun harus terus meneriakkan gita citanya. Apalagi sebagian pengamat sudah setia melakukan kritik sejak zaman Pak Harto. Seperti kata pepatah, terkadang ”anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Pernah pula terjadi ”anjing menggonggong, kafilah terjatuh”. Yang penting, mereka tidak mengkritik untuk negosiasi agar diangkat jadi menteri atau staf ahli!
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Tidak ada komentar: