Kompas, Senin, 20 September 2010 | 04:06 WIB
The Global Competitiveness Report terbaru (2010-2011) yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 139 negara yang disurvei. Peringkat indeks daya saing kita naik tajam dibandingkan dengan laporan tahun lalu yang berada di urutan ke-54.
Ada 12 pilar daya saing yang menjadi basis penilaian, dikelompokkan ke dalam tiga bagian: basic requirements, efficiency enhancers, dan innovation and sophistication factors. Kelompok basic requirement—yang terdiri dari empat pilar: institutions, infrastructure, macroeconomic environment, dan health and primary education—dipandang sebagai kunci bagi factor-driven.
Mungkin keempat pilar tersebut bisa dipandang sebagai prasyarat utama daya saing. Sementara itu, kelompok efficiency enhancers, yang terdiri dari enam pilar, dipandang sebagai efficiency driven. Adapun kelompok ketiga, yang terdiri dari dua pilar, dipandang sebagai innovation driven. Ketiga kelompok ini saling terkait satu sama lain.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, yang merupakan salah seorang anggota dari The Global Competitiveness Advisory Board, mengatakan bahwa kenaikan signifikan peringkat Indonesia dipicu oleh perbaikan birokrasi dan iklim usaha yang kondusif.
Itu berarti, program reformasi birokrasi pemerintahan dianggap baik dan perlu ditingkatkan pada masa depan agar Indonesia juga bisa meningkatkan daya tarik investasi (Kompas, 13 September 2010, halaman 19).
Agaknya penilaian Menteri Perdagangan itu berlebihan. Reformasi birokrasi masih sangat terbatas dan belum menampakkan hasil berarti kecuali dalam hal jumlah perizinan dan waktu mengurusnya.
Jika kita mengacu pada laporan Forum Ekonomi Dunia, di kelompok basic requirement peringkat kita berada di urutan ke-60, sementara di kelompok efficiency enhancers berada di urutan ke-51.
Padahal, kedua kelompok ini sangat menjadi tumpuan bagi negara-negara yang tahapan pembangunannya masih belum matang. Laporan Forum Ekonomi Dunia membagi negara-negara ke dalam lima tahapan pembangunan. Indonesia berada di tahapan kedua dari bawah.
Justru peringkat kita paling baik untuk kelompok innovation and sophistication factors, yaitu di urutan ke-37. Pilar daya saing di kelompok ini lazimnya menjadi andalan utama negara-negara yang sudah maju.
Peningkatan peringkat daya saing kita tak terlepas dari keterpurukan banyak negara, terutama Eropa, akibat krisis global 2008. Tanpa perbaikan internal pun peringkat daya saing kita otomatis naik.
Tengok keterpurukan yang dialami Slovenia, yang peringkatnya anjlok dari posisi ke-37 menjadi ke-45. Juga Slowakia yang terbenam ke posisi ke-60 dari posisi ke-47. Portugal juga merosot dari urutan ke-43 tahun lalu menjadi urutan ke-46 tahun ini.
Posisi Indonesia melesat
Pemeringkatan daya saing versi Forum Ekonomi Dunia tampaknya sejalan dengan versi International Institute for Management Development (IMD) yang memublikasikan World Competitiveness Yearbook. Berdasarkan versi IMD, peringkat daya saing kita naik tajam dalam dua tahun terakhir.
Hingga tahun 2008, posisi kita hampir selalu nomor dua terbawah. Namun, pada tahun 2009, posisi kita melesat dari urutan ke-51 ke urutan ke-42, dan pada tahun 2010 melonjak ke urutan ke-35 dari 58 negara.
Yang kita susul umumnya adalah negara-negara Eropa karena mereka terjerembab, misalnya Bulgaria dari posisi ke-38 ke posisi ke-53, Slowakia dari ke-33 ke posisi ke-49, Slovenia dari posisi ke-32 ke posisi ke-53, Lituania dari posisi ke-31 ke posisi ke-43, dan Portugal dari posisi ke-34 ke posisi ke-37.
Di antara negara-negara Asia, posisi kita masih tercecer. Taiwan dan Malaysia menikmati lonjakan spektakuler, masing-masing dari posisi ke-23 ke posisi ke-8 dan dari ke-18 ke posisi ke-10. Negara Asia lain yang naik peringkat adalah China (dari ke-20 ke posisi ke-18) dan Korea (dari ke-27 ke posisi ke-23).
Perlu dicatat pula bahwa untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir Singapura dan Hongkong melesat ke posisi dua besar, menggeser Amerika Serikat yang sekarang di urutan ketiga. Tak pelak lagi, pascakrisis 2008 betul-betul menempatkan Asia sebagai bintang dunia. Kita beruntung berada di kawasan Asia yang sedang menunjukkan dinamika tinggi. Momentum ini harus bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin.
Persepsi investor dunia pun kian membaik terhadap Asia, termasuk Indonesia. Berdasarkan penelitian oleh UK Trade and Investment, Indonesia ditempatkan sebagai tujuan investasi nomor dua di dunia di luar Brasil, Rusia, India, dan China.
Survei yang dilakukan oleh JBIC terhadap perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di luar negeri juga menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih baik satu peringkat dalam dua tahun terakhir.
Pandangan terhadap Indonesia yang kian positif ini perlu kita jadikan sebagai momentum untuk memperkuat landasan bagi penguatan daya saing jangka panjang. Tidak boleh sekadar puas dengan membanjirnya investor di pasar keuangan.
Kita tak boleh cepat puas. Sekalipun pertumbuhan ekonomi kita kian tinggi, negara-negara tetangga tumbuh lebih tinggi lagi. Angka pertumbuhan triwulan II-2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan kita adalah yang paling rendah (Kompas, 14 September 2010, halaman 17).
Pekerjaan rumah kita sudah jelas. Mulailah dari yang paling mendasar, yakni pembenahan institusi dan infrastruktur serta penguatan sumber daya manusia yang paling dasar, yaitu kesehatan dan pendidikan dasar.
Mengingat daya saing jangka panjang sangat ditentukan oleh kualitas institusi, tidak berlebihan untuk sesegera mungkin beranjak dari reformasi ke transformasi kelembagaan. Itu barangkali salah satu pesan penting yang disampaikan Profesor David T Ellwood pada Presidential Lecture, Rabu pekan lalu (Kompas, 16 September 2010, halaman 1 dan 15).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar