Jumat, 06 Mei 2011

Mengelola Negara Kesejahteraan


Kompas, Senin, 13 September 2010 | 04:41 WIB

Budiman Sudjatmiko
Konsepsi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan para pendiri republik harus berkembang menerjang waktu. Hal tersebut mensyaratkan watak modern, efektif, dan efisien, tetapi tetap berbasis kearifan lokal bangsa.
Karena para perintis telah mendirikan republik ini dengan niat baik, kita tak boleh memperpanjang antrean para ahli warisnya yang bingung dan rendah diri dalam menghadapi tantangan tersebut. Saat ini terdapat sejumlah anak muda yang mencintai Indonesia, yang sedang mulai mendaftar kira-kira kebutuhan-kebutuhan apa saja yang bakal mengemuka sampai 50 tahun ke depan.
Yang saya maksud adalah kebutuhan-kebutuhan bila kita membangun dan membiayai sebuah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyeluruh, lewat penerimaan pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan semacamnya.

Saya mengusulkan sibernetika sosial sebagai perangkat mekanisme alokasi sumber daya agar tetap efisien dan tepat sasaran. Pendekatan modern ini telah teruji secara luas dalam pengelolaan dan sistem kendali manajemen perusahaan-perusahaan besar dan juga sejumlah negara.
Secara umum, gambar besar dari gagasan itu akan tampak seperti ini. Proses produksi dan konsumsi dari semua sektor perekonomian kita (bayangkan dinamika crude oil price Indonesia, misalnya), kapasitas dan surplus yang dihasilkan proses-proses itu untuk membiayai Negara Kesejahteraan (kenaikan penerimaan dari perubahan harga minyak, misalnya), pengambilan keputusan di tingkat terendah (seperti petani beras di desa atau di lantai produksi pabrik pangan, misalnya), dan faktor-faktor relevan lainnya (struktur demografis dan sebaran spasial dari kantong- kantong kaum miskin perkotaan/ perdesaan, misalnya) akan dihimpun dalam satu gugus kendali. Gugus kendali ini berbasis jaringan yang bekerja simultan. Jaringan itu sendiri bersandar pada asupan informasi dari perkembangan terkini (real time) yang memungkinkan inefisiensi alokasi informasi dan sumber daya ditekan serendah mungkin.
Dengan sibernetika sosial, saya membayangkan bahwa Anda akan lebih percaya diri untuk mengatakan: ”Dalam waktu t, karena kenaikan harga minyak sebesar 0,02 persen pada t - 1, Indonesia akan menambah X tempat tidur dan Y alat kesehatan di rumah sakit daerah Kabupaten Z. Fasilitas tempat tidur dan alat kesehatan itu akan bisa dipakai masyarakat mulai t + 1”.
Sibernetika sosial kian relevan karena sejak tahun 2001 kita melakukan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan demikian, kita dihadang pada kompleksitas pengambilan keputusan termasuk di tingkat daerah, yang sangat terbatas apabila menggunakan pendekatan birokrasi tradisional. Terkait Negara Kesejahteraan, pembangunan SJSN pada akhirnya haruslah mempertimbangkan kemampuan daerah untuk menjalankan sistem jaminan sosial ini. Antara lain, kemampuan pembiayaan, kemampuan pelayanan jasa dari SJSN, atau kemampuan untuk evaluasi, monitoring, dan verifikasi. Kearifan lokal tiap daerah adalah basis pengelolaannya.
Kearifan lokal
Konsepsi Negara Kesejahteraan Indonesia akan lestari jika belajar banyak dan bersandar pada kearifan-kearifan lokal di tanah air yang berkaitan dengan kerja sama sosial. Saya ingin menyitir dua contoh dari pengalaman-pengalaman tersebut: sistem irigasi di Bali (subak) dan sistem perburuan paus di Lamalera yang telah teruji dalam sistem yang kompleks.
Sistem subak telah berusia lebih dari seribu tahun. Apa yang kurang kita kenal barangkali adalah bagaimana dilema sosial dipecahkan secara cerdas di sana. Dilema sosial itu berkaitan dengan pembagian sumber daya yang demikian terbatas, tetapi bisa menguntungkan setiap orang yang turut serta dalam sistem tersebut.
Seperti kita ketahui, karena topografi di Bali, sawah dibuat berundak-undak. Air mengairi empang-empang padi dari hulu ke hilir, membuat pemilih empang padi di bagian hilir sangat mungkin kekurangan pasokan air. Selain itu, hama tikus juga adalah ancaman serius bagi tiap petani padi, baik yang memiliki lahan di hulu maupun yang di hilir. Kalau air tak bisa mengalir dari bawah ke atas, dari hilir ke hulu, lain halnya dengan tikus yang bisa berada di mana saja.
Para petani Bali lantas bersepakat mengairi dan melakukan panen padi secara serempak. Sebagai hasilnya, tikus jadi tak memiliki kesempatan menghabisi padi secara berpindah-pindah, dari empang yang satu ke empang yang lain, dari sistem subak di daerah satu ke daerah lain, sampai akhirnya tikus-tikus itu mati.
Moral cerita ini adalah gotong royong antarpetani yang mengusung kepentingan bersama. Masing-masing sadar, bertindak egois untuk kepentingan diri sendiri akan membuat hasil per kapita panen padi akan lebih rendah dibandingkan dengan hasil kerja kolektif. Struktur interaksi seperti ini membuat para petani sadar, mereka akan dihukum dengan cukup keras jika berpaling dari kerja sama sosial. Ini pelajaran penting yang harus kita ambil untuk konsepsi Negara Kesejahteraan Indonesia: bagaimana membuat kerja sama sosial menjadi pilihan yang menguntungkan bagi setiap orang sehingga sebuah sistem dinamis dapat hidup dan bertahan secara berkelanjutan.
Solidaritas sosial
Pengalaman nelayan pemburu paus di Lamalera, Nusa Tenggara, juga menarik.
Berburu ikan paus sudah tentu bukanlah perkara gampang, dan pastinya berbahaya, apalagi menggunakan perangkat seperti perahu tradisional. Dibutuhkan koordinasi dan kerja sama sosial. Satu perahu yang melakukan penangkapan berisi sampai 14 orang dan tak jarang lebih dari satu perahu yang terlibat dalam penangkapan tersebut. Tak jarang pula ada perahu yang sampai terjungkal ke laut lantas butuh pertolongan.
Yang ingin sekali saya angkat adalah bagaimana hasil tangkapan itu dibagikan. Mekanisme pembagian hasil tangkapan itu punya norma kerja sama sosial sendiri. Pertama-tama, hasil tangkapan dibagikan kepada nelayan yang terlibat langsung dalam penangkapan. Mereka mendapatkan bagian-bagian yang penting dari paus. Lalu, para penerima hasil tangkapan berikutnya adalah beberapa anggota tertentu dari kelompok pengelola perahu, biasanya berdasarkan garis keturunan.
Setelah itu, kelompok penerima hasil tangkapan yang lain adalah para anggota perahu yang kadang bukan anggota dari kelompok yang menangkap langsung. Akhirnya, bagian tangkapan diberikan juga kepada kelompok yang merupakan penghuni awal Pulau Lembata sebagai semacam konsesi atas penggunaan lahan.
Sebuah sistem kerja sama yang kompleks. Lalu, bagaimana jika ada pihak atau perahu yang melanggar norma sosial yang telah disepakati bersama ini? Ada kasus di mana perahu tersebut, ketika menangkap paus tenggelam dan membutuhkan bantuan, dibiarkan tenggelam oleh para nelayan yang lain.
Jika di Bali mengandalkan insentif bersama, kerja sama sosial di Lamalera pada tingkat tertentu menggunakan struktur insentif yang lain, yaitu mekanisme penghukuman sosial. Kedua kerja sama ini berlandaskan pada mekanisme solidaritas sosial (gotong royong) di satu sisi dan resiprositas sosial di sisi lain. Dalam membangun sebuah Negara Kesejahteraan yang ingin hidup dan bertahan lama, dua ciri di atas adalah penting.
Budiman Sudjatmiko Anggota Komisi II DPR dan Pembina Utama Persatuan Rakyat Desa Nusantara (Parade Nusantara)

Tidak ada komentar: