Kompas, Sabtu, 13 November 2010 | 02:45 WIB
Budiarto Shambazy
Saya yakin andai ada sesi tanya jawab dalam pidato di Balairung Kampus UI, Depok, Rabu (10/11), banyak hadirin yang curhat kepada Presiden AS Barack Obama. Soalnya dia mendadak jadi pemimpin idola yang kita rindukan walau cuma mampir di Jakarta 19 jam saja.Curhat pertama begini. ”Bapak dua kali membatalkan lawatan ke sini karena bencana kebocoran minyak Teluk Meksiko dan memperjuangkan RUU jaminan kesehatan. Kenapa para pemimpin/politisi kami malah ke luar negeri saat ada bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi?”
Curhat nomor dua lain lagi. ”Bapak warga minoritas, tapi bisa jadi presiden. Kok bisa? Sukar dibayangkan itu terjadi di sini karena hampir semua etnis dan agama minoritas dimusuhi atau diserbu. Pemerintah berpangku tangan saja!”
Sekarang curhat nomor tiga. ”Pak, apa benar mau membantu pemberantasan korupsi? Kalau benar, tolong cepat-cepat kirim agen-agen FBI menyidik korupsi Century. Kalau bisa, kerja sama kemitraan strategis mencakup pula bantuan ahli-ahli AS mengurai banjir dan macet Jakarta!”
Pidato Obama bukan saja mengundang curhat, tetapi juga tangis. Saya dua kali diundang menyaksikan pidatonya ketika merayakan kemenangan Pilpres 2008 di Chicago, November 2008, dan dilantik sebagai presiden di Washington DC, Januari 2009.
Ratusan warga mewek, mulai dari yang menangis meraung-raung sampai yang hanya menitikkan air mata. Mereka yang menangis tak pandang bulu: tua, muda, kaya, miskin, hitam, putih, sendiri-sendiri, atau beramai-ramai. Saya bersumpah ikut sedikit terharu!
Jika berpidato, Obama memang enggak pernah curhat. Tetapi, ia reach out mendengarkan curhat rakyat. Akibatnya, rakyat merasa punya teman berbagi dan berharap hidupnya bisa lebih baik. Itu sesuai dengan slogan kampanye kemenangan Obama, ”Yes We Can” (Bersama Kita Bisa).
Mengapa Obama pandai menampung curhat? Kini saya tahu jawabannya: 50 persen karena ia orang awam yang tak sudi berpura-pura dan 50 persen karena rakyat kecewa kepada Presiden George W Bush selama delapan tahun memerintah.
Obama sebenarnya kurang pandai berpidato, makanya ia disarankan tetap memakai teleprompter. Namun, ia jujur dalam menyampaikan isi dan cara menyampaikan pidato dengan gaya profesor rendah hati. Seperti kata pepatah, the singer, not the song.
Rakyat AS tergila-gila kepada Obama karena sebal kepada George W Bush. Fenomena ini lebih kurang sama dengan yang dialami 5.000 hadirin di Balairung UI, yang tergila-gila pula kepada Obama karena merasa sebal terhadap kelakuan para pemimpin kita.
Jadi, ”Obamania” di sini cuma sekadar kompensasi politik. Kini di negaranya Obama mulai menghadapi masalah, tetapi popularitasnya tak menurun drastis, masih rata-rata 40 persen. Dan, sampai sekarang ia praktis belum tersaingi untuk jadi presiden 2012-2016.
Nah, Obama sebenarnya bukan melawat, cuma ”mampir” ke Jakarta dari India, on the way ke Korea Selatan dan Jepang. Kita boleh saja gembira karena rakyat Australia dan Guam pasti kecewa batal dikunjungi oleh ”Obama the rock star”.
Meski tak pernah menulis lagu dan menjual CD, karisma Obama tak kalah dibandingkan dengan Mick Jagger. Mereka mampu menyedot puluhan ribu penonton sekali manggung. Makanya Obama ngotot mau pidato di UI untuk reach out ke berbagai kalangan yang diwakili 5.000 undangan saja.
Tampak sekali Obama enjoy-enjoy aja. Buktinya ia bolak-balik ngomong Indonesia, menyimpang dari teks di teleprompter. Tiap kali mengucapkan bahasa kita, matanya berbinar dan senyumnya lebar memperlihatkan deretan giginya yang seperti permen Chiclets.
Setidaknya Obama menjawab curhat kita melalui tiga hal pokok: pembangunan, demokrasi, dan toleransi. Ia paham kesenjangan masih besar, demokrasi bermasalah, dan kebinekaan terancam. Tak heran ia paham tiga hal ini karena, katanya, ”Indonesia bagian dari diri saya.”
Benar, untuk ketiga soal itu kita mungkin lebih tahu. Namun, kita kok baru sadar dan prihatin tiga soal besar tersebut masih saja melilit bangsa yang sudah merdeka 65 tahun ini justru ketika diucapkan oleh seorang Obama?
Jawabannya mudah: selama ini kita kurang sadar dan prihatin karena ketiga soal itu hanya diucapkan sampai pada tingkat wacana semata-mata oleh mulut-mulut pemimpin kita. Pidato mereka kosong tanpa makna karena mereka selalu ”lain kata lain perbuatan”.
Saya yakin Obama senang bukan kepalang walau cuma mampir. Buktinya ia bilang, ”Pulang kampung nih!” Setidaknya ia juga puas melahap habis berbagai suguhan yang bukan cuma sate dan bakso, melainkan juga tongseng, somay, gado-gado, sampai sop buntut.
Lawatan Obama tak lebih dari nostalgia belaka yang bersifat simbolis saja. Mungkin sebagian dari pejabat kita yang ”sok genting”, sampai-sampai sapi-sapi dan kambing-kambing kurban di pinggir jalan enggak boleh ikut nonton Obama karena ditutupi terpal.
Saya harap Anda terhibur ikutan ngobama atau, dalam bahasa Inggris, Obama-ing. Arti nge dalam bahasa Betawi lebih kurang ”iseng saja”, misalnya nge-mal (iseng keliling mal). Untung dia hanya 19 jam di sini. Kalau enggak, banyak facebooker membuat grup ”Dukung Obama Jadi Presiden”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar