Kompas, Kamis, 25 November 2010 | 03:02 WIB
Oleh Frenky Simanjuntak
Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics without strategy is the noise before defeat.Sun Tzu
Untuk memenangkan perang diperlukan strategi. Ini hal yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada Desember 2009 menyatakan perang melawan korupsi, logika mengatakan bahwa Presiden tentu sudah memiliki strategi khusus untuk memenangkan perang tersebut.
Satu tahun hampir berlalu sejak pidatonya, situasi pemberantasan korupsi di Indonesia tetap saja jalan di tempat. Hal ini antara lain dapat dilihat berdasarkan indikator skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) 2010 yang masih belum bergeser dari angka 2,8.
CPI adalah instrumen pengukuran korupsi global yang dibuat Transparency International dengan rentang indeks 0-10, di mana 0 dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih. Apakah ini berarti pidato Presiden hanya sekadar janji politik dan pemerintah sama sekali tidak memiliki strategi apa pun untuk berperang melawan korupsi?
Salah satu elemen paling penting dalam penyusunan strategi adalah penetapan target capaian. Tanpa adanya target, strategi akan kehilangan makna dan hanya akan berupa serangkaian aktivitas yang tidak jelas arah tujuannya.
Dalam konteks strategi pemberantasan korupsi, pemerintah ternyata punya target capaian. Capaian itu dapat ditemukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Di dalamnya ada target demokratisasi dan penegakan hukum dengan salah satu indikator skor Indonesia dalam CPI 2014 adalah 5.
Secara metodologi, penetapan CPI sebagai target capaian pemberantasan korupsi sebenarnya sangat bermasalah. Transparency International dalam setiap publikasinya tentang CPI selalu mengingatkan bahwa CPI bukanlah instrumen yang tepat untuk menganalisis kecenderungan perubahan antarwaktu. Ini karena metode CPI menggabungkan indeks dari berbagai sumber survei yang bisa berbeda dari tahun ke tahun sehingga perubahan skor dapat terjadi akibat perubahan metode dan bukan representasi perubahan sesungguhnya di lapangan. CPI lebih merupakan potret situasi tahunan korupsi di suatu negara.
Sepertinya pemerintah tidak mengindahkan fakta ini ketika menyusun target capaian RPJMN. Dalam penyusunan strategi perang, penentuan target capaian yang tidak tepat merupakan kekeliruan fatal.
Bantai atau bumi hangus?
Dalam perang melawan korupsi, teori perang konvensional bisa diaplikasikan. Teks-teks mengenai teori perang menyebutkan, paling tidak ada dua tipe perang, yaitu war of annihilation dan war of attrition.
War of annihilation atau perang pembantaian mengacu pada strategi penghancuran total kemampuan berperang dalam beberapa atau bahkan dalam satu pertempuran yang menentukan. Strategi perang ini digunakan Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Austerlitz (1805) melawan pasukan koalisi Kerajaan Rusia dan Australia.
Pertempuran Austerlitz secara efektif menghancurkan perlawanan negara-negara Eropa terhadap kekuatan Kerajaan Perancis. Dalam perang melawan korupsi, strategi perang pembantaian bisa diaplikasikan dalam bentuk penyelesaian secara cepat dan tegas kasus-kasus korupsi besar, penangkapan koruptor kelas kakap dan berpengaruh, dan pemberian hukuman maksimal kepada para koruptor.
War of attrition atau perang bumi hangus adalah strategi perang yang bertujuan menghancurkan kemampuan bertempur lawan lewat perang berkepanjangan dan penghancuran sumber daya logistik dan personel. Ketika Kerajaan Romawi diinvasi pasukan Carthage di bawah pimpinan Hannibal Barca dalam perang Punic Kedua (218-202 SM), Konsul Fabius menggunakan strategi bumi hangus.
Ia menghancurkan jalur suplai makanan dan bantuan personel dengan membakar desa-desa dan ladang gandum yang akan dilewati pasukan Cartaghe. Strategi Fabius ternyata efektif memaksa pasukan Cartaghe mundur.
Dalam perang melawan korupsi, strategi bumi hangus dapat diaplikasikan dengan cara menutup ruang gerak koruptor dalam birokrasi melalui penerapan reformasi birokrasi, pengawasan yang efektif, dan penerapan transparansi. Strategi ini bila diterapkan secara efektif akan menutup ruang gerak dan jalur-jalur suplai uang haram para koruptor.
Strategi pencitraan
Sebagai mantan jenderal lulusan terbaik Akabri angkatan 1973, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentunya sangat paham mengenai strategi perang tersebut. Doktrin perang modern menyatakan bahwa strategi perang berkembang dan saat ini strategi perang pembantaian ataupun bumi hangus secara murni tidak aplikatif lagi. Sama halnya dalam perang melawan korupsi, kedua strategi pertempuran tersebut harus digunakan dengan melihat prioritas yang terukur secara jelas.
Persoalannya, pemerintah seakan tidak memiliki skala prioritas yang jelas dalam pemberantasan korupsi. Penegakan hukum dan penindakan kasusnya tanggung. Reformasi birokrasi dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik juga berjalan sangat lambat.
Seharusnya pemerintah membuat gebrakan berani dengan membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang kuat, misalnya dengan menindaklanjuti kesaksian Gayus Tambunan di persidangan atau kasus cek pelawat di DPR. Prioritas reformasi birokrasi harus difokuskan pada sektor-sektor strategis, seperti aspek perizinan usaha dan tata kelola industri ekstraktif.
Alih-alih melakukan hal itu, pemerintah justru menerapkan strategi pencitraan dengan institusi-institusi taktis dan ad-hoc yang ternyata tidak efektif dalam memerangi korupsi yang sistemik. Strategi pencitraan mungkin jitu untuk kepentingan pemenangan pemilu, tapi saya kira tidak tepat bila diterapkan untuk berperang.
Dokumen Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi 2010-2025 telah diluncurkan awal tahun ini oleh Bappenas. Dokumen yang rencananya akan diresmikan sebagai peraturan presiden, ternyata sampai saat ini belum ditandatangani sehingga tidak punya kekuatan hukum. Ironis rasanya bahwa perang yang dicanangkan oleh Presiden hampir setahun yang lalu ternyata hanya mengandalkan taktik tanpa strategi.
Frenky Simanjuntak Manager Economic Governance Department Transparency International Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar