Kompas Senin, 23 Agustus 2010 | 02:45 WIB
Mochtar Pabottingi
Pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.
Dia menegaskan ”akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi” (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh! Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening.Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian.
Kita juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara serius di tempat yang serius.
Jika Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang sama sekali lain dari ”wacana lima tahun lagi”. Mereka umumnya akan berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran negara yang skalanya kian meluas.
Dalamnya keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa ”potensi kemungkinan Indonesia menjadi ’negara gagal’ semakin besar” (”Kesalehan Sosial Bangkrut”) dan bahwa negara kita memerlukan ”terobosan radikal dengan prioritas jelas” (Tajuk ”Persoalan Berlapis-Lapis”, Kompas, 10/8). Dengan tingkat keresahan dan keprihatinan ini, ”lima tahun lagi” adalah sungguh jauh panggang dari api.
Tantangan terbesar
Tantangan terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu, dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in charge.
Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul- simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang itulah tugas inheren kepresidenan.
Jika Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai ”logam mulia”. Ia tak gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya.
Dia tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan.
Pemahaman konsisten-progresif
Kontras dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari ”Ground Zero” 9/11 kembali membuktikan hal itu.
Landasan utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong, darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka, tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah benar-benar sebagai ”logam mulia”.
Tanpa pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor ”Encore!” Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand, ”Enough is enough!”
Jika kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib ”negara gagal”, mari bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus menghindar (”Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya”), dan mulai sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati.
Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan yang sama sekali tidak lucu!
Mochtar Pabottingi Peneliti Senior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar