Kompas, Senin, 30 Agustus 2010 | 03:12 WIB
Oleh Makmur Keliat
Penulis sangat setuju dengan tulisan Julian Aldrin Pasha (Kompas, 25/8). Tidak ada keraguan apa pun dari penulis, SBY adalah pemimpin politik yang sangat konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya. Ia adalah pemimpin yang memiliki karakter tersendiri. Pilihan kata yang diungkapkan SBY dalam berbagai pidato dan ucapannya menunjukkan karakter dan kualitas kecerdasan yang istimewa (extraordinary). Namun, terlalu tinggi harapan jika ada yang memproyeksikan karakter dirinya ini akan berubah dalam pola kerjanya. Ia akan tetap terus bekerja secara konsisten sesuai dengan karakternya itu. Kehati-hatiannya dalam mengambil keputusan mungkin tidak akan pernah bisa berubah hingga tahun 2014.
Ini tidak berarti pemimpin lain yang telah dimiliki Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa terakhir tidak pula konsisten dengan karakter dirinya. Menurut penulis, baik Habibie, almarhum Gus Dur, maupun Megawati juga memiliki karakter tersendiri. Habibie sangat terbuka dan emosional. Gus Dur sangat ekspresif dan decisive. Megawati adalah pemimpin politik yang sederhana dan sangat karismatis di lingkaran pengikutnya.
Kondisi struktural
Bagi penulis, persoalan sebenarnya bukanlah pada karakter pemimpin yang dimiliki negeri ini. Yang jauh lebih penting untuk menjelaskan mengapa harapan tinggi yang dimunculkan pada awal reformasi kini seakan hilang ditelan kegelapan malam harusnya dijelaskan dari adanya empat faktor struktural yang sampai sekarang terus berlangsung. Pertama, tidak terdapatnya monopoli negara dalam penggunaan kekerasan maupun monopoli dalam pemungutan pajak. Dalam monopoli kekerasan, misalnya, kita bisa melihat dengan mata telanjang adanya kelompok-kelompok yang bukan mewakili negara, melainkan telah menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Kita juga bisa melihat munculnya keamanan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan, misalnya melalui kehadiran satuan pemelihara keamanan di perumahan-perumahan kalangan atas.
Demikian juga halnya, negara belum mampu melakukan monopoli dalam pemungutan pajak. Penggelapan pajak yang merugikan negara terjadi di negeri ini terpampang jelas di hadapan kita. Pada lapisan atas, pungutan pajak secara gelap itu ditunjukkan oleh kasus Gayus dan di lapisan bawah diperlihatkan dari pungutan-pungutan tidak resmi oleh para preman dan centeng di sejumlah tempat, pasar, dan jalan.
Kedua, konstitusi yang kita miliki belum menunjukkan bahwa negeri ini memiliki kedaulatan sepenuhnya. Walau sudah memiliki perayaan Hari Konstitusi, negeri ini hanya memiliki sebatas kedaulatan hukum (legal sovereignty), tetapi belum mampu menggunakan kedaulatan hukum itu untuk mewujudkan kedaulatan material bagi penduduk negeri ini. ”Pencurian” terus terjadi terhadap sumber alam negeri ini, baik berupa barang tambang dan mineral di daratan maupun sumber alam hayati di wilayah laut. Pencurian itu telah dilakukan baik secara ilegal, seperti kasus yang baru saja terjadi di perbatasan laut dengan Malaysia, maupun yang kita rasakan sebagai sesuatu yang ”dilegalkan” dan ”diinstitusionalisasikan” dengan menandatangani kesepakatan dengan pihak asing melalui pemberian konsesi pertambangan selama puluhan tahun.
Ketiga, demokrasi yang kita kembangkan telah dibangun tanpa sekumpulan nilai yang perlu diawetkan dan terus diperjuangkan. Demokrasi kita adalah demokrasi mirip seperti yang dilakukan Berlusconi di Italia. Dalam gaya demokrasi Berlusconian yang telah dialami Italia dalam beberapa tahun terakhir ini, tali-temali antara kekuasaan ekonomi (economic power) dan kekuasaan media (media power) menjadi kunci untuk mendapatkan kekuasaan politik (political power). Akibatnya, demokrasi di negeri ini dijalankan hanya sebagai suatu kontestasi sebatas tontonan melalui media elektronik dan melalui berbagai survei politik menjelang pemilu, baik tingkat nasional maupun daerah. Nilai menjadi hilang ditelan gegap gempita demokrasi, fakta dan fiksi menjadi kabur, seperti yang mulai terlihat dalam perjalanan kasus Bank Century.
Keempat, badan-badan usaha negara dianggap menjadi parasit dan kebijakan swastanisasi, apakah dilaksanakan secara parsial maupun keseluruhan, dipandang sebagai ”jembatan emas” menuju kesejahteraan. Beberapa contoh untuk ini misalnya terdapat unit usaha dari rumah sakit publik yang dikelola secara swasta dengan bayaran yang lebih mahal, hadirnya jenjang-jenjang khusus dan label ”internasional” di perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang tentu saja lebih mahal, dan munculnya perusahaan pasokan air untuk kebutuhan publik yang dijalankan oleh swasta. Kebijakan seperti ini tentu saja telah melupakan dua fakta. Fakta pertama, motif untuk pengelolaan badan usaha negara bukanlah karena efisiensi, melainkan karena adanya kesadaran bahwa kekuasaan ekonomi dapat dengan mudah diubah menjadi kekuasaan politik. Fakta kedua, badan usaha publik adalah wajah konkret dari kehadiran negara, yang menghubungkan para elite politik dengan rakyatnya. Dua fakta ini dihilangkan secara sengaja dari kebijakan swastanisasi.
Bukan soal konsistensi
Empat kondisi struktural inilah yang telah melanda Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Keempat kondisi ini saling terkait satu dengan lainnya. Penggerusan monopoli negara dalam kekerasan dan monopoli pajak sebagai misal dimungkinkan terjadi karena konstitusi hanya dipandang sebagai sekumpulan kertas belaka dan para elite politik hanya sibuk melakukan mekanisme transaksi politik dan karena mereka sekaligus merupakan pemain-pemain dalam proses swastanisasi itu. Dalam situasi seperti ini, siapa pun yang memimpin negeri yang kita sebut dengan Indonesia ini, secerdas apa pun dirinya, sekarismatis apa pun sosoknya, tidak akan mengubah secara substansial kondisi yang tengah kita hadapi kecuali ia berbuat sesuatu untuk membalikkan semua empat kecenderungan di atas.
Pembalikan itu hanya dapat dilakukan jika negara diperkuat. Tanpa penguatan negara, semua empat kecenderungan itu akan terus menguat. Kecenderungan itu akan menggerus otoritas negara. Karena itu, pemikiran neoliberal yang mendambakan negara yang minimalis, atau dalam istilah Philipp Bobbit (2002) sebagai negara yang mengabdi kepada pasar (market-state), bukanlah jawaban untuk memecahkan empat kondisi struktural itu. Bahkan neoliberal itu, seperti yang dikataan Erhard Eppler (2009), merupakan ibu yang telah melahirkan empat kecenderungan tersebut. Karena itu pula, persoalan yang kita hadapi sebaiknya tidak digeser pada isu karakter presiden negeri ini, sebagai misal apakah dirinya memiliki konsistensi atau tidak.
Bagi penulis dan mungkin juga banyak yang akan sepakat, kebesaran dari pemimpin negeri ini akan dicatat dalam sejarah kalau dia dapat melawan secara faktual empat kecenderungan di atas. Jika tidak, ia nantinya hanyalah bagian dari catatan kaki sejarah. Ringkasnya, kecerdasan verbal semata yang dimiliki seorang pemimpin politik bukanlah modal yang cukup untuk dikenang sebagai pembuat sejarah.
MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar