GERAKAN RAKYAT MESIR
DAHONO FITRIANTO
Bayi itu lahir sudah. Setelah 30 tahun dicengkeram kekuasaan absolut ”presiden seumur hidup”, bayi kedaulatan rakyat telah lahir di Mesir dalam aksi yang mencengangkan seluruh dunia. Rakyat telah mendobrak tembok rasa takut itu xdan bayi ini telah lahir. Apakah dia bayi lelaki atau perempuan? Akan kami beri ASI atau susu bubuk? Bagaimana kami akan membesarkan dia? Ke mana kami akan menyekolahkannya? Kami belum tahu semua itu, tetapi yang jelas bayi ini sudah lahir,” tutur Gameela Ismail (44), tokoh jurnalis televisi Mesir, kepada majalah Newsweek edisi 7 Februari 2011.
Banyak pengamat senada dengan Ismail. Apa pun yang akan terjadi setelah ini tak akan mengembalikan Mesir yang lama. ”Kalian semua telah mengambil kembali hak-hak kalian. Apa yang telah kita mulai tak bisa disurutkan lagi,” seru pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei di hadapan puluhan ribu warga Mesir di Alun-alun Tahrir, Kairo, Minggu (30/1) malam.
Fawaz Gergez, pakar Timur Tengah dari London School of Economics, menyebut revolusi Mesir yang dimulai pada 25 Januari dan mencapai puncaknya dengan berkumpulnya sekitar dua juta demonstran di sekitar Alun-alun Tahrir, Selasa (1/2), adalah ”Momen Berlin” dunia Arab, mengacu pada robohnya Tembok Berlin, Jerman, November 1989. ”Tembok otoritarianisme itu telah runtuh, terlepas dari Mubarak jadi terguling atau tidak,” tutur Gergez kepada Reuters, Minggu.
Semua itu sepertinya terjadi begitu tiba-tiba. Tak seorang pun di dunia menduga eskalasi situasi di Mesir bisa terjadi begitu cepat. Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter yang mensponsori perjanjian damai bersejarah Mesir-Israel di Camp David, AS, 1979, menyebut krisis Mesir ”mengguncang dunia” dan ”situasi paling genting di Timur Tengah” sejak ia tak lagi menjadi presiden.
Batas toleransi rakyat
Dari sisi alasan, revolusi yang sedang terjadi di Mesir tak jauh beda dari semua revolusi di muka Bumi. Rakyat muak dengan kemiskinan, pengangguran, kenaikan harga barang dan biaya hidup, korupsi, dan ketimpangan gaya hidup. ”Saya hanya bisa makan roti kering. Saya tak mampu membeli daging. (Tetapi) Hosni makan lobster dan kaviar setiap hari. Saya ingin dia dan keluarganya pergi dari sini. Saya sudah lelah dan muak dengan para pengecut itu!” tandas demonstran bernama Guindy (24) kepada Reuters.
Demonstran lain menggambarkan habisnya toleransi mereka atas segala represi dan kekejaman penguasa. ”Bukannya membantu rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka, orang-orang ini justru bertingkah seperti setan. Saya tak peduli dengan politik dan juga seorang penakut, tetapi akan ikut ke jalan karena tak bisa melihat mereka membunuh saudara- saudara kami,” kata Zeinab Abdel Fattah (17) tentang tindakan polisi yang secara brutal berusaha membubarkan aksi damai para demonstran.
Selama sepekan aksi demonstrasi di seluruh Mesir, lebih dari 150 orang tewas akibat bentrokan berdarah dengan polisi. Semua itu menambah dalam dendam dan antipati rakyat terhadap polisi, alat utama penguasa untuk menekan dan menyiksa rakyat di bawah Undang- Undang Darurat yang diterapkan lebih dari 40 tahun.
Sebuah kawat diplomatik rahasia dari Kedutaan Besar AS, 28 Juli 2009, yang dibocorkan WikiLeaks pekan lalu, menyebutkan, polisi Mesir dengan mudah menangkap dan menahan jurnalis, penulis puisi, dan blogger yang kritis terhadap pemerintahan Mubarak.
Keresahan masyarakat terakumulasi bagaikan bara dalam sekam yang bisa berkobar menjadi revolusi. Ada yang menduga, revolusi di Mesir ini dipicu aksi demonstrasi rakyat di Tunisia yang berhasil menggulingkan dan mengusir Presiden Zine al-Abidine Ben Ali, 14 Januari.
Kekuatan massa
Revolusi Tunisia tersebut dalam waktu singkat memicu gelombang aksi serupa di Mesir, Yaman, Aljazair, dan Jordania. Perdana Menteri Jordania Samir Rifai akhirnya mengundurkan diri, Selasa (1/2), karena desakan massa.
Warga Mesir, seperti dikutip The Economist, menjuluki gelombang revolusi itu sebagai ”Tunisami”, tsunami dari Tunisia. Robert Danin, pengamat Timur Tengah dari Council on Foreign Relations, mengatakan, persamaan nasib warga dunia Arab, peran jejaring sosial internet, dan televisi membuat gelombang itu melanda seluruh Timur Tengah dengan cepat.
”Jaringan (televisi) paling populer di dunia Arab adalah Aljazeera, yang menjadi instrumen sangat kuat. Orang di Yaman (yang menyaksikan peristiwa di Tunisia dan Mesir) akan berkata, ’Hmm, aksi ini terjadi di mana-mana. Mengapa tidak juga di sini? Kami juga marah. Kami juga tidak suka dengan represi. Kami juga muak’,” ungkap Danin.
Meski demikian, revolusi di Mesir tak serta-merta disusun secara instan hanya karena terinspirasi Tunisia. Newsweek menulis, gerakan crowdsourcing, semacam gerakan kepemimpinan kolektif untuk menggalang kekuatan massa yang efektif, elusif, sekaligus sulit dipatahkan, telah disusun komunitas dunia maya Mesir sebelum Tunisami.
Gerakan 6 April, yang menjadi salah satu motor aksi demonstrasi di Mesir saat ini, bermula dari sebuah akun di Facebook pada 2008. Gerakan yang didirikan aktivis Ahmad Maher (30) untuk menyerukan aksi pemogokan buruh di kota industri Mahalla waktu itu kini memiliki lebih dari 70.000 partisipan, sebagian besar kalangan menengah dan intelektual Mesir.
Dukungan juga tergalang dalam akun Facebook yang didedikasikan untuk Khaled Said, blogger yang dikabarkan tewas setelah dipukuli polisi di Alexandria tahun lalu. Komunitas yang berkembang di dunia maya itu tanpa disadari aparat keamanan berkembang menjadi aksi konkret.
Diskusi pun berkembang dari hal-hal yang bersifat konseptual ke hal-hal teknis konkret, seperti bagaimana menggunakan Coca-Cola untuk menghilangkan efek gas air mata. Semua sudah disiapkan sebelum masyarakat di Tunisia memberontak.
Mark Lynch, profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari George Washington University, AS, mengaku tercengang dengan kekuatan gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang dilakukan tanpa satu pusat koordinasi (terdesentralisasi) dan tidak melalui jalur-jalur oposisi resmi seperti partai politik, yang seharusnya menjadi saluran perubahan politik.
Danin pun melihat tren mengejutkan, yakni warga dunia Arab tidak lagi turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang Israel atau AS. Mereka berdemonstrasi untuk merespons kondisi lokal dan pemerintah masing-masing. ”Mereka merespons berbagai masalah lokal yang kemudian tersulut dan terinspirasi apa yang terjadi di bagian lain kawasan itu,” tutur Danin.
Pemerintahan korup, yang buta dan tuli terhadap ketidakpuasan dan penderitaan rakyat, memang menjadi hambatan pertama yang harus disingkirkan untuk meraih tujuan lebih besar: masyarakat adil dan sejahtera.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/07/0247336/tunisami.politik.dan.kekuatan.crowdsourcing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar