Kompas, Rabu, 19 Januari 2011 | 03:18 WIB
Suatu hal yang terjadi saat ini adalah kebingungan dan anarkisme pasca-ambruknya dengan sangat cepat rezim Ben Ali itu.
Ketua parlemen yang juga presiden ad interim, Fouad Mebazza, berjanji akan menyelenggarakan pemilu dalam kurun waktu 60 hari. Terlalu singkat, sulit bagi partai atau tokoh mempersiapkan diri.
Akan tetapi, dipastikan partai-partai oposisi akan menuntut amandemen butir 40 konstitusi Tunisia sehingga membuka peluang bagi tokoh-tokoh Tunisia untuk mencalonkan diri sebagai presiden dengan sistem persaingan terbuka pada pemilu mendatang.
Ada beberapa skenario untuk Tunisia saat ini. Pertama, militer berspekulasi mengambil alih kekuasaan sementara dengan membentuk pemerintahan junta militer dalam upaya mengembalikan keamanan.
Skenario pertama itu dianggap masih jauh dari kemungkinan meskipun militer Tunisia secara de facto kini mengontrol negara. Tidak hanya bukan tradisi militer Tunisia ikut campur dalam urusan politik, tetapi tindakan militer berspekulasi mengambil alih kekuasaan juga akan dinilai bertentangan dengan aspirasi rakyat yang telah berkorban dengan darah dan air mata. Citra militer Tunisia yang kini menjulang tentu tidak mau dianjlokkan begitu saja hanya karena nafsu kekuasaan sejenak.
Sebelum ini, Tunisia dua kali memiliki pengalaman menghadapi kerusuhan besar. Pertama, kerusuhan 26 Januari 1978. Kedua, kerusuhan 3 Januari 1984 yang dikenal dengan ”intifadah roti”. Militer Tunisia berandil besar mengatasi dua kerusuhan tersebut, tetapi tidak tergoda untuk mengambil peran dalam politik.
Kedua, membentuk pemerintahan koalisi sipil terbatas hingga digelar pemilu dalam waktu 60 hari. Pemerintahan koalisi terbatas hanya melibatkan partai-partai yang memiliki kursi di parlemen sesuai dengan hasil pemilu 2009.
Partai yang memiliki kursi di parlemen hanya ada empat, yaitu Perkumpulan Konstitusional Demokrasi (RCD) yang berkuasa sebelum ini, Partai Persatuan Rakyat (PPU) pimpinan Mohamed Mouchiha, Unionist Democratic Union (UDU) pimpinan Ahmed Linoubli, dan Gerakan Pembaruan (ME) pimpinan Ahmed Ibrahim.
Ketiga, membentuk pemerintahan koalisi luas dengan melibatkan semua kekuatan politik, tanpa melihat kepemilikan kursi di parlemen. Kekuatan politik yang bisa dilibatkan di antaranya adalah kekuatan politik Islam (Gerakan Al Nahdah) pimpinan Rashid Ghannouchi, Partai Sosial Liberal (SLP), dan Gerakan Sosial Demokrat (MSD).
Atmosfer politik di Tunisia sementara ini mengarah membentuk pemerintahan koalisi sipil, tetapi belum jelas apakah koalisi terbatas atau luas.
Kemudian siapa pula yang akan memimpin pemerintahan koalisi itu? Tokoh-tokoh terbaik Tunisia memang berada di partai yang berkuasa sebelum ini, yakni RCD. Karena itu, masih disebut-sebut nama-nama pejabat atau mantan pejabat yang notabene anggota RCD untuk memimpin pemerintahan koalisi mendatang.
Di antara tokoh tersebut adalah Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi, mantan Menteri Urusan Luar Negeri Kamel Marjan, dan mantan Menteri Dalam Negeri Ahmed Fariah.
Ghannouchi dikenal dekat dengan negara Teluk dan berjasa menarik investasi Teluk ke Tunisia. Ia dikenal bersih meskipun terlibat lama dalam pemerintahan Ben Ali.
Marjan dikenal dekat dengan AS, tetapi kelemahannya adalah masih punya hubungan keluarga dengan Ben Ali. Adapun Fariah punya pengalaman luas dan dikenal bersih.
Namun, disebut pula tokoh oposisi Najib Chebbi untuk memimpin pemerintahan koalisi mendatang. Beberapa hari mendatang, mungkin bisa lebih jelas format pemerintahan koalisi yang akan dibentuk. (Musthafa Abd Rahman, wartawan Kompas di Kairo, Mesir)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/19/03185527/gonjang-ganjing.ambruknya.ben.ali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar