Kamis, 27 September 2018

KEKUATAN VISI


oleh : JEMY V. CONFIDO
“Vision without work is a day dream. Work without vision is a nightmare.” Japanese Proverb
Seorang mandor sedang memeriksa tiga orang tukang bangunan yang sedang bekerja. Tukang yang pertama ditanya oleh sang mandor. “Pak, apa yang sedang Bapak kerjakan?”
Tukang tersebut pun menjawab singkat, “Saya sedang menyusun batu bata Den.” Demikian penjelasan tukang yang pertama, persis seperti apa yang memang sedang ia kerjakan yaitu menyusun batu bata.
Sang mandor kemudian beralih ke tukang yang kedua dan ia pun mengajukan pertanyaan yang sama, “Pak, apa yang sedang Bapak kerjakan?”
Kali ini jawaban sang tukang sedikit berbeda, “Saya sedang membangun sebuah tembok Den.” Bahkan tukang yang ke-dua ini pun bisa menjelaskan panjang dan tinggi tembok tersebut serta dimana ia mulai dan kapan ia selesai membangunnya.
Terakhir, sang mandor menghampiri tukang yang ke-tiga dan kembali bertanya. “Pak, apa yang sedang Bapak kerjakan?”
Maka tukang yang ke-tiga pun menjawab, “Saya sedang membangun sebuah rumah yang sangat indah Den.” Selain itu, tukang yang ke-tiga ini pun bisa menjelaskan bentuk, ukuran dan warna rumah tersebut beserta bahan–bahan yang digunakan dalam membangun rumah tersebut. Lebih dari itu, tukang ke-tiga ini pun mampu mengilustrasikan aktifitas–aktifitas yang bakal terjadi di rumah tersebut. “Pokoknya rumah ini nantinya sangat bagus dan istimewa kalau sudah jadi Den.”
Dari ketiga tukang tersebut, mana yang menurut Anda akan bekerja dengan baik? Jawabannya tentu saja tukang yang ke-tiga. Mengapa? Apa yang membedakan tukang pertama, ke-dua dam ke-tiga? Jawabannya adalah visi. Tukang yang pertama tidak memiliki visi. Baginya yang penting adalah mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya yaitu menyusun batu bata. Tukang yang ke-dua sudah memiliki visi namun visi yang dimilikinya masih sebatas membangun tembok. Sebaliknya, tukang yang ke-tiga memiliki visi yang sangat jelas mengenai seperti apa rumah yang sedang dibangunnya itu. Bukan hanya itu, tukang yang ke-tiga inipun menyadari sepenuhnya bahwa dirinya merupakan bagian dari visi tersebut.
Sepintas perbedaan visi ini nampaknya tidak memberikan perbedaan. Toh ketiga tukang tersebut tetap bekerja dengan baik. Namun bila diperhatikan dengan teliti, semangat, ketekunan, ketelitian dan gairah dari ketiga tukang di atas benar benar berbeda. Tukang yang pertama memulai pekerjaannya dengan mengeluh. Pada saat bekerja, ia mengerjakan tugasnya tidak dengan sungguh-sungguh. Ketika batu bata yang disusunnya kurang rapi, ia pun tidak berusaha membetulkannya kecuali bila ia ditegur oleh sang mandor. Beberapa saat sebelum waktunya pulang, tukang yang satu inipun sudah membersihkan dirinya. Saat sang mandor memberitahu bahwa jam kerja sudah selesai, maka tukang ini pun segera bergegas meninggalkan tempat kerjanya.
Perilaku yang benar-benar berbeda diperlihatkan oleh tukang yang ke-tiga. Ia memulai pekerjaannya dengan riang gembira dan penuh semangat karena ia sudah memiliki gambaran mengenai keindahan rumah tersebut. Ia berusaha memasang batu bata yang disusunnya serapi mungkin. Seandainya terdapt batu bata yang kurang rapi susunannya maka ia pun segera membetulkannya. Selain itu, tidaklah mengherankan apabila tukang yang ke-tiga memberikan hasil karya yang lebih memuaskan dibandingkan tukang yang pertama.
Pelajaran menarik mengenai kekuatan visi seperti ini dalam kehidupan nyata saya dapatkan dari suatu negara yaitu Korea Selatan. Pada tahun 1997, sesaat sebelum krisis moneter melanda negara-negara Asia, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang mahasiswi negeri ginseng tersebut. Saat itu saya sedang dalam persiapan mengambil S-2 sedangkan dia sedang persiapan mengambil S-1. Sesaat setelah berbasa-basi, gadis yang menurut perkiraan saya ini masih senang berhura-hura dengan teman-temannya ini tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang sangat di luar dugaan, kalau tidak di luar jangkauan pemikiran saya. Ia bertanya, “Kapan Indonesia akan menjadi negara nomor satu di dunia?”
Merasa tidak punya jawaban yang baik, saya balik bertanya, “Memang kapan Korea Selatan akan menjadi negara nomor satu di dunia?”
Dengan tenang dan pasti ia menjawab, “2010”
Saya masih tidak percaya bahwa jawaban seperti itu muncul dari seorang ABG yang setahu saya lebih banyak membicarakan gosip infotainment ketimbang urusan negara. Lalu krisis moneter pun terjadi. Saya berpikir jawaban 2010 itu adalah sebuah isapan jempol belaka. Namun sekali lagi saya salah. Bila merujuk kepada The World Competitiveness Yearbook 2010 yang dirilis oleh IMD International (International Institute for Management Development), Korea Selatan memang masih menempati ranking 23, membaik dari ranking 27 di tahun sebelumnya. Pencapaian ini masih jauh dari ranking 1 yang ditempati oleh Singapura. Namun secara ekonomi, perusahan perusahaan Korea Selatan telah menempati papan atas dunia.
Sebut saja dalam bidang elektronik. Sebelum pergantian milenium, merek-merek elektronik Korea Selatan tidak dikenal dunia termasuk juga oleh konsumen di negara kita. Namun pada tahun–tahun tersebut, rakyat Korea Selatan sudah beramai-ramai membeli barang-barang elektronik pabrikan mereka sendiri yang harganya lebih mahal dari produk produk Jepang dan kulitasnya lebih buruk. Saat ditanya mengapa mereka mau membeli produk yang lebih mahal dengan kualitas yang lebih rendah, mereka menjawab bahwa memang benar produk–produk Korea Selatan saat itu lebih mahal dan kualitasnya tidak lebih baik. Namun apabila rakyat Korea Selatan terus membeli produk-produk buatan perusahaan nasional mereka maka perusahan–perusahaan tersebut bisa terus berproduksi, melakukan riset dan investasi untuk menciptakan produk yang lebih baik. Suatu saat perusahaan-perusahaan itu akan bisa membuat produk yang lebih baik dengan harga yang lebih murah untuk rakyat Korea Selatan. Visi yang sama juga dimiliki oleh pimpinan-pimpinan perusahan Korea Selatan. Saat mereka dengan terpaksa menjual produk yang lebih mahal dengan kualitas yang lebih buruk, mereka mengerti hal tersebut sebagai hutang yang harus dibayar suatu saat dengan menawarkan produk-produk yang berkualitas lebih baik namun dengan harga yang lebih murah.
Dan disinilah kekuatan visi itu terbukti. Tahun 2005 pencapain Samsung sudah berhasil menyalip Sony, perusahaan elektronik Jepang yang selama puluhan tahun merajai dunia. Bahkan sekarang Samsung telah menjelma menjadi raksasa elektronik yang mengagumkan. Belum lagi LG yang menjadi jawara TV flat. Dibanding otomotif mobil-mobil Korea Selatan pun sudah mulai bisa menyaingi mobil-mobil Jepang, Eropa dan Amerika. Merek-merek seperti KIA dan Hyundai yang sebelumnya asing di telinga kita, sekarang telah mendapatkan tempat yang sepdan dengan para pesaingnya di seluruh dunia.
Saat ini Korea Selatan memang belum menjadi negara nomor satu di dunia seperti visi mereka. Namun mereka sudah mengarah ke posisi tersebut. Sebuah gambaran yang sudah terbayang jelas di dalam benak setiap warga negaranya. Gambaran yang jelas mengenai masa depan negara mereka ini memberikan gairah, keyakinan dan tekad yang lebih kuat daripada sekedar melakukan aktivitas rutin dari hari ke hari. Kekuatan visi seperti itu, maka kegiatan yang kita lakukan tidaklah ubahnya seperti menyusun batu bata.
Sumber : Majalah Lionmag edisi Nopember 2014, hal 20-22

Tidak ada komentar: