Kompas, Minggu, 5 September 2010 | 03:25 WIB
KETUT SYAHRUWARDI ABBAS
Sejumlah orang di Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali, sedang mengarak sokok saat memperingati Maulid Nabi (Muludan). Tradisi sokok ini menggambarkan akulturasi dengan tradisi mengusung pajegan dalam upacara Hindu di Bali.
ILHAM KHOIRI
Desa Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali, lahir dari diplomasi perdamaian antara Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-17 Masehi. Dengan semangat perdamaian pula, kerukunan antara komunitas Muslim dan masyarakat Hindu di situ tumbuh dan berakar kuat sampai sekarang. Asal-usul Pegayaman merujuk pada cerita Kerajaan Buleleng di bawah kepemimpinan Ki Panji Sakti (sekitar 1629-1680). Suatu ketika, raja ini menyerbu Blambangan (sekarang Banyuwangi, Jawa Timur), yang kala itu di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Mataram memilih berdamai dengan mengirimkan hadiah beberapa ekor gajah disertai delapan perwira.
Menurut Ketut Syahruwardi Abbas, pengamat budaya kelahiran Pegayaman, kemungkinan besar para perwira itu prajurit pilihan dari Mataram. Babad Buleleng menyebut mereka sebagai ”Wong Solo”, mungkin karena memang berasal dari Solo yang merupakan wilayah Mataram. ”Merekalah nenek moyang masyarakat Pegayaman,” katanya.
Kedelapan perwira itu diberi tempat tinggal di hutan di atas perbukitan, berjarak sekitar delapan kilometer dari pusat Kerajaan Buleleng. Lantaran penuh pohon gayam, kawasan itu kemudian dinamai Pegayaman. Konon, mereka ditempatkan di situ sekaligus sebagai tameng terhadap serangan Kerajaan Mengwi.
Babad Buleleng mencatat, warga Pegayaman yang jadi tameng itu disebut sebagai tindih atau pembela. Dari sini, hubungan Kerajaan Buleleng dan para perwira Mataram di Pegayaman makin kental. Mereka dihormati, menetap, menikah dengan perempuan setempat, beranak-pinak, dan membangun rumah-rumah dan sebuah perkampungan.
Mereka juga meneruskan kehidupan agama Islam. Sebuah Masjid Jami’ Safinatussalam didirikan di bagian barat desa. Salat, zakat, puasa, dan berbagai ritual syariat lain dijalankan secara bebas.
Meskipun beda agama, sejak awal masyarakat Pegayaman berusaha hidup rukun dengan masyarakat Hindu. Mereka menganggap umat Hindu sebagai saudara; begitu pula sebaliknya. Mereka bekerja sama, terutama dalam pertanian dan perdagangan.
Lebih dari itu, kaum Muslim itu juga menyerap berbagai tradisi Bali dalam kehidupan sehari-hari. ”Mereka sangat paham bagaimana memasukkan budaya Bali dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengganggu syariat Islam. Simbol-simbol agama Hindu juga tak diusik sehingga tak menyinggung umat Hindu,” kata Abbas.
Lima banjar
Seiring waktu, kampung ini tumbuh semakin besar. Sejumlah pendatang dari Bugis ikut bergabung. Bersama masyarakat Bali lain, mereka bertahan dari berbagai gejolak dan perubahan zaman. Setelah Indonesia merdeka, kampung itu kemudian menjadi desa seluas 15,84 kilometer persegi.
Desa ini sekarang terbagi dalam lima banjar: Banjar Dauh Margi (Barat Jalan), Dangin Margi (Timur Jalan), Ubu Lebah, Kubu, dan Banjar Amertasari. Total penduduknya sekitar 5.600 jiwa. Sekitar 90 persennya beragama Islam.
Masyarakat di sini hidup rukun bersama masyarakat Hindu di desa-desa sekitarnya, seperti Desa Gitgit di selatan, Desa Silangjana di utara, serta Desa Katiasa di tenggara. ”Kami berhubungan dengan warga Pegayaman sebagai manusia. Selama ini mereka baik, dan kami juga baik pada mereka. Belum pernah ada pertikaian karena agama,” kata Putu Arde (42), warga Hindu dari Desa Gitgit.
Jika dihitung sejak kedatangan perwira Mataram pada abad ke-17 Masehi sampai sekarang, berarti kerukunan di Pegayaman telah bertahan selama 400 tahun lebih. Kenapa bisa sekuat dan bertahan selama itu?
”Karena kerukunan di sini lahir dari niat membangun perdamaian dan berkembang secara alamiah lewat sejarah panjang. Semangat ini diwariskan turun-temurun sehingga bisa bertahan sampai sekarang,” kata Ketut Muhammad Qaunain (49), Sekretaris Pengurus Masjid Safinatussalam.
Tantangan
Tentu saja, pencapaian itu tak diperoleh dengan mudah. Banyak tantangan yang kerap menggoda mereka untuk untuk larut dalam konflik. Perseteruan sosial-politik di tingkat nasional dan lokal jadi ujian paling berat, sekuat apa masyarakat menjaga komitmen hidup dalam kerukunan.
Ujian terbesarnya adalah peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965. Demi berebut kekuasaan, elite politik kala itu memobilisasi massa dan berusaha memanfaatkan berbagai sentimen di masyarakat, termasuk agama. Diperkirakan, ribuan warga Bali menjadi korban pembunuhan besar-besaran, termasuk masyarakat di Pegayaman dan sekitarnya.
”Di Bali, gesekan saat itu lebih terasa akibat sentimen perbedaan ideologis, ketimbang agama. Bentrokan terjadi antara kelompok PKI dan non-PKI,” kata I Dewa Gede Palguna, tokoh masyarakat Bali sekaligus dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Sebagaimana di hampir seluruh wilayah Indonesia, sejarah gelap itu menimbulkan luka. Perlahan, trauma itu kian mereda. Tahun 1998-1999, negeri ini kembali terguncang setelah Orde Baru runtuh. Saat banyak wilayah lain rusuh, wilayah Pegayaman cukup tenang.
Ujian besar datang lagi. Bom Bali meledak tahun 2002 dan 2005. Meski aksi teror ini kerap dikaitkan dengan Islam, pencitraan itu tak mengusik kerukunan di Pegayaman dan Bali secara umum. Apalagi, beberapa penolong pertama korban bom itu justru orang Islam.
”Islam sama sekali tak mengajarkan kekerasan, apalagi membunuh orang-orang secara membabi buta. Setelah bom, sikap warga Bali tak berubah pada kami,” kata Wayan Muhammad Urwatul Wusqo (70), sesepuh sekaligus Ketua Pengurus Masjid Safinatussalam di Pegayaman.
Gesekan-gesekan kecil tentu tetap muncul, katakanlah seperti kenakalan remaja atau kesalahpahaman. Apalagi, persaingan pada pemilu atau pilkada belakangan ini juga sering memanfaatkan sentimen agama. Namun, sampai kini, masyarakat Pegayaman dan warga Bali di sekitarnya mampu mengatasinya secara arif.
Agaknya tempaan zaman itu justru menumbuhkan semacam kekebalan yang mampu melindungi kerukunan di Pegayaman. Sejarah yang panjang, kesadaran akan kepentingan bersama, dan harmoni yang tercipta secara alamiah menciptakan pemahaman dasar: perdamaian adalah modal utama untuk membentuk kehidupan yang beradab.
”Sikap ini patut dipertahankan demi mengatasi berbagai konflik dan menjaga perdamaian di Bali,” kata sosiolog dari Universitas Udayana, Ketut Sudiana Astika. (Ayu Sulistiyowati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar