Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010 | 03:20 WIB
KOMPAS/FRANS SARTONO
Tari Bambangan Cakil suguhan misi kesenian Indonesia memesona warga Suriname pada acara Indofair di Paramaribo, Suriname. Acara itu berlangsung dari 24 September hingga 2 Oktober 2010.
Frans Sartono
Buto Cakil, raksasa dalam pewayangan itu, pecicilan di Suriname. Itulah diplomasi budaya dari Indonesia dalam Indofair, 24 September- 2 Oktober di Suriname, dalam rangka peringatan 120 tahun kedatangan pertama imigran Jawa ke negara di Amerika Selatan itu.
Warga Suriname riuh, bertepuk kagum pada gerak tari Cakil yang lincah. Kontras dengan gerak ksatria yang begitu lembut melawan sang Cakil. Itulah tari Bambangan Cakil yang merupakan salah satu suguhan dalam acara Malam Budaya Indonesia dalam Indofair 2010 di Paramaribo, ibu kota Suriname.
Pada acara yang didukung KBRI di Suriname itu tampil pula penari Didik Nini Thowok dengan tari Dwimuko yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Ada pula Yan Felia, penyanyi asal Solo yang rupanya cukup populer di Suriname. Dia membawakan lagu berbahasa Jawa ”Sewu Kutho” yang juga sangat dikenal luas warga Suriname. Tim kesenian yang dibawa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia itu menjadi hiburan bagi warga Suriname.
Suasana malam itu mengingatkan pada pasar malam di Indonesia. Warga Suriname hadir untuk menikmati tontonan kesenian. Mereka belanja di gerai-gerai pameran yang menjajakan batik, kerajinan dari Indonesia, seperti belangkon dan wayang kulit, sampai cobek batu untuk mengulek sambal.
Tampak hadir sejumlah petinggi Suriname, seperti Menteri Dalam Negeri Soewarto Moestadja, Menteri Tenaga Kerja Ginmardo Kromosoeto, serta Menteri Peternakan dan Perikanan Hendrik Setrowidjojo. Ada pula Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Wardiyatmo, yang juga
ketua delegasi misi kebudayaan Indonesia, membuka Indofair dengan menyapa hadirin dalam bahasa Jawa. ”Sugeng wengi... selamat malam.”
Warga Suriname merasa mendapatkan atmosfer Jawa dari acara Indofair. Generasi tua usia sekitar 50 tahun ke atas datang dengan baju batik. Sementara kaum mudanya tampil layaknya anak muda Amerika Latin-Karibia, yaitu dengan celana ketat serta pakaian seperti tank top, semacam kemben ketat, dan jenis pakaian yang serba terbuka bagian belakang atau depan. Mungkin karena udara Suriname yang sangat panas.
Acara digelar di Sana Budaya, pendapa berarsitektur joglo milik Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Ini sebuah perhimpunan untuk mengenang imigrasi Jawa di Suriname. Sana Budaya memang tempat bertemunya warga keturunan Jawa yang merupakan 15 persen dari sekitar 470.000 orang jumlah penduduk Suriname.
Di Sana Budaya terdapat monumen peringatan 100 tahun kedatangan imigran Jawa ke Suriname berupa tugu berbentuk gunungan. ”Setiap tanggal 8 Agustus kami membuat pasar malam untuk memperingati kedatangan pertama imigran Jawa di Suriname. Kami meletakkan bunga di gunungan,” kata Kim Sontosoemarto (50), Ketua VHJI.
Drama manusia
Di balik aksi Cakil dan ritual pasar malam itu terdapat drama kehidupan manusia dari nenek moyang keturunan Jawa. Mereka datang ke
negeri asing yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
”Mereka adalah petani tak berpendidikan. Mereka mengira akan dibawa ke tanah seberang, Sumatera. Tetapi, waktu tiba di Suriname, mereka keget dan bingung melihat orang berkulit hitam,” tutur Soewarto Moestadja, menteri keturunan Jawa itu, menceritakan pengalaman kakek-neneknya yang berasal dari Kalirancang, Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Imigrasi Jawa dimulai tahun 1890.
Buku Historische Database Van Suriname yang disusun Maurits Hassankhan dan Sandew Hira mencatat, dari 9 Agustus 1890 sampai 13 Desember 1939, sebanyak 32.965 imigran asal Jawa dikapalkan ke Suriname.
Selama kurun 49 tahun, terjadi 54 pengapalan pekerja asal Jawa dari pelabuhan di Batavia dan Semarang. Rombongan pertama diangkut pada 9 Agustus 1890 dengan
Prins Alexander dan Prins Willem II. Kapal terakhir pembawa tenaga kontrak adalah kapal Kota Gede pada 13 Desember 1939.
Mereka diikat kontrak lima tahunan sebagai buruh perkebunan dan pekerja pabrik. Sampai tahun 1954, sebanyak 8.684 atau 26 persen dari imigran itu pulang kampung.
Zaman baru
Zaman telah berganti. Nasib telah berubah. Generasi demi generasi telah lahir sejak imigran pertama datang. Pasangan Soegijo Nojoredjo dan Semen Kartosemito yang datang ke Suriname pada tahun 1929, misalnya, kini telah beranak pinak sampai generasi kelima yang totalnya berjumlah 108 anggota keluarga. Bersama kelompok etnis keturunan Afro- Suriname, Hindustani, keturunan Jawa di Suriname telah berintegrasi sebagai satu bangsa bernama Suriname.
Ikatan sejarah itu menjadi salah satu landasan hubungan Indonesia-Suriname. Delegasi dari Indonesia datang ke Suriname sebagai bangsa multietnis.
Pada kunjungan itu dijalin kerja sama pertukaran program kebudayaan tahun 2011-2013 antara Kembudpar RI dan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.
Disepakati nota kesepahaman tentang kerja sama di bidang kebudayaan, sumber daya, serta riset dan pengembangan yang ditandatangani oleh Sekjen Kembudpar Wardiyatmo dan Pemerintah Suriname yang diwakili Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.
Melihat kekaguman orang Suriname dengan suguhan kesenian dari Indonesia, Wardiyatmo memberi catatan. ”Kita jangan sampai meremehkan kebudayaan kita sendiri.”
Jangan pernah pula meremehkan Cakil yang dihargai di Suriname. ”Ho-ha...!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar