Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010 | 04:07 WIB
Heri Priyatmoko
Lagi-lagi masyarakat kecil kelimpungan lantaran harga beras di pasar tradisional kian tak pulen saja. Mereka harus merogoh kocek Rp 8.000 untuk nempur (belanja) beras jenis C4 super. Sebelumnya, bahan pokok itu telah meroket ke kisaran Rp 7.600 per kg. Hama wereng yang mengamuk dituding sebagai biang keladi atas melorotnya produksi beras petani. Demi bisa bertahan, sebagian masyarakat miskin di pedesaan Jawa mengeluarkan peralatan tradisional yang sudah lama ”dipensiunkan”, yaitu lesung beserta alu. Peralatan tersebut dipakai lagi untuk menumbuk gaplek. Alhasil, perut mereka kembali bertatap muka dengan tiwul.Dalam kebudayaan agraris di Jawa, pasti orang mengenal lesung atau minimal pernah mendengar namanya. Pasalnya, ia merupakan teknologi pertanian tradisional penting yang difungsikan untuk nutu (menumbuk) padi. Biasanya, kegiatan menumbuk dikerjakan kaum perempuan secara kolektif. Diyakini, keberadaan lesung sudah ada sejak periode Jawa kuno. Itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya relief candi berpahatkan aktivitas menumbuk.
Sekelumit kisah tentang lesung juga ada dalam cerita rakyat atau legenda di berbagai daerah di Pulau Jawa. Teladannya, legenda besar Candi Sewu alias Rorojonggrang dan Bandung Bandawasa di Jawa Tengah, kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang di Jawa Barat, serta folklor perjuangan asmara Roro Anteng dengan Joko Seger di sekitar Gunung Bromo. Ketiga legenda itu sama-sama menggunakan lesung untuk menggagalkan upaya lelaki yang hendak meminang wanita-wanita jelita itu.
Lesung mereka tumbuk memakai alu jauh sebelum fajar menjelang guna membangunkan ayam-ayam jago biar berkokok. Sebab, menurut kesepakatan kedua belah pihak, tugas membuatkan candi, perahu, dan laut sebagai syarat bisa mengawini mereka, kudu kelar sebelum ayam mengeluarkan kokok kali pertama, pertanda pagi tiba. Suara bertalu-talu dari lubang lesung sukses menipu para ayam jantan yang berkokok lantaran mengira pagi telah tiba. Gagallah Bandung Bandawasa, Sangkuriang, dan perampok sakti merampungkan pekerjaannya. Kemudian, ada sedikit perbedaan dengan folklor Rawa Pening meski juga memanfaatkan lesung. Ia tidak ditumbuk, melainkan dinaiki untuk menyelamatkan diri dari luapan air yang menyembur dari tanah bekas tancapan lidi. Boleh dibilang, berbagai cerita rakyat di atas memosisikan lesung bak dewa penyelamat di kala terimpit.
Sementara itu, kata ”lesung” justru menjadi akar sejarah nama kampung (toponimi), yakni Kampung Plesungan di Kabupaten Karanganyar. Merujuk catatan sejarah lokal, Kampung Plesungan masuk dalam kawasan kekuasaan Praja Mangkunegaran. Tempo doeloe, kampung yang kini mempunyai sanggar seni lesung itu, warganya diserahi tugas khusus oleh Gusti Mangkunegara untuk menumbuk padi demi kebutuhan perut keluarga Mangkunegaran.
Studi penting Sigit Astono, Kebangkitan Suatu Bentuk Kesenian yang Pernah Mati Kothekan Lesung Banarata (2001), menghidangkan informasi, penduduk kampung ini dahulu kala sempat memelihara lesung sakral berukuran jumbo yang mampu dipakai sepuluh orang sekaligus. Guna menjaga dari kemungkinan lapuk, lesung spesial itu dibuatkan rumah.
Jika ditelaah melalui kacamata antropologis-historis, akan terkuak, lesung ternyata merefleksikan nilai sosiokultural masyarakat agraris yang menekankan aspek keselarasan dan komunalitas. Lesung laksana kaca benggala alias cermin untuk pengilon (berkaca) baik-buruknya sebuah proses interaksi antara individu satu dan individu lainnya. Bahkan, masyarakat klasik menganggap lesung berikut alu merupakan sebuah gambaran nilai kesuburan. Nilai kesuburan bukan cuma masalah bercocok tanam, melainkan juga kesuburan manusia (reproduksi). Lesung dipresentasikan sebagai unsur yoni (wanita), sedang alu dipresentasikan sebagai unsur lingga (pria). Saking begitu dikeramatkannya, wajar kalau orangtua bakal menghardik anak kecil yang sengaja menginjak atau mengempaskan pantat di badan lesung. Larangan ini berlaku pula bagi perempuan yang baru datang bulan karena ora ilok (tidak baik).
Seiring guliran waktu, lesung digunakan untuk kesenian dan komunikasi. Sebagai contoh, manakala ada tetangga menggelar hajatan, terutama mantu (pernikahan), sudah pasti kaum hawa bergotong royong memukul lesung atau kothekan. Ritual itu dikerjakan menjelang esok hari. Merdunya nyanyian atau gending ikut menyertai. Lengkingan suara yang terbawa angin terdengar hingga ke desa-desa tetangga. Semua ini sengaja dilakukan dengan tujuan memanggil warga kampung sebelah agar hadir.
Lesung, nasibnya kini sungguh malang. Bersamaan merangseknya teknologi modern di pedesaan yang memudahkan kerja para petani, lesung dan alu tak lagi bertalu sebab jarang digunakan. Lesung nyaris punah. Ya, hanya sesekali nongol apabila harga beras kembali mengguncang, tapi untuk menumbuk gaplek. Sesekali muncul di perkotaan, bukan habitatnya. Lesung menjadi salah satu perabotan rumah mewah yang berlagak kuno. Lesung ditukar dengan jutaan rupiah oleh pemburu barang langka karena memang benar-benar langka!
HERI PRIYATMOKO Kolumnis Solo Tempo DoeloeAnggota Studi Perkotaan di Balai Soedjatmoko, Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar