Kompas, Jumat, 17 September 2010 | 03:20 WIB
Yonky Karman
Reformasi dalam kehidupan berbangsa memberi harapan baru untuk masa depan negara yang lebih berdaulat, adil, dan makmur. Demokratisasi memperpendek rentang kontrol antara yang diperintah dan yang memerintah, mempermudah koreksi terhadap wakil (legislatif) dan pelayan rakyat (eksekutif) yang salah menerjemahkan kehendak rakyat.Usia demokrasi di Indonesia baru seumur jagung, tetapi sudah kehilangan gereget menyejahterakan rakyat. Rakyat (demos) hanya jadi kuda tunggangan petualang demokrasi. Penguatan rakyat dan wakilnya di parlemen belum menemukan keseimbangan baru. Otoritarianisme sedang mengambil bentuk baru dengan modus dan pelaku berbeda. Reformasi merosot dan perkembangannya berjalan mundur.
Penuaan demokrasi
Penguatan daya tawar masyarakat sipil mengambil bentuk anarki di tengah demoralisasi dan ketidaktegasan penegak hukum. Massa memperjuangkan aspirasi dengan bergerak di luar jalur hukum. Pemerintah mendelegasikan tugas pengamanan kepada organisasi massa dan menutup mata atas potensi tindak kekerasan yang (bakal) terjadi. Indonesia lebih mirip negara preman daripada negara hukum.
Penguatan daya tawar parlemen dimanipulasi untuk kepentingan partai dan kenikmatan wakil rakyat. Daya dengar dari wakil rakyat menurun. Rakyat sampai memanjat gedung wakil rakyat untuk menyampaikan pesan tertulis besar-besar pada atap gedung. Pintu hati wakil rakyat tertutup. Daya lihatnya menurun karena miopia politik, tersandera kepentingan politik transaksional.
Pemerintah Indonesia dibentuk untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Rakyat dan Tanah Air dipertahankan dengan darah. Namun, nyawa semakin murah di tengah harga yang melambung. Pemerintah tak peduli dengan kesejahteraan buruh migran (TKI). Mereka diperas secara legal, melalui keberadaan terminal khusus dan berbagai pungutan yang memberatkan.
Pemerintah asing menangkap sinyal ketidakpedulian Pemerintah Indonesia yang ”menjual” murah sumber daya manusia secara massal. TKI di luar negeri pun diperlakukan sewenang-wenang dan banyak yang dijatuhi vonis hukuman mati. Daripada bekerja keras menggerakkan sektor riil yang padat karya, pemerintah memelihara ketergantungan dan merasa berutang budi kepada Malaysia.
Betapa malang rakyat Indonesia yang negerinya kaya, tetapi pemimpinnya sibuk dengan kekuasaan dan kenyamanan. Pejabat tidak suka meninjau langsung ketidakberesan yang terjadi di lapangan. Dalam politik pencitraan, pernak-pernik demokrasi lebih penting daripada substansinya. Penguasa menjadi reaktif saat citranya tercoreng, tetapi bergeming dengan penderitaan rakyat.
Penguasa dilindungi dari mendengar langsung jeritan rakyat. Aspirasi jutaan anak Indonesia yang kurang beruntung tak sempat dibacakan di depan Presiden dalam peringatan Hari Anak Nasional Indonesia yang lalu, meski tadinya dijatahkan waktu lima menit untuk membaca Deklarasi Suara Anak Indonesia. Bawahan dipertahankan sejauh mampu menjaga perasaan atasan meski wanprestasi.
Pejabat tidak suka melihat borok di tubuh sendiri. Buruk muka, cermin dibelah. Bandul bergerak dari eksekutif yang terlalu kuat ke pemerintah yang lemah dan kurang berwibawa. Pemimpin terlalu banyak mengimbau dan imbauannya tidak berwibawa. Penuaan demokrasi menghasilkan pemerintah yang tidak tegas memihak kepentingan nasional.
Negara ritual
Politisi dari lingkar kekuasaan dengan enteng mewacanakan amandemen konstitusi. Dalam praktik, konstitusi yang sudah empat kali diamandemen itu lebih menjadi referensi (written constitution) di persidangan Mahkamah Konstitusi daripada menjadi panduan hidup berbangsa (living constitution). Inti wacana amandemen pun menjadi dangkal saat demokrasi dipakai untuk melanggengkan status quo. Wacana politik kehilangan bobot.
Sulit menemukan sosok penyelenggara negara yang sekaligus pelayan konstitusi yang mau pasang badan demi tegaknya konstitusi. Perilaku politisi sembrono. Buat saja dulu, berapa pun ongkosnya, bagus jelek urusan belakang. Ribuan peraturan daerah dibatalkan tanpa sanksi apa pun bagi legislator dan pemerintah daerah. Pejabat sesumbar berkata akan berdiri di garda depan pemberantasan korupsi. Nyatanya, korupsi dibiarkan merajalela sejauh terkendali.
Pemerintah dan rakyat masih ambivalen menyikapi korupsi. Pejabat korup dilindungi partai dan massa. Lebih manusiawi perlakuan terhadap koruptor daripada pencuri yang tertangkap basah. Legislator pun melontarkan wacana, terpidana korupsi belum tentu koruptor. Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut pidana pencucian uang tak didukung.
Daripada mereformasi birokrasi dan mencari pemimpin institusi yang tegas, penguasa cenderung membentuk satuan tugas. Birokrasi menjadi gemuk. Lebih besar lebih baik. Reformasi birokrasi belum menjadi prioritas manajemen pemerintahan. Kepemimpinan politik permisif. Institusi ad hoc yang dibentuk dalam rangka tata kelola pemerintahan dilemahkan saat fungsi kontrolnya menguat.
Ada masalah serius dengan manajemen pemerintahan. Pejabat lebih bermental penyelenggara daripada pengelola kepentingan nasional. Asing berpesta di atas kekayaan negeri dan kemiskinan sebagian besar rakyat. Karena tidak bermentalitas mengurus dan memelihara, Indonesia menjadi sasaran empuk eksploitasi sumber daya alam. Salah urus negara menggejala di seantero negeri. Birokrasi menjadi sumber korupsi dan inefisiensi.
Indonesia sudah puas menjadi anggota G-20. Afrika Selatan, negara berkembang terdepan di Afrika, berambisi menjadi bagian dari kelompok informal Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC), untuk menyaingi kelompok tujuh negara maju (G-7). Puluhan negara kaya sumber daya alam di Afrika kini menjadi termiskin dan terbilang negara gagal. Mereka terglobalisasi secara negatif, kehilangan kemandirian politik dan ekonomi.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar