Sabtu, 16 April 2011

Kembali ke Fitrah, Kembali ke Optimisme

Kompas, Kamis, 16 September 2010 | 04:26 WIB

Hatta Rajasa
Dalam diskusi ringan di akhir Ramadhan lalu, seorang pengguna Twitter prihatin terhadap sikap (attitude) kalangan muda kita. ”Kebanyakan apatis! Sulit diajak berpikir kreatif. Mereka benar-benar membutuhkan contoh dari pemimpin. Sudah saatnya pemimpin bangsa ini tampil lebih inspiring!” Sebuah pernyataan yang menyentakkan saya.

Bisa jadi yang dikatakannya benar. Sebagai musisi terkenal dengan banyak follower di akun Twitter-nya, pastilah ia mampu menyerap aspirasi yang tumbuh di masyarakat atau ”konstituen”- nya. Maka, ungkapan pesimisme dan keprihatinannya di atas menjadi wajar.
Tak terbatas di Twitter, Facebook, atau media semacamnya, pesimisme juga acap bergulir di forum lain. Kita bisa melihat sederet seminar dan diskusi, baik di kampus maupun hotel berbintang, obrolan rakyat di gardu jaga maupun di warung kopi, yang bertema keprihatinan terhadap keadaan masyarakat kita.
Pesimisme
Pendek kata, begitu Indonesia menjadi topik, pandangan-pandangan negatiflah yang lebih mendominasi diskusi. Dalam diskusi semacam ini, Indonesia semakin sering tampil sebagai simbol kegagalan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kekurangan lain yang tak pernah habis.
Di luar kesadaran kita, kita pun menjadi lebih suka membicarakan Indonesia dari sudut pandang negatif, tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk sudut pandang positif.
Kondisi obyektif menunjukkan bahwa bangsa kita memang sedang menghadapi banyak tantangan dengan sederet permasalahan. Apa pun yang kita bahas, pasti akan sampai pada sejumlah permasalahan. Ini sebenarnya hal wajar, tetapi karena selalu dilihat dari sudut pandangan negatif, ada saja kurangnya.
Di bidang kesejahteraan, walau angka kemiskinan terus menurun, masih ada 13,2 persen penduduk yang hidup miskin. Di bidang ketenagakerjaan, masih ada 7,9 persen bangsa kita yang belum tertampung lapangan kerja. Begitu pula di bidang-bidang lainnya, termasuk kesehatan dan pendidikan, selalu saja ada permasalahan yang perlu diselesaikan. Masih banyak yang harus diperbaiki, masih banyak ketertinggalan yang harus diatasi.
Akan tetapi, benarkah tak ada satu pun keberhasilan yang pernah dicapai? Tentu ada dan banyak. Masalahnya, kita tak pernah suka membahasnya. Mungkin karena mendiskusikan hal- hal positif dianggap tidak funky dan kurang seksi!
Faktanya, tidak semua orang menerima pola pikir positif. Pandangan negatif lebih mudah mendominasi diskusi karena bisa menciptakan musuh bersama dan melahirkan apatisme.
Berpikir positif
Sesungguhnya, di samping apatisme dan pandangan negatif, ada baiknya sesekali kita melihat kondisi obyektif dengan sudut pandang positif.
Pola pikir positif telah lama diperkenalkan oleh Pygmalion, seniman pahat Yunani kuno yang kini sering dijadikan panutan para motivator. Pygmalion tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Sebaliknya, ia selalu mencoba membayangkan hal-hal baik di balik perbuatan buruk orang lain.
Berpikir positif seperti ini merupakan sikap mental yang memudahkan masuknya pikiran-pikiran konstruktif. Berpikir positif juga merupakan sikap mental yang produktif, mengharapkan hasil yang lebih baik serta menguntungkan.
Barbara A Lewis dalam bukunya What Do You Stand For, mencatat sejumlah keuntungan dari pola pikir positif. Keuntungan itu di antaranya mampu melahirkan optimisme, sportivitas, dan kepekaan. Berpikir positif juga menimbulkan rasa syukur bahkan pengharapan.
Jika kita mau menengok sejarah, bangsa kita adalah bangsa yang optimistis dan berpikiran positif. Para pejuang dengan berbagai keterbatasan, misalnya, optimistis mengupayakan Indonesia merdeka. Sikap positif pendahulu inilah yang menjadikan Indonesia bebas dari penjajah.
Maka, beda dengan apatisme dan negative thinking, pikiran positif cenderung menghadirkan kebahagiaan, sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan. Apa pun yang kita harapkan, pikiran positif akan mewujudkannya.
Dengan pola pikir positif, kita bisa melihat bahwa di samping masih ada rakyat yang hidup miskin, masyarakat juga meningkat signifikan kesejahteraannya.
Data Susenas BPS menunjukkan bahwa saat ini 40 persen dari total jumlah pekerja telah berpendapatan 5.000-13.000 dollar AS per tahun. Suatu jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Malaysia, apalagi Singapura.
Demikian pula dengan produk domestik bruto (PDB) negara yang telah jauh meningkat. Apabila pertumbuhan negara kita diasumsikan 5,8 persen, PDB kita adalah Rp 6.256,1 triliun. Padahal, kita optimistis pertumbuhan akan mencapai di atas 6 persen sehingga PDB akan mendekati angka di atas Rp 6.500 triliun atau di atas 700 miliar dollar AS. Suatu capaian yang patut disyukuri walaupun kita masih harus bekerja sangat keras untuk mengurangi disparitas.
Dengan kata lain, di samping kemiskinan dan keterbelakangan yang menjadi pemandangan dominan di masa lalu, kemakmuran tampak hadir meski masih diiringi ketimpangan. Tentu saja upaya menyejahterakan bagian masyarakat lain tetap harus diprioritaskan.
Dengan pola pikir itu, Indonesia telah dinilai dunia internasional sebagai negeri yang stabil, memiliki pertumbuhan ekonomi positif, mampu bangkit dari hantaman krisis keuangan 1997-1998, sekaligus mengatasi krisis 2007-2008.
Kita tahu bahwa kemampuan ekonomi Indonesia mendorong sejumlah ekonom menempatkan Indonesia dalam kelompok kekuatan baru dunia: BRIIC (Brasil, Rusia, India, Indonesia, China).
Sederet prestasi lain patut kita catat, misalnya Indonesia masuk G-20 dan bahkan diramalkan tahun 2030 Indonesia akan masuk 10 kekuatan ekonomi dunia. Singkat kata, banyak prestasi yang sudah diukir bangsa ini di dunia internasional.
Seimbang
Sekali lagi, kita sesungguhnya bisa melihat fenomena di Indonesia dengan pola pikir positif sehingga berbagai kemajuan yang dicapai bisa diapresiasi.
Dengan kata lain, menilai situasi bangsa harus juga dilakukan dengan membandingkan antara Indonesia sekarang dan Indonesia dulu. Bukan melulu membandingkan realitas dengan kondisi ideal.
Selain memerhatikan hal-hal yang belum kita capai, kita juga perlu memerhatikan kemajuan dan keberhasilan. Keseimbangan dan obyektivitas bisa mendorong kita untuk menumbuhkan optimisme. Perlu diingat bahwa sikap optimistis tidak ada hubungannya dengan sikap mendukung atau tidak mendukung pemerintah. Dengan pola pikir ini, kita juga bisa membedakan sikap kritis yang justru harus dipertahankan dengan sikap pesimistis.
Optimisme yang muncul dari pola pikir positif mesti pula diiringi dengan semangat melakukan perubahan dan pembaruan di segala bidang. Dengan kehadiran knowledge community (semisal Twitter), pandangan positif dan optimistis bisa kita gandakan menjadi pandangan kolektif seluruh bangsa.
Apalagi setiap agama mengajarkan nilai-nilai positif. Dalam ajaran Islam, selalu dianjurkan agar umat Islam berbaik sangka, kepada Allah SWT yang menciptakan dan juga kepada sesama. Dengan husnudzhon, akan berkembang rasa optimisme.
Kombinasi antara integritas tinggi para pemimpin dan optimisme kuat masyarakat, insya Allah, akan mendorong kemajuan bangsa ini.
Sudah saatnya kita lebih menggelorakan optimisme dan menghentikan kebiasaan membicarakan kegagalan, bukan keberhasilan; mengungkap yang belum dicapai, bukan yang sudah dicapai; menuding yang salah, bukan memperbanyak cerita sukses. Sudah saatnya kita bersama memberantas virus pesimisme yang meruyak di mana-mana.
Apakah kita sudah bersikap positif dan optimistis? Jika belum, mari kita mulai membangun kembali nuansa positif dan optimistis itu. Pastikan kita semua mampu mengambil semangat Pygmalion, juga semangat para pejuang kemerdekaan, agar dunia kita penuh dengan manusia yang berpikiran positif.
Semangat kembali ke fitrah dalam suasana Idul Fitri sekarang ini dapat kita maknai untuk terus berpikir positif. Dengan begitu, kita sebagai bangsa bisa berharap menemukan solusi semua permasalahan.
Hatta Rajasa Menko Perekonomian

Tidak ada komentar: