Selasa, 19 April 2011

Perang Mata Uang Memengaruhi Kita?

ANALISIS DANAREKSA
Kompas, Senin, 18 Oktober 2010 | 04:19 WIB

Asti Suwarni
Perang mata uang menjadi topik pembicaraan hangat di beberapa media massa akhir-akhir ini. Kelompok G-7 bahkan mengingatkan, perang mata uang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia. Perang ini dilakukan oleh negara-negara yang ingin meningkatkan ekspor.
Negara-negara itu sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya agar ekspornya bisa meningkat. Para pemimpin keuangan dunia, termasuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah membahas masalah ini dalam pertemuan di Washington awal Oktober 2010.

Dalam kesempatan tersebut, IMF mengingatkan agar pemerintah di beberapa negara tidak menggunakan nilai tukar mata uang sebagai alat untuk mendorong peningkatan ekspor. Alasannya, hal itu dapat menimbulkan perang mata uang di antara negara di dunia.
Beberapa negara dikritik melakukan kebijakan menjaga mata uang mereka agar tetap melemah. Jepang, misalnya, kembali melakukan intervensi untuk pertama kali sejak tahun 2004, yakni dengan menjual 2,12 triliun yen pada tanggal 15 September. Hal ini untuk membendung peningkatan nilai tukar yen yang sudah mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Perdebatan tersebut sebenarnya dimulai dari perang mata uang antara China dan Amerika Serikat. AS selama bertahun-tahun memprotes China. AS menilai China menahan mata uangnya agar tidak menguat untuk melindungi ekspornya.
AS bahkan berencana menetapkan sanksi terhadap China karena tidak membiarkan mata uangnya menguat terhadap dollar AS sebagaimana seharusnya.
Pertumbuhan ekonomi China yang pesat memang telah menyebabkan surplus perdagangan China terhadap beberapa negara mitra dagangnya meningkat.
Pada triwulan II-2010, ekonomi China tumbuh 10,3 persen, dari pertumbuhan 11,9 persen pada triwulan sebelumnya. Namun, sebaliknya, banyak mitra dagang China yang mengalami pelebaran defisit neraca perdagangan, termasuk AS.
Pada tahun 2009, neraca perdagangan AS dengan China mengalami defisit lebih dari 220 miliar dollar AS. Angka tersebut meningkat tajam dari defisit neraca perdagangan satu dekade sebelumnya, yang hanya mencapai 69 miliar dollar AS.
Ini berarti, dalam satu dekade tersebut, defisit neraca perdagangan AS dengan China meningkat 230 persen.
Selain itu, akibat nilai tukar yuan yang begitu rendah, barang-barang yang diproduksi China menjadi lebih kompetitif daripada barang-barang yang diproduksi AS. Akibatnya, banyak lapangan kerja di berbagai sektor industri di AS menghilang. Angka pengangguran di AS mencapai 9,6 persen pada September 2010.
Karena itu, tidak mengherankan apabila AS berusaha menekan Pemerintah China untuk mengendurkan kontrol atas yuan dan membiarkan nilai tukar yuan dibentuk oleh pasar. Namun, China tidak begitu saja bersedia tunduk pada tekanan tersebut mengingat pengalaman Jepang pada tahun 1980-an.
Plaza Accord
China tampaknya tidak ingin mengulangi kesalahan Jepang pada tahun 1980-an. Pada waktu itu, dollar AS dianggap terlalu kuat (sementara yen dianggap terlalu lemah) sehingga membuat daya saing produk AS menurun. Untuk mengatasinya, Pemerintah Jepang bersama Pemerintah AS, Perancis, Jerman, dan Inggris menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Plaza Accord pada 22 September 1985.
Salah satu isi perjanjian tersebut adalah kelima pemerintah negara di atas sepakat melakukan intervensi pasar dengan melibatkan bank sentral masing-masing negara. Tujuannya, mendevaluasi nilai tukar dollar AS, terutama terhadap yen Jepang dan deutsche mark Jerman.
Alasan utama pelemahan dollar AS tersebut adalah untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan AS yang telah mencapai 3,5 persen dari PDB-nya, selain untuk membantu ekonomi AS pulih dari resesi yang dimulai pada awal tahun 1980.
Intervensi yang melibatkan sekitar 10 miliar dollar AS tersebut akhirnya membuat nilai tukar dollar AS terhadap yen melemah. Pelemahannya cukup signifikan, yakni 51 persen dalam dua tahun setelah perjanjian Plaza Accord dilaksanakan.
Defisit neraca transaksi berjalan AS menurun, bahkan pada bulan Maret 1991 AS kembali menikmati surplus neraca transaksi berjalan.
Namun, bagi Jepang, kesepakatan Plaza Accord sepertinya lebih banyak membawa dampak negatif. Penguatan mata uang yen yang sangat signifikan dan terlalu cepat membuat daya saing produk ekspor Jepang menurun.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Jepang juga menurun tajam. Dari pertumbuhan ekonomi sebesar 7,2 persen pada triwulan IV-1985 turun menjadi 1,6 persen setahun kemudian.
Untuk mencegah kejatuhan dollar AS lebih jauh, kelima negara di atas ditambah Kanada membuat kesepakatan baru yang dikenal dengan Louvre Accord pada Februari 1987.
Namun, pelaksanaan Louvre Accord tidak membuat penguatan yen terhenti. Yen benar-benar berhenti menguat setelah satu tahun perjanjian Louvre Accord disepakati. Saat itu yen sudah menguat 100 persen.

Pengaruhnya ke Indonesia

Walaupun beberapa pihak menganggap perang mata uang ini tidak akan banyak memengaruhi perekonomian Indonesia, ada beberapa hal yang ternyata bisa berdampak cukup signifikan pada perekonomian Indonesia jika dibiarkan terus berlanjut.

Keputusan AS untuk terus mempertahankan kebijakan moneter longgar agar dollar AS tetap melemah pada akhirnya akan membuat rupiah cenderung menguat. Saat ini, nilai rupiah sekitar Rp 8.900 per dollar AS.
Banyak pihak berpendapat rupiah sebaiknya dibiarkan terus menguat. Namun, penguatan rupiah lebih lanjut kemungkinan besar akan mengurangi daya saing barang-barang dari Indonesia.
Saat ini, dengan nilai tukar yuan yang berusaha dipertahankan pada posisi lemah oleh China, neraca perdagangan antara China dan Indonesia sudah pasti akan terpengaruh. Apalagi, di era perdagangan bebas dengan China yang dimulai sejak awal tahun 2010.
Perlu diketahui, China merupakan negara tujuan ekspor Indonesia yang ketiga terbesar setelah AS dan Jepang sejak tahun 2009.

Jika dilihat dari nilai tukar mata uang China terhadap dollar AS, yuan hanya mengalami penguatan sebesar 1,2 persen selama setahun terakhir. Kenaikan ini jauh lebih kecil daripada kenaikan yang dialami rupiah terhadap dollar AS selama setahun terakhir, yakni mencapai 8,5 persen.


Dengan kata lain, dalam perdagangan di antara dua negara, Indonesia diuntungkan sebesar 1,2 persen dengan penguatan nilai tukar yuan. Namun, China diuntungkan sebesar 8,5 persen dengan penguatan rupiah selama setahun terakhir ini.
Maka, tidak mengherankan apabila para pelaku bisnis Indonesia mulai mengeluh, barang-barang mereka menjadi kurang kompetitif dibandingkan barang-barang dari China.
Apalagi, suku bunga pinjaman Indonesia ternyata masih relatif lebih tinggi daripada suku bunga pinjaman China.
Saat ini, suku bunga pinjaman dasar (base lending rate) Indonesia berada di sekitar 12,2 persen. Suku bunga pinjaman komersial biasanya lebih tinggi daripada itu.
Sementara itu, suku bunga pinjaman dasar China berada di sekitar 5,31 persen. Ini berarti biaya produksi barang-barang di China relatif lebih murah daripada biaya produksi barang-barang di Indonesia.

Ada sejumlah faktor yang diperkirakan dapat membantu mengatasi isu tersebut. Pertama, sebaiknya jangan membiarkan rupiah menguat lebih jauh saat ini karena akan membuat barang-barang Indonesia menjadi relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang-barang China.
Saat ini yang terbaik adalah membiarkan rupiah berada di level fundamentalnya, yaitu Rp 9.100-Rp 9.300.
Kedua, Pemerintah Indonesia hendaknya bisa mendorong penurunan suku bunga pinjaman lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat memperkecil dampak perang mata uang yang mungkin akan dirasakan oleh Indonesia.

Asti Suwarni Economist Danareksa Research Institute

Tidak ada komentar: