Selasa, 19 April 2011

Antara Hambatan Bisnis dan Kemajuan China

Koran SI, Senin, 20 September 2010 - 14:09 wib

MASALAH ketidakpastian hukum dan regulasi masih merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan bisnis di Indonesia. Sekira 98% pelaku bisnis menyatakan ketidakpastian hukum dan regulasi merupakan hambatan utama bagi kinerja perusahaan mereka.

Persoalan ini begitu menjadi sorotan para pelaku bisnis di Indonesia. Maklum, masalah ini seringkali dialami para pebisnis di Indonesia misalnya antara kebijakan dan regulasi pemerintah pusat kerap kontradiksi dengan pemerintah daerah. Karena itu, masalah sinkronisasi kebijakan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi jika iklim investasi membaik.

Berdasarkan hasil survei Economic Barometer (eBar) 2010 PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia, sedikitnya 11 hambatan utama bagi pertumbuhan kinerja perusahaan selama 12 bulan mendatang. Selain masalah di atas, 97% pelaku bisnis (41% di antaranya merupakan responden dari industri produk dan jasa konsumen) menilai aturan perpajakan dan penerapannya menjadi hambatan berikutnya.

Sedikit berbeda dengan hasil survei semester lalu, hambatan utama yang ketiga bagi pertumbuhan perusahaan tahun ini adalah minimnya tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi. Dibanding hasil survei semester sebelumnya, persentase eksekutif senior yang khawatir akan ketersediaan tenaga terampil meningkat dari 67% menjadi 86%. Perusahaan skala besar dan sektor jasa keuangan merupakan yang paling khawatir akan ketersediaan tenaga terampil.

Masalah ini merupakan tantangan utama mereka ke depan. Dalam survei terpisah yang dilakukan PwC yakni Global CEO Survey ditemukan fakta bahwa para CEO menjadi lebih kritis melihat kemampuan sistem pendidikan dalam menyediakan tenaga kerja terampil. Ada sebuah bukti bahwa dalam pasar negara berkembang terdapat kesenjangan di antara beberapa wilayah, di mana angka permintaan akan tenaga ahli dalam beberapa dekade akan melebihi angka persediaan.

Selain itu, mayoritas CEO juga merasa bahwa mereka butuh lebih banyak informasi untuk mengatasi kekhawatiran ini seperti konflik kultur dan tenaga terampil saat melakukan merger dan akuisisi. Satu faktor yang mendorong kebutuhan ini adalah keragaman tenaga kerja yang multikultur dan multigenerasi yang meningkat dalam perusahaan skala global. Seperti bisnis yang memiliki tenaga kerja dari lintas generasi dalam sebuah perusahaan. Kekhawatiran akan kompetisi juga merupakan salah satu hambatan utama dalam pertumbuhan kinerja perusahaan.

Di mana 60% responden dari sektor jasa keuangan memberikan perhatian khusus atas hambatan ini. ”Di tengah optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi, tidaklah mengherankan jika ketersediaan pendanaan menjadi kekhawatiran para eksekutif senior di Indonesia,” ujar Chairman PwC Indonesia Jusuf Wibisana. Dalam survei 2010, jumlah eksekutif senior perusahaan yang optimistis terhadap kinerja perusahaan mereka meningkat menjadi 69% responden dibanding 64% responden pada 2009. Jumlah responden yang menyatakan sangat optimistis juga meningkat jadi 13% pada 2010 dibanding 10% pada 2009.

Sementara responden yang pesimistis menurun jadi hanya 2% pada 2010 dibanding 7% pada 2009. Responden yang lebih memilih bersikap netral pun menurun dari 19% pada 2009 menjadi 16% pada 2010. Berapa besar pertumbuhan yang optimistis bisa dicapai oleh para eksekutif senior perusahaan ini? Survei tersebut menemukan fakta bahwa 95% responden berharap pertumbuhan pendapatan domestik sebesar 18% dibanding semester sebelumnya.

Lebih dari itu, 56% responden memprediksi pertumbuhan kinerja perusahaan akan mencapai dua digit. Hanya 5% responden yang memperkirakan pertumbuhan negatif pada 2011 dengan prediksi menurun 18% dibanding semester sebelumnya. Level tertinggi dari keyakinan untuk tumbuh ini ditunjukkan oleh responden dari sektor jasa keuangan, di mana 24% eksekutif senior yakin mampu meraih pertumbuhan pendapatan lebih 20%. Para eksekutif senior dari perusahaan skala menengah-besar juga lebih yakin dibanding dari perusahaan dengan skala lainnya.

Rinciannya hasil survei 2010 ini mengungkapkan, 39% responden yakin perusahaan mereka yakin bisa mendapatkan pertumbuhan pendapatan 0–10%. Sebanyak 36% responden yakin pertumbuhan pendapatan sebesar 10–20%,11% responden yakin tumbuh 20–30%, dan 9% responden yakin tumbuh di atas 30%. Sementara hanya 2% responden yang pesimistis pertumbuhan negatif 0–10%, dan 3% responden pesimis pertumbuhan negatif 10–20%.

Angka optimisme itu melonjak tajam dibandingkan hasil survei 2009, di mana 42% responden yakin pertumbuhan pendapatan sebesar 0–10%, hanya 25% responden yakin bisa tumbuh 10–20%, tumbuh 20–30% (4% responden), dan tumbuh di atas 30% (6% responden). Level pesimisme para responden pada hasil survei 2009 cukup tinggi yakni 10% responden pesimistis pertumbuhan negatif 0–10%, kemudian tumbuh negatif 10–20% (8%), tumbuh negatif 20–30% (4%), dan tumbuh negatif di atas 30% (1% responden).

Jumlah responden yang optimistis terhadap pertumbuhan pendapatan dari ekspor juga semakin meningkat pada 2010 ini. Di antaranya 60% responden yakin bahwa pertumbuhan pendapatan dari ekspor meningkat 0–10%, pertumbuhan meningkat 10–20% (21% responden), pertumbuhan meningkat 20–30% (5% responden), dan pertumbuhan meningkat di atas 30% (5% responden).

Sementara hanya 7% responden yang pesimistis pertumbuhan negatif pendapatan dari ekspor sebesar 0–10%, dan pertumbuhan negatif 10–20% (2%). ”Konsisten dengan pemulihan ekonomi global, pasar internasional diharapkan semakin menunjukkan penguatan, dengan sebanyak 91% responden yang melakukan ekspor optimistis akan meraih pertumbuhan pendapatan dibandingkan hanya 71% responden di semester sebelumnya,” ungkap Jusuf.

Memanfaatkan Kebangkitan China

Sebagai kompetitor, China tampak sebagai pesaing yang kejam dalam perdagangan. Tetapi, sebagai mitra, tidak sedikit negara-negara tetangga yang justru memperoleh keuntungan ketika bekerja sama dengan Negeri Tirai Bambu itu. Pertumbuhan ekonomi China yang fenomenal juga menyajikan tantangan dan peluang untuk negara-negara di wilayah ASEAN, apalagi setelah ditandatangani pakta perdagangan bebas ASEAN-China awal tahun ini.

China muncul sebagai negara perakit di dunia, dengan mengimpor komponen dari negara Asia lain dan mengekspor produk jadi ke pasar barat. Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan dengan China, baik dalam ekspor-impor bahan baku maupun barang-barang manufaktur. Karena itu, Indonesia sebenarnya bisa mengambil manfaat kerja sama perdagangan dengan China. Tetapi, yang terjadi di lapangan justru tekanan dari produsen dalam negeri meningkat.

Tujuannya jelas, untuk melindungi pasar Indonesia dari gempuran impor produk China. Langkah ini dinilai sebagai hal yang merugikan Indonesia secara jangka panjang. Perusahaan Indonesia harus belajar bagaimana bersaing dengan China di beberapa produk dan mengintegrasikannya ke dalam rantai pasokan. Menilik prestasi pertumbuhan ekonomi China akhir-akhir ini memang mengagumkan.

Sumbangan China terhadap PDB global meningkat dari 1,3% pada 1990 menjadi 7,3% pada 2008 dengan kurs saat ini. Menurut Bank Dunia, China menyumbang lebih dari 11% output global tahun lalu dengan menggunakan nilai tukar paritas daya beli. Pertumbuhan cepat China menyajikan banyak tantangan baru dan kesempatan untuk negara-negara berkembang di Asia dan daerah lain. Karena itu, negara-negara ASEAN memahami bahwa mereka harus bersaing dengan China dalam berbagai pasar barang produksi dan untuk investasi.

Pedagang di pasar Tanah Abang misalnya, mereka mengklaim bahwa harga pakaian jadi yang diimpor dari China sama dengan harga kain yang dibuat di Indonesia. Hubungan antara China dan ASEAN sering komplementer daripada kompetitif. China telah muncul sebagai perakit di dunia, memproduksi barang elektronik akhir dari komponen diproduksi di seluruh dunia, tapi sebagian besar di Asia. Akibatnya, China berkembang pesat sebagai negara tujuan ekspor untuk negara Asia Timur dan negara-negara Asia Tenggara

Tidak ada komentar: