Selasa, 19 April 2011

Polemik IPO PT Krakatau Steel

Kompas, Rabu, 10 November 2010 | 03:28 WIB

Iman Sugema
Sebagian saham PT Krakatau Steel (Persero) akhirnya akan dijual kepada publik dengan harga Rp 850 per lembar. Ini mungkin merupakan langkah kompromi setelah upaya sebelumnya untuk menjual kepada pihak asing ditentang habis-habisan oleh para ekonom dan politisi.
Penerbitan saham perdana di bursa efek (initial public offering/IPO) memang lebih transparan dibanding penjualan kepada investor strategis. Tetapi itu tidak berarti bahwa perolehan negara akan maksimal, terutama jika ada indikasi penetapan harga yang kelewat rendah.
Terlalu murah
Tanpa harus berdebat dengan menggunakan analisis finansial dan ekonomi yang sangat teknis, setidaknya ada dua indikasi yang kuat bahwa memang saham PT Krakatau Steel dihargai terlampau murah.
Indikasi yang pertama adalah kenyataan bahwa pemesanan saham perdana mengalami kelebihan permintaan (over subscribe) sampai sembilan kali lipat. Kalau investor sampai berduyun-duyun mengantre seperti itu, tentunya karena harganya kelewat rendah.
Indikasi yang kedua adalah pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang banyak dimuat di berbagai media massa bahwa penetapan harga sebesar Rp 850 per lembar dimaksudkan untuk memberikan keuntungan modal (capital gain) kepada para investor.
Jadi, memang ada niat yang terencana untuk menguntungkan para investor. Karena itu, tidak heran kalau ada yang menengarai bahwa Menteri BUMN Mustafa Abubakar berusaha untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu.
Kalau memang benar sejak awal penetapan harga dimaksudkan untuk memberikan keuntungan modal, maka sama saja Menteri BUMN memiliki itikad secara sengaja untuk memperkaya pihak lain, baik perorangan maupun korporasi, baik asing maupun domestik.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Korupsi dinyatakan bahwa memperkaya pihak lain dengan cara merugikan negara termasuk dalam kategori korupsi. Apakah unsur tindak pidana korupsi telah terpenuhi dalam kasus ini, kita serahkan saja isu ini kepada ahlinya.
Sebagai ekonom, menjadi sangat penting untuk mengusahakan agar penerimaan negara dapat dimaksimumkan. Dalam kasus PT Krakatau Steel, ada beberapa hal yang dapat menunjukkan bahwa negara seharusnya bisa lebih diuntungkan.
Metode penetapan harga
Masalah utamanya terletak pada cara penetapan harga yang berdasarkan metode akuntansi biasa. Untuk sebuah perusahaan BUMN yang menjadi market leader di dalam negeri, mestinya nilai perusahaan berada jauh di atas nilai bukunya.
Kita tidak berbicara apakah PT Krakatau Steel dapat dikategorikan sebagai aset strategis nasional yang perlu dilindungi. Akan tetapi, posisi strategis PT Krakatau Steel dalam pasar baja nasional sudah menjadi kenyataan sehingga nilai pasarnya tidak hanya bisa dihitung secara akuntansi saja.
Salah satu aset strategis yang jarang dimiliki oleh perusahaan baja lainnya di seluruh dunia adalah kepemilikan pelabuhan yang cukup dalam dengan arus laut yang sangat kondusif untuk dilakukannya aktivitas bongkar muat.
Kalau mau dikembangkan, mungkin jasa pelabuhannya sendiri bisa jauh lebih menguntungkan dibanding usaha intinya.
Belum lagi kalau kita bicara mengenai pangsa PT Krakatau Steel di pasar domestik yang sudah mendekati sebesar 65 persen.
Dalam jangka panjang, posisi seperti ini menjadi sangat sulit untuk digoyahkan dan malahan dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan pasar ekspor.
Hal itu dibuktikan dengan kongsi PT Krakatau Steel dengan perusahaan baja dari Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Company (Posco), untuk membangun pabrik baja dengan kapasitas sebesar 3 juta ton per tahun.
Kongsi itu pun sebetulnya bisa menjadi acuan berapa harga PT Krakatau Steel sesungguhnya. Nilai investasi yang terlibat di dalamnya adalah sebesar 2,8 miliar dollar Amerika Serikat.
Dengan kapasitas sekitar 2,5 juta ton, maka biaya penggantian (replacement cost) PT Krakatau Steel adalah sekitar 2,4 miliar dollar AS. Kalau saham yang dijual adalah sebesar 20 persen, maka uang yang harus masuk ke negara adalah sebesar Rp 480 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,2 triliun.
Sementara itu, penawaran saham perdana hanya menghasilkan Rp 2,6 triliun saja. Kerugian negara bisa Anda hitung sendiri.
Kalaupun kita menggunakan metode akuntansi biasa, kemungkinan terjadinya kerugian negara bisa juga ditunjukkan. Kalau rasio harga terhadap laba bersih per saham (price-earning ratio/PE) yang dipakai, maka harga Rp 850 per saham kurang lebih sama dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham sepuluh kali.
Itu merupakan rasio harga terhadap laba bersih per saham yang relatif rendah di antara perusahaan-perusahaan sejenis di seluruh dunia.
Nippon Steel memang memiliki rasio harga terhadap laba bersih per saham 12,1 kali atau sangat dekat dengan PT Krakatau Steel. Akan tetapi, perusahaan tersebut memiliki struktur ongkos yang relatif tinggi karena jauh dari sumber energi dan sumber bahan baku.
Perusahaan sejenis di Australia dan China memiliki rasio harga terhadap laba bersih per saham antara 24 sampai dengan 30. Kalau kita pakai rasio harga terhadap laba bersih per saham 15 saja, maka harga saham PT Krakatau Steel mestinya adalah Rp 1.300 per saham.
Memaksimalkan perolehan negara
Belum lagi kalau kita memperhitungkan berbagai keunggulan PT Krakatau Steel yang tidak kentara (intangible) sehingga tidak tecermin dalam perhitungan akuntansi.
Keunggulan tersebut tecermin budaya organisasi, jaringan pemasaran, keunggulan sumber daya manusia, dan hal lainnya. Mestinya ada perubahan paradigma dalam melakukan privatisasi BUMN yang biasanya lahir dari kebijakan negara.
PT Krakatau Steel didirikan pada masa Orde Lama dan diposisikan sebagai industri hulu yang disiapkan untuk menopang proses industrialisasi.
Posisi yang dicita-citakan itu kini sudah menjadi kenyataan. PT Krakatau Steel menjadi pemain dominan di dalam negeri dan sekaligus memiliki kinerja keuangan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis di seluruh dunia.
Untuk masalah keunggulan kompetitif, PT Krakatau Steel bisa digolongkan sebagai BUMN yang berada di atas rata-rata. Inti dari argumen di atas bukan pada perhitungan kerugian negara, melainkan lebih pada upaya untuk memaksimumkan perolehan negara.
Selama masih mungkin untuk mendorong harga ke level lebih tinggi, mengapa pejabat negara tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya.
Dan itulah yang sudah lama hilang dari negeri ini.
Iman Sugema Chief Executive Officer, Ec-think Corporation

Tidak ada komentar: