Selasa, 19 April 2011

Masih Banyak Kesempatan jika Mau Berubah

ANALISIS EKONOMI
Kompas, Senin, 25 Oktober 2010 | 04:03 WIB

FAISAL BASRI
Perekonomian Indonesia masih bergejolak selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Ketidakpastian sangat tinggi di tengah pergumulan politik dan buruknya praktik penegakan hukum.
Pembenahan ekonomi yang lebih tertata baru berlangsung pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pemerintah ”cuci piring” membersihkan kotoran-kotoran peninggalan pesta pora para pengusaha dan penguasa Orde Baru.

Kala itu terjadi penjualan aset di bawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional secara besar-besaran. Sejumlah proyek macet akibat krisis tahun 1998 direstrukturisasikan. Lambat laun kita bisa keluar dari pusaran krisis walau dengan ongkos sangat mahal yang hingga sekarang masih terus kita bayar.
Kestabilan makroekonomi makin terjaga. Hasilnya cukup menakjubkan: pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2004 mencapai 7,2 persen, angka pertumbuhan triwulanan tertinggi pascakrisis yang hingga sekarang tak kunjung terlampaui, sekadar mendekati sekalipun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakoni proses jatuh bangun perekonomian Indonesia. Ia menduduki posisi-posisi strategis pascakrisis. Kalau juga diperhitungkan kiprah militernya pada masa Orde Baru, boleh dikatakan dewasa ini ia adalah satu-satunya tokoh aktif yang memiliki pengalaman paling panjang di dalam pemerintahan.
Bermodalkan perjalanan karier yang cukup lengkap dan beragam, SBY memulai debutnya sebagai presiden untuk memantapkan konsolidasi perekonomian agar terbentuk landasan yang lebih kokoh bagi percepatan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkualitas.
Walaupun sempat terseok-seok pada dua tahun pertama, pemerintahan SBY pertama telah menampakkan perbaikan sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai indikator makroekonomi.
Kita juga terhindar dari empasan krisis keuangan global tahun 2008. Boleh dikatakan sudah terhadirkan syarat perlu (necessary condition) yang dibutuhkan untuk akselerasi pertumbuhan dan pendalaman pembangunan.
Oleh karena itu, harapan besar tertumpahkan di pundak SBY pada masa jabatan keduanya. Apalagi mengingat partainya menang dalam pemilu dan ia berhasil unggul satu putaran dalam pemilihan presiden langsung. Bisa dipahami kalau banyak pihak yang kecewa atas kinerja setahun pertama pemerintahan SBY.
Betapa tidak. Ia tak butuh lagi masa transisi. Ia jauh lebih leluasa memilih anggota kabinet. Dukungan koalisi di DPR sangat memadai untuk mendukung pembaruan dan percepatan. Ia memahami sepenuhnya kendala-kendala utama yang mengganggu selama masa jabatannya yang pertama.
Namun, apa yang terjadi? Jangankan kualitas, laju pertumbuhan setinggi rata-rata kawasan pun masih relatif jauh terpenuhi. Mungkin tidak perlu risau dengan pertumbuhan yang relatif rendah asal berkualitas.
Akan tetapi, itu pun tak terjadi. Pertumbuhan hanya menciptakan lapangan kerja di sektor informal. Perbaikan indikator-indikator pembangunan berlangsung lambat sehingga kita makin tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Perbaikan peringkat daya saing belakangan ini tak bisa terlalu dibanggakan karena lebih disebabkan oleh keterpurukan negara-negara Eropa yang peringkatnya di atas kita pada masa sebelum krisis global.
Padahal, kita jauh lebih kaya dalam potensi sumber daya alam dan memiliki postur penduduk muda sehingga kita kembali tertinggal tatkala perekonomian dunia mengalami pemulihan.
Sentimen positif investor asing, terutama tentang prospek jangka panjang perekonomian Indonesia, masih belum mampu diarahkan untuk menggerakkan sektor riil. Pembangunan infrastruktur vital masih saja tersendat. Bukan karena kelangkaan dana, melainkan karena sangat lamban menghadirkan syarat-syarat pendukung.
Dana bertaburan di berbagai tempat, tetapi gagal didayagunakan ke dalam sistem sehingga banyak yang tidak produktif. Begitu lambat persiapan sejumlah BUMN masuk bursa. Triliunan rupiah dana haji dibiarkan diparkir di deposito, lalu oleh bank pengelola dibelikan SBI.
Belum lagi potensi dana puluhan triliun rupiah yang dalam waktu cepat bisa dihimpun dari dana jaminan sosial seandainya Sistem Jaminan Sosial Nasional sudah beroperasi secara efektif.
Bahkan, pemerintah sendiri gagal membelanjakan secara patut dana yang sudah di genggamannya sehingga menumpuk percuma di rekening BI.
Sadarkah pemerintahan SBY bahwa ”jantung” perekonomian masih mengidap penyakit akut? Industri keuangan dan pemerintah sangat piawai menyedot dana masyarakat, tetapi sangat lemah memompakannya kembali ke seluruh ”organ” perekonomian.
Apabila keadaan ini terus berlangsung, jantung perekonomian kian membengkak sehingga rentan terhadap serangan jantung tiba-tiba.
Kita masih punya cukup waktu untuk segera berbenah. Mungkin ada beberapa menteri yang kinerjanya sangat mengecewakan. Namun, perombakan kabinet tak menjamin perbaikan.
Sehebat apa pun para pemain musik yang beraksi dalam suatu orkestra, harmoni suara yang ditimbulkannya sangat bergantung kepada sang konduktor. Kalau sang konduktor meliuk-liukkan tongkat komando tak beraturan, para pemain musik akan linglung. Yang keluar lebih sering adalah suara-suara sumbang.
Presiden SBY sudah waktunya, dengan kerendahan hati, mengevaluasi gaya kepemimpinannya. Juga lebih fokus untuk membenahi manajemen pemerintahan agar sistem lebih efektif bekerja.
Bukan seperti selama ini, banyak waktu dihabiskan untuk retret, rapat koordinasi nasional, sidang kabinet paripurna dan sidang kabinet terbatas, serta berbagai pertemuan. Berikanlah otoritas lebih banyak kepada Wakil Presiden dan para menteri koordinator. Kalau para menteri koordinator dinilai tidak sanggup menerima otoritas lebih, segera ganti.
Pada era pemerintahan SBY kedua ini seharusnya kita sudah bisa take off. Prasyarat untuk itu sudah hampir terpenuhi. Jangan sampai yang sudah di genggaman sirna kembali. Rakyat sudah kian lelah menunggu tanpa kepastian.

Tidak ada komentar: