Selasa, 19 April 2011

Problema Utang Pemerintah

Kompas, Senin, 25 Oktober 2010 | 04:18 WIB

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Utang pemerintah rasanya sudah hampir identik dengan keuangan pemerintah kita. Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, utang luar negeri kita juga bertumpuk-tumpuk dan sangat ruwet. Ini yang kemudian dicoba diurai dalam beberapa kali restrukturisasi dengan fasilitator Dr Herman Abs, petinggi dari Deutsche Bank, Jerman.

Langkah itulah yang menjadi awal dari kebijakan utang pemerintah pada zaman Orde Baru dan terus bergulir sampai saat ini. Dengan berbagai cara, utang luar negeri tersebut masih juga mewarnai APBN kita meskipun dalam porsi yang sudah jauh lebih kecil dari jumlah keseluruhan anggaran kita.
Dewasa ini, jumlah utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.600 triliun. Dari jumlah tersebut, bagian utang luar negeri mencapai 60 miliar dollar AS. Jumlah ini turun naik di level tersebut meskipun sudah dicoba dikurangi dengan melakukan pelunasan lebih besar dari penarikan utang baru.
Sebagian kenaikan terjadi karena komponen utang luar negeri yang menggunakan mata uang, misalnya yen, menguat tajam terhadap dollar AS. Apakah ada kemungkinan jumlah tersebut dikurangi ke level yang lebih rendah lagi?
Bagaimana pun juga, utang luar negeri kita pernah menjadi beban yang sangat berat saat kita mengalami krisis tahun 1998. Dengan demikian, jika kita memiliki kesempatan untuk mengurangi, seyogianya kesempatan tersebut dimanfaatkan. Kesempatan itu umumnya timbul dalam keadaan keuangan pemerintah yang cukup kuat.
Beberapa tahun lalu, pemerintah juga melunasi sepenuhnya utang kita terhadap IMF. Pelunasan tersebut lebih didorong oleh tekanan politik yang ingin melepaskan kita dari keterikatan yang besar kepada IMF.
Namun demikian, pelunasan utang pemerintah terhadap IMF tersebut jauh lebih mudah dibandingkan dengan pelunasan utang pemerintah lainnya. Kenapa demikian?
Utang Bank Indonesia
Utang pemerintah dari IMF sebetulnya adalah utang Bank Indonesia. Ini terjadi karena utang dari IMF pada hakikatnya adalah dukungan terhadap penguatan cadangan devisa (balance of payments support) sehingga uangnya tidak masuk ke dalam struktur APBN pemerintah.
Dengan demikian, pelunasannya pun juga hanya perlu mempertimbangkan kuat tidaknya cadangan devisa BI. Pada saat BI merasakan bahwa cadangan devisa sudah memadai, keberanian pun timbul untuk melunasi. Dalam hal ini, pemerintah tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk pelunasan ini.
Berbeda dengan hal tersebut, utang luar negeri pemerintah yang ada dewasa ini merupakan bagian yang sungguh-sungguh dipergunakan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, penguatan aparatur pemerintah, dan keperluan lain. Utang tersebut masuk ke dalam struktur APBN kita sehingga untuk pelunasannya pun memerlukan dana dari pemerintah.
Jika keuangan pemerintah sangat memadai untuk pelunasan, maka pemerintah perlu menakar apakah devisanya memadai untuk itu. Dua hal tersebut yang jadi pertimbangan jika kita ingin melunasi utang luar negeri.
Jika kita telaah lebih dalam, keuangan pemerintah dewasa ini bisa dikatakan sangat kuat. APBN kita dari tahun ke tahun, meskipun masih defisit, semakin berkembang dengan pembiayaan yang berasal dari pajak dan penerimaan bukan pajak. Ini termasuk dari penarikan utang dalam negeri (dengan penjualan Surat Utang Negara dan Surat Perbendaharaan Negara) maupun penarikan luar negeri baik yang bersifat konsesional dari Bank Dunia ataupun lembaga pemerintah negara lain, maupun yang berasal dari pasar, baik untuk mata uang dollar AS maupun yen (Samurai Bond).
Rekening pemerintah
Dari sisi penyerapan anggaran, umumnya hanya 94 persen dari anggaran pengeluaran yang akhirnya terserap sehingga sisanya merupakan sisa anggaran yang menumpuk dalam rekening pemerintah di BI dan bank-bank umum.
Pada bulan Agustus 2010, jumlah rekening pemerintah di BI mencapai lebih dari Rp 190 triliun dan di bank-bank umum mencapai lebih dari Rp 60 triliun. Jumlah itu secara keseluruhan mencapai Rp 250 triliun.
Dengan melihat fakta-fakta itu, pemerintah tentunya dapat memanfaatkan untuk pembiayaan APBN tahun selanjutnya atau untuk crash program (yang disetujui DPR) stimulasi, misalnya untuk pembiayaan infrastruktur. Namun, nyatanya, tekad semacam itu tak juga terlaksana sampai hari ini sehingga setiap tahun jumlah rekening ini semakin bertambah besar.
Pada zaman Presiden Bill Clinton, selama tiga tahun terakhir pemerintahannya, Amerika Serikat juga mengalami surplus dalam APBN-nya. Surplus tersebut akhirnya digunakan sebagian untuk pelunasan utang mereka. Itulah sebabnya, pada akhir pemerintahan Presiden Clinton tahun 2000, utang Pemerintah AS masih dalam kendali yang cukup kuat dan berada pada level 5,7 triliun dollar AS. Dewasa ini, utang Pemerintah AS sudah mendekati 14 triliun dollar AS atau mendekati 100 persen dari PDB. Ini berarti, selama kesempatan masih ada untuk mengurangi beban itu, kesempatan tersebut harus dimanfaatkan.
Sementara itu, kekuatan cadangan devisa kita juga semakin besar. Akhir tahun ini (atau mungkin bahkan akhir bulan ini), cadangan devisa kita akan mencapai sekitar 90 miliar dollar AS dan tidak lama lagi akan melampaui 100 dollar miliar AS.
Jumlah cadangan devisa yang besar merupakan beban yang besar bagi BI. Sebab, setiap dollar yang dimiliki BI hanya menghasilkan bunga mendekati nol persen, sedangkan biaya untuk memeliharanya, yaitu antara lain dengan pengeluaran SBI, mencapai 6,5 persen per tahun. Utang luar negeri pemerintah memberikan beban bunga yang jauh lebih tinggi dari itu. Ini berarti, pelunasan utang luar negeri oleh pemerintah akan mengurangi beban keuangan BI sekaligus beban keuangan pemerintah.
Ada suasana win-win jika keputusan semacam itu diambil. Oleh karena itu, yang paling penting adalah mencari modalitas yang paling baik, utang-utang pemerintah manakah yang perlu menjadi prioritas untuk segera dilunasi. Menurut pendapat saya, utang yang menggunakan mata uang kuat seperti yen harus memperoleh prioritas pertama.
Dengan kekuatan keuangan pemerintah yang ada saat ini, pemerintah dapat menargetkan pengurangan utang luar negeri pemerintah sebesar 20 miliar dollar AS sampai akhir masa pemerintahan kedua Presiden SBY. Ini berarti, pemerintah harus melakukan pelunasan sekitar 5 miliar dollar AS setiap tahun. Jumlah tersebut sangat mungkin kita lakukan dengan cadangan devisa yang ada.
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi

Tidak ada komentar: