Senin, 18 April 2011

Robert B Willumstad, Optimisme Gaya CEO Dadakan

Kisah Sukses

Pekan lalu dia didapuk secara mendadak menjadi pimpinan puncak di AIG. Itu, karena dia dinilai mampu mengatasi kesalahan (yang menimbulkan kerugdian hingga USD 13 miliar) atas kelakuan pendahulunya?
Bagi Robert B. Willumstad, tiada hari teramat istimewa selain Senin pekan lalu. Bagaimana tidak. Tepat pada hari itu, dia dipercaya menggantikan Martin J Sullivan menjadi Chief Executive Officer (CEO) American International Group Inc. (AIG). Sebelumnya, Sullivan sempat menduduki jabatan puncak di perusahaan beraset lebih dari USD1 triliun ini selama tiga tahun.

Sebenarnya pula, pergantian pimpinan di sebuah lembaga adalah hal yang lumrah. Tapi, yang baru saja terjadi di AIG, bisa dibilang, agak istimewa. Bahwa akan terjadi pergantian pimpinan puncak di perusahaan ini, memang sudah diprediksi banyak kalangan. Hanya saja, mereka tidak memperkirakan akan terjadi secepat itu. Sertijab dari Sullivan kepada Willumstad memang digelar begitu mendadak.
Tentu, ada dasarnya para pemegang saham AIG harus mengambil langkah segera. Terutama, karena kinerja perusahaan yang menunjukkan tren makin memburuk. Lihat saja performanya hingga kuartal I-2008, skala kerugdiannya sudah mencapai USD 13 miliar, konon rekor tertinggi sejak perusahaan ini mulai beroperasi pada 1919. Padahal, selama periode April hingga September 2007 AIG masih bisa mencatatkan keuntungan USD7,4 miliar.
Kerugian yang begitu besar bisa terjadi dalam tempo yang amat singkat, menurut analisis banyak kalangan, di antaranya akibat kesalahan manajemen dalam menyalurkan dana investasi. Perusahaan ini, kata mereka, terlalu banyak mengalokasikan dananya untuk surat-surat berharga yang berhubungan dengan sektor properti.
Masih hangat dalam ingatan kita, banyak investor di sektor ini yang harus merugi dalam skala sangat besar karena imbas yang ditimbulkan oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage) yang meletup di Amerika setahun lalu.
Pagebluk yang luar bdiasa hebatnya itu pun, tak terkecuali, melindas AIG. Skala kerugdiannya, bisa dibilang, hampir sama dengan yang ddialami Citigroup, Bear Stearns, dan Merrill Lynch. Untuk mengatasi keadaan, sebenarnya, Sullivan sempat melakukan “perlawanan”. Tapi lacur, situasi berkembang semakin buruk. Persoalannya bertambah pelik, juga karena kepercayaan investor di lantai bursa makin menipis. Fakta yang sulit dimungkiri, hingga awal tahun ini, harga saham AIG melorot tajam hingga 50 pesen.
Walhasil, nasib Sullivan, juga CEO di beberapa perusahaan itu, harus berujung suram: terpaksa dilengserkan. Kini, harapan banyak investor berada di pundak Willumstad. Prdia yang sejak November 2006 menjabat sebagai Chairman AIG ini memang dikenal sebagai leader yang andal. Setidaknya, dia memiliki kepercayaan diri yang amat tinggi untuk menduduki posnya yang baru.
“Saya merasa terhormat dan tertantang mendapat kesempatan memimpin perusahaan sebesar AIG,” antara lain pernyataan resminya, sehari setelah dia dilantik menjadi CEO.
Willumstad boleh-boleh saja begitu percaya diri. Sikapnya itu, paling tidak, diharapkan bisa memompa kembali semangat 116 ribu karyawan AIG yang sempat terpuruk. Dalam suasana (bekerja) yang tenang, sejatinya mengurai permasalahan bisa dilakukan lebih cermat.

Berpengalaman di Bidang Keuangan Selama 40 Tahun

Lebih dari itu, untuk mengatasi kemelut yang terjadi, Willumstad telah menydiapkan sejumlah jurus pamungkas. Di antaranya, segera saja dia melakukan evaluasi terhadap portofolio investasi perusahaan. Hal ini menjadi prioritas, agar kerugdian yang lebih besar lagi bisa dihindari. Targetnya, setelah “terapi” berjalan selama 90 hari, diharapkan seluruh dana investasi telah berada pada keranjang yang benar. Langkah yang dinilai banyak kalangan sebagai kebijakan yang tepat.
Selain itu, masih ada problem yang tak kalah beratnya yang harus dibenahi Willumstad. Yakni, sesegera mungkin memulihkan kondisi keuangan perusahaan. Persoalannya, jika masalah ini tak cepat ddiatasi, niscaya akan memunculkan persoalan baru, yang tak mustahil berdampak buruk terhadap anak-anak perusahaan.
Ada sejumlah anak perusahaan yang bernaung di kelompok usaha ini. Di antaranya di bidang properti yang bernilai aset sebesar USD25 juta, perusahaan manajer investasi yang mengelola dana nasabah dengan skala mencapai USD29,4 miliar, dan perusahaan yang menangani pembdiayaan pembeldian pesawat. Bila perusahaan induknya terbelit masalah keuangan, lazimnya pula, hal itu akan berimbas terhadap anak-anak perusahaan.
Untuk mengatasi persoalan itu, Willumstad telah menydiapkan langkah tergolong cermat. Dengan kebijakannya itu, bahkan dia begitu yakin bahwa seluruh kerugdian perusahaan sudah bisa ddiatasi pada akhir tahun ini juga. Wow! Artinya, hanya dalam tempo enam bulan ke depan, dia beserta seluruh jajaran di AIG harus berjuang mati-matdian agar AIG selalu memetik untung. Mungkinkah?
Agar target tersebut bisa dicapai, tdiada pilihan lain selain melakukan efisiensi secara besar-besaran. Kebijakan penghematan inilah, sesungguhnya, yang tengah ditunggu-tunggu oleh segenap karyawan AIG. Tapi masalahnya, untuk merealisasikannya, bukanlah perkara gampang. Maklum, melaksanakan kebijakan serupa ini cenderung tak banyak pilihan. Yang lazim, di antaranya, lewat jalan pintas yang kerap dinilai tak populer, yakni mengurangi jumlah karyawan dengan cara PHK. Cara lainnya yang tak kalah peliknya dengan berusaha sekuat tenaga menekan biaya operasional. Atau kombinasi di antara keduanya.
Sampai di situ, bisa dibayangkan, bagaimana peliknya permasalahan yang harus diselesaikan Willumstad. Tapi, lagi-lagi Willumstad menyikapinya dengan optimisme.
Keyakinan pria yang saat ini berusdia 62 tahun begitu tinggi, bisa jadi, termotivasi oleh pengalamannya selama 40 tahun sebagai profesional di bidang keuangan. Selain itu, dia merasa bebannya menjadi agak ringan, setelah para pemegang saham mengangkat Stephen Bollenbach, mantan CEO Hilton Hotels Corp, menjadi pendampingnya. Jabatan resmi Bollenbach adalah sebagai kepala direktur independen.
Karir Willumstad di bisnis keuangan dimulai saat dia masih berusdia 21 tahun.
Saat itu dia sudah bekerja di Bank Chemical. Pengabddiannya di perusahaan ini berlangsung selama 20 tahun. Setelah itu dia loncat ke Citifinancdial (1987), tak lain salah satu unit usaha Citigroup. Beberapa tahun kemuddian dia bergabung dengan Travelers Group Consumer Financdial Services. Di perusahaan ini karirnya tergolong cemerlang, bahkan dia mampu menapak hingga ke puncak, yakni menjadi CEO.
dia sempat disebut-sebut sebagai tokoh kunci yang melempangkan perkawinan dua perusahaan keuangan terkemuka (1998), yakni Citicorp dan Travelers Group. Merger di antara keduanya kemuddian melahirkan Citigroup, gergasi keuangan terbesar di dundia saat ini. Di Citigroup, Willumstad kemuddian didapuk menjadi salah satu direkturnya.
Jabatan tertingginya di kelompok usaha ini sebagai chief operating officer. Boleh jadi lantaran merasa karirnya di Citigroup sudah mentok, pada 2005 Willumstad pun mengundurkan diri dari sana. Setahun setelah itu, dia bergabung dengan AIG. Nah, persoalannya sekarang, mampukah dia mengatasi seluruh permasalahan yang tengah dihadapi AIG? Kita lihat saja. (Eko Edhi Caroko/Trust/rhs)

Tidak ada komentar: