Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010 | 03:52 WIB
Asvi Warman Adam
Jarang disebut bahwa Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito yang berasal dari kalangan Taman Siswa. Soegondo lahir 22 Februari 1905 di Tuban, Jawa Timur.Jika Soekarno pernah tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya dan menganggap tokoh itu sebagai guru politiknya, maka Soegondo ketika bersekolah di AMS Yogyakarta pernah mondok di rumah Surjadi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Maka, jadilah Soegondo seorang praktisi dan kemudian tokoh pendidikan. Ia memimpin lembaga pendidikan Taman Siswa di Bandung tahun 1932. Menikah dengan Suwarsih pada tahun yang sama dan bersama-sama mendirikan sekolah Loka Siswa di Bogor. Selanjutnya ia mengajar di Taman Siswa Semarang dan tahun 1940 di Taman Siswa Jakarta. Tahun 1941 ia dipercaya menjadi Direktur Antara.
Tahun 1933 ia menjadi aktivis partai Pendidikan Nasional Indonesia yang dipimpin Hatta. Bersama dengan Sjahrir dan beberapa orang lainnya, tahun 1948 Soegondo ikut mendirikan Partai Sosialis dan menjadi ketua partai ini untuk wilayah Yogyakarta/Jawa Tengah. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP dan Menteri Pembangunan Masyarakat pada kabinet Halim (ketika RI jadi bagian RIS) tahun 1950.
Soegondo melanjutkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Hukum di Batavia tahun 1925 (walaupun tidak sampai tamat). Ia tinggal di rumah seorang pegawai pos, karena ini ia bisa mendapatkan majalah Indonesia Merdeka yang sebetulnya dilarang masuk ke Hindia Belanda.
Wawasan kebangsaan Soegondo semakin terbuka setelah membaca terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Inilah yang menggerakkan Soegondo untuk mendirikan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dengan beberapa temannya tahun 1926. Tahun 1928, mereka merencanakan rapat umum yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda II. Panitianya diketuai Soegondo, Yamin sebagai sekretaris, dan Amir Sjarifuddin sebagai bendahara.
Nyaris gagal
Soegondo melakukan persiapan dengan saksama. Selain membicarakan dengan para pengurus organisasi kepemudaan, ia juga mendatangi panitia Kongres Pemuda sebelumnya, serta meminta lulusan Belanda, Mr Sunario dan Mr Sartono, sebagai penasihat. Kongres ini nyaris gagal karena tak ada izin. Maka, Sunario bersama Arnold Manuhutu mendatangi pembesar Hindia Belanda yang dapat mengubah keputusan polisi, yakni K de Jonge.
Perundingan itu tidak selesai dalam satu hari. Hari berikutnya selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda itu yang akhirnya memerintahkan polisi memberi izin, dengan syarat kongres itu tidak boleh mengkritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan Pemerintah Hindia Belanda.
Kongres hari pertama tanggal 27 Oktober 1928 sempat dihentikan polisi dua kali: pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah ”kemerdekaan” dan, kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri bekerja lebih keras agar tanah air Indonesia dapat menjadi negara seperti Inggris dan Jepang. Ratusan orang menghadiri kongres itu dan di luar polisi bersenjata berjaga-jaga. Jadi, acara itu terselenggara tidak dengan mudah, tetapi berkat kerja sama dan keberanian para pemuda yang diketuai Soegondo Djojopoespito.
Soegondo meninggal hari Minggu, 23 April 1978, dalam usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa, Celeban, Yogyakarta.
Tak punya mobil
Soebagijo IN, wartawan dan penulis sejarah pers, memiliki surat-surat Soegondo yang antara lain berbunyi: ”Seminggu yang lalu, saya jatuh dari becak, karena becaknya ditabrak Honda. Untung saya selamat”. Hanya tulang di kaki Soegondo yang terasa sakit. Sampai akhir hayatnya, Soegondo tidak pernah memiliki mobil sendiri.
Istri Soegondo, Soewarsih Djojopoespito, meninggal Agustus 1977. Ia menulis novel Buiten het Gareel dalam bahasa Belanda (tahun 1940) yang diterjemahkan kemudian dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Djambatan menjadi Manusia Bebas. Di dalam novel itu diceritakan kehidupan guru-guru yang disebut sebagai ”proletar intelektual”. Soegondo dan Soewarsih dimakamkan berdampingan di pemakaman Taman Siswa Yogyakarta.
WR Supratman, pencipta ”Indonesia Raya” yang menyampaikan lagu itu secara instrumental dengan biola sesaat sebelum penyampaian hasil Kongres Pemuda II, telah diganjar gelar pahlawan nasional pada tahun 1971. Dua tahun kemudian, M Yamin yang dianggap sebagai perumus Sumpah Pemuda juga sudah diangkat menjadi pahlawan nasional. Tentu rumusan Yamin itu tidak sampai kepada publik apabila tidak diadakan Kongres Pemuda II yang dipimpin Soegondo Djojopoespito tahun 1928.
Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar