Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010 | 03:52 WIB
Triyono Lukmantoro
Berbagai kecaman tidak melenyapkan ambisi Badan Kehormatan DPR berkunjung ke Yunani.Di negeri yang melahirkan filsuf-filsuf besar itu, kurun 23-30 Oktober 2010 sebelas anggota Badan Kehormatan (BK) DPR disertai seorang anggota staf ahli dan dua anggota staf administrasi berstudi banding tentang etika, tata tertib, tata beracara, serta buku pedoman. Pulang dari sana, BK diharapkan menghasilkan panduan yang baik tentang etika untuk diterapkan kepada anggota DPR.
Menurut Wakil Ketua BK DPR Nudirman Munir, Yunani dipilih sebab merupakan penganut sistem demokrasi paling tua. Juga supaya anggota BK tak jadi katak dalam tempurung. Lagi pula, etika anggota Dewan di Yunani patut ditiru. ”Tentang anggota yang merokok, misalnya. Kita akan lihat bagaimana dunia mengatur anggota parlemen yang merokok,” kata Nudirman. ”Kemudian soal pakaian, kalau kita kan diatur bagaimana di negara orang. Soal cara ngomong juga. Apakah cukup dengan mengangkat tangan kemudian bicara, atau seperti apa?”
Alasan-alasan semacam itu menunjukkan bahwa perilaku anggota DPR memang tak masuk akal. Amat memalukan! Belajar etika ke Yunani dengan berkunjung seperti turis saat ini hanya memunculkan tragedi. Bukan saja tragedi yang berkaitan dengan pengabaian hati nurani rakyat, melainkan juga tragedi yang mampu menelanjangi bahwa anggota DPR, setidaknya anggota BK, tidak pernah membaca berbagai literatur tentang etika.
Tiga penjelasan berikut akan menjawab mengapa pelesiran ke Yunani memunculkan tragedi.
Pertama, tragedi yang berkaitan dengan salah nalar tentang makna demokrasi itu sendiri. Boleh jadi Yunani merupakan negeri yang paling tua menganut sistem demokrasi. Namun, demokrasi memiliki dinamika sesuai dengan ”ruang” dan ”waktu” yang melingkupinya. ”Ruang” menunjuk pada keberadaan negara ketika menjalankan demokrasi. Dalam ranah itu, antara pemimpin dan rakyat di suatu negara memiliki mekanisme komunikasi politik yang khas yang tidak bisa dibanding-bandingkan begitu saja. ”Waktu” merujuk pada demokrasi harus mampu memenuhi tuntutan rakyat dalam periode tertentu. Jadi, demokrasi atau etika dalam era Yunani tak dapat asal diterapkan di negeri ini.
Si pandir berkuasa
Harus dilihat bahwa tidak semua filsuf Yunani bersepakat dengan sistem demokrasi. Plato, misalnya, mengecam keras demokrasi karena hanya menjadikan orang pandir—namun karena mendapatkan dukungan luas dari orang kebanyakan—mampu berkuasa dan mengatur negara. Idealnya, kata Plato, negara dipimpin oleh perpaduan filsuf dan raja. Filsuf memiliki kebijaksanaan dan raja mempunyai kekuasaan yang besar.
Aristoteles lebih berpandangan positif terhadap politik demokrasi. Hanya saja, layak dicatat bahwa Aristoteles pun masih bersikap diskriminatif terhadap kaum perempuan dan budak sebab kedua golongan itu tidak memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. Kenyataan sejarah semacam inikah yang ingin dibandingkan bahkan diterapkan di negara kita saat ini?
Kedua, tragedi yang berkenaan dengan kesalahpahaman dalam membedakan pengertian etika dengan etiket. Mengutip pendapat K Bertens (Etika, 1997), etika dan etiket memang mengatur perilaku manusia secara normatif. Perbedaannya adalah etika berarti moral, sementara etiket berarti tata krama atau sopan santun. Di sisi lain, etiket berkaitan dengan cara suatu perbuatan dilakukan, sementara itu etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika tidak tergantung pada kehadiran orang lain. Etiket bersifat relatif, etika bersifat absolut. Pada puncaknya, hal yang membedakan keduanya adalah etiket menyangkut aspek manusia secara lahiriah, etika terkait erat dengan sisi manusia dari dalam.
Jadi, persoalan merokok di ruang, berpakaian, dan cara berbicara yang akan dipelajari di Yunani sudah tersedia jawabannya. Itu semua berkaitan erat dengan etiket atau tata krama. Namun, jika anggota DPR berbohong, terlibat pelecehan seks, dan tak peduli dengan suara aspiratif rakyat, itu menyangkut persoalan etika karena telah mencederai nilai-nilai normatif yang harus dipegang secara teguh oleh politisi.
Jika misalnya saja anggota DPR secara individual ataupun kolektif mencuri uang rakyat dan menerima suap, ini jelas-jelas telah melanggar etika sebab meski saat korupsi dan terima suap tak diketahui siapa pun dan dijalankan secara sopan, maka mengambil uang yang bukan milik sendiri merupakan pelanggaran etika yang sangat berat.
Malas baca
Ketiga, tragedi yang berhubungan dengan tingkah laku anggota DPR yang malas baca berbagai buku tentang etika. Terlalu banyak literatur dan artikel yang membahas etika. Aneka bacaan itu pun sangat mudah diakses karena tersedia di perpustakaan, bisa dibeli di berbagai toko buku, dan dalam bahasa Indonesia pula. Bahkan, hampir saban hari tersaji di koran opini yang membahas persoalan etika terkait isu mutakhir.
Karena malas membaca itulah, anggota DPR harus berkunjung ke Yunani. Tak tahukah mereka ungkapan klise bahwa buku (dan berbagai bacaan) adalah jendela pengetahuan?
Inilah buku yang ditulis oleh para ahli etika dan dapat dibeli di toko buku di Jakarta. Yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan politik kita antara lain oleh K Bertens (Etika, 1997; Perspektif Etika, 2001; Keprihatinan Moral, 2003; Sketsa-Sketsa Moral, 2004; serta Perspektif Etika Baru, 2009) dan Franz Magnis-Suseno (Etika Politik, 1987; 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, 1997; dan 12 Tokoh Etika Abad ke-20, 2000).
Mungkin saja buku-buku itu tidak membahas secara langsung tentang etika bagi anggota DPR. Namun, berbekal sedikit kemauan dan setitik kecerdasan, pastilah anggota DPR dapat menggunakan literatur itu untuk menerbitkan panduan bagi perilaku para wakil rakyat. Jadi, sungguh tidak masuk akal apabila BK bersikeras berkunjung ke Yunani ketika bahan-bahan bacaan tentang etika telah tersedia secara melimpah di sini.
Setelah para anggota BK tiba di Tanah Air, sangat pantas jika mereka telah membawa oleh-oleh bernama ”Tragedi dari Yunani”. Tragedi dalam hal ini bukan sekadar peristiwa yang menyedihkan. ”Tragedi” sebagaimana dituliskan The Merriam-Webster Dictionary (2004) bermakna sebagai ”sebuah drama serius yang berakhir dengan kesedihan dan kehancuran”. Tragedi seperti diuraikan kamus itu berasal dari bahasa Yunani tragoidia yang merupakan frase dari tragos (kambing) dan aeidein (menyanyi). Secara harfiah, tragedi berarti kambing menyanyi.
Semoga saja kepulangan anggota BK dari Yunani memang tidak membawa tragedi yang membuat rakyat semakin geli karena melakukan kunjungan wisata, tapi dikemas sebagai belajar etika.
Namun, bukankah tragedi itu sudah sering terjadi? Lebih tragis lagi, BK yang mengurusi persoalan etika kalangan anggota DPR ternyata belum paham etika. Betapa sedih menyaksikan ”kambing menyanyi” berkali-kali.
Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar