Sabtu, 30 April 2011

Tamu Agung yang Merepotkan

Kompas, Kamis, 11 November 2010 | 03:06 WIB

Ikrar Nusa Bhakti
Orang-orang di sini dulu pakai becak. Kalau tidak naik bemo. Sekarang sebagai Presiden, saya bahkan tidak bisa melihat lalu lintas karena jalan-jalan diblokir, padahal setahu saya lalu lintas Jakarta lumayan padat juga.” (Kompas, Rabu 10 November 2010).
Pernyataan Presiden AS Barack Hussein Obama yang dikutip Kompas tersebut sangat manusiawi dan bijak. Bisa saja diartikan betapa tuan rumah Indonesia terlalu berlebihan dalam mengatur lalu lintas Jakarta saat tamu agung dari negara adidaya itu berkunjung ke Indonesia, Selasa dan Rabu lalu.
Bayangkan, semua jalan yang akan dilalui ditutup 15 menit sampai berjam-jam, pengguna jalan berdesak dalam kemacetan menunggu sampai rombongan tamu agung lewat.
Pertanyaannya, adakah manfaat untuk rakyat dan bangsa Indonesia dari kunjungan Presiden Obama itu?
Pancasila
Satu hal penting dan amat positif yang diungkapkan Obama di Jakarta ialah Indonesia masih memiliki Pancasila sebagai pegangan hidup warga negara Indonesia. Ini tentunya sentilan keras bagi kita semua sebagai pemilik ideologi Pancasila.
Tengoklah apakah ideologi negara itu menjadi pegangan bagi para pembuat, pengambil keputusan, dan pelaksana keputusan di negeri ini? Apakah dalam pembuatan undang-undang seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang mengenai air, juga undang-undang mengenai energi, ideologi negara itu digunakan sebagai pegangan?
Di mana pula ideologi Pancasila di mata para elite politik dalam memperlakukan warga negara Indonesia yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan? Di mana sikap kegotongroyongan kita? Di mana sikap para wakil rakyat kita dalam memaknai sila keempat Pancasila di dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang parlemen?
Pelajaran penting lain dari Barack Obama ialah bagaimana sikap dan tindakan politiknya dalam menghadapi pluralisme masyarakat Amerika. Presiden Obama amat memegang teguh keputusannya untuk mendukung pembangunan Islamic Center di tanah dekat reruntuhan gedung kembar World Trade Center di New York walau kritik dan caci maki ditujukan kepadanya dari warga Amerika sendiri.
Obama juga berani untuk tetap mengunjungi Mesjid Istiqlal. Ini melambangkan bahwa AS bukanlah musuh Islam dan Islam bukanlah musuh AS. Sikap dan tindakan Obama melawan arus yang berkembang di AS.
Ia juga menyadari bahwa upayanya untuk menghormati Islam dan hidup damai serta bekerja sama dengan negara-negara Islam adalah kebijakan yang tidak populer dan dapat meruntuhkan legitimasi politiknya pada tingkat domestik. Namun, Obama tetap menunjukkan kenegarawanannya sebagai pemimpin AS dan tidak memedulikan citra politik yang merosot. Meletakkan batu sendi kebijakan yang positif terhadap Islam dan negara-negara Islam jauh lebih mulia ketimbang popularitas politik sesaat.
Lepas dari hal positif itu, kita masih bertanya, bagaimana kelanjutan dari politik luar negeri AS terhadap Timur Tengah, khususnya persoalan Palestina-Israel. AS memang memiliki kendala untuk memainkan pengaruh positif terhadap Israel karena kuatnya lobi Israel di AS, yang sebagian masih mendukung dibangunnya permukiman Yahudi di tanah Palestina.
Kita juga masih menunggu apakah AS akan mendukung Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagai salah satu prasyarat perdamaian di Timur Tengah. Meski persoalan Palestina bukanlah masalah agama, dukungan AS terhadap Palestina akan mendapatkan penghormatan positif dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kemitraan komprehensif
Salah satu tujuan kunjungan Presiden Obama ke Jakarta adalah membangun kemitraan komprehensif antara AS-Indonesia di bidang politik, keamanan, pertahanan, ekonomi dan sosial budaya, termasuk pendidikan.
Indonesia telah memiliki kerja sama semacam itu, termasuk juga kemitraan strategis dengan China, India, Australia, dan Rusia. Dari berbagai kerja sama itu, Kemitraan komprehensif dengan Rusia termasuk yang konkret karena ada kerja sama di bidang teknologi militer Rusia-Indonesia. Kerja sama ekonomi Indonesia-AS masih belum konkret bentuknya, baik untuk investasi maupun perdagangan.
Di bidang perdagangan, kita masih mengalami betapa negara-negara Barat, termasuk AS, masih menerapkan halangan nontarif terhadap ekspor barang-barang dari Indonesia seperti produk furnitur. Investasi AS di Indonesia juga masih terfokus pada bidang minyak dan gas demi menjaga keamanan energi AS.
Sampai kini, Pemerintah Indonesia juga masih takut melakukan negosiasi agar kontrak karya dengan PT Freeport McMoran diperbarui agar lebih menguntungkan Indonesia. Investasi AS di Indonesia juga terkait dengan sektor jasa, perbankan, atau segala yang membutuhkan tenaga terampil.
Bidang pertahanan juga masih belum jelas, apakah kerja sama militer AS-Indonesia juga akan mengikutsertakan pasukan elite TNI-AD, Kopassus. Di sini perlu keseimbangan antara pelatihan militer dan persoalan akuntabilitas politik, terutama terkait pelanggaran HAM oleh oknum-oknum militer Indonesia.
Apa pula yang dimaksud dengan kerja sama saling tukar mahasiswa? Apakah ini sekadar beasiswa bagi anak-anak elite politik Indonesia untuk kuliah lanjutan ke universitas-universitas ternama di AS, ataukah beasiswa atas dasar penilaian obyektif kepada semua anak Indonesia?
Tidak sedikit dugaan bahwa kemitraan strategis atau komprehensif yang dibangun AS dengan negara-negara di Asia seperti India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia adalah bagian dari politik AS untuk membendung dan mengikat China (co-engagement policy) karena China akan menjadi salah satu negara kekuatan ekonomi baru bersama Brasil, Rusia, dan India.
Kekuatan ekonomi China yang sudah melampaui Jepang, bukan mustahil juga dapat mengambil alih posisi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia. Melalui kerja sama ekonomi dengan India, Indonesia, dan negara-negara Asia Timur Laut, AS ingin tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan utama ekonomi dunia.
Kerja sama militer dengan berbagai negara Asia tampaknya juga untuk membendung China. Dipilihnya India, bukan Pakistan, sebagai mitra strategis di Asia Selatan menunjukkan betapa AS serius mengurangi ketakutannya pada merosotnya hegemoni AS di Asia. Biar bagaimana pun India lebih kuat daripada Pakistan dan India masih punya persoalan perbatasan dengan China.
Kita tunggu saja adakah follow-up dari kunjungan Obama ke Indonesia terkait dengan membangun kemitraan komprehensif ini. Jika tidak, maka kunjungan ini hanya akan menjadi acara kangen-kangenan dengan mudiknya si anak Menteng ke kota tempat ia menghabiskan masa kecilnya dulu!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta

Tidak ada komentar: