Senin, 09 Mei 2011

Dilema Anggaran Parlemen

Ibrahim Fahmy Badoh
Kasus demi kasus yang mendera bagai kabut tebal yang menerpa parlemen. Tak sekadar protes, publik bahkan mengecam. Herannya, alih-alih meminta maaf dan menyesal, parlemen malah merasa benar, sudah sesuai dengan fungsi, dan berjalan di dalam koridor aturan.
Inilah cikal berbagai skandal proyek dan kegiatan parlemen yang terus terjadi dan berulang: tahun demi tahun, bahkan hingga berganti periode.
Harus ada solusi sistemik atas skandal yang terus menggerus citra parlemen. Gejala pengulangan serta masifnya perilaku yang dipandang menyimpang tentu bukan lagi skala penyakit individu. Tidak terlalu benar mengatakan semua anggota parlemen berperilaku buruk dan korup. Meski tak dinafikan, terdapat perilaku menyimpang oknum, seperti sengaja memperpanjang masa kunjungan studi banding atau berwisata dengan alasan transit penerbangan di luar negeri dengan biaya negara.

Jika ditelisik lebih jauh, skandal di balik banyaknya kunjungan kerja di dalam negeri maupun ke luar negeri, serta banyaknya proyek anggaran di DPR yang kemudian mengundang protes keras publik karena sistem penganggaran yang buruk, tak hanya berpangkal pada mekanismenya yang tidak terkontrol. Juga karena berdiri di atas sistem pertanggungjawaban anggaran yang buruk dan membuka ruang lebar untuk korupsi.
Akuntabilitas rendah
Meski lembaga parlemen memikul fungsi pengawasan terhadap pemerintah, tak berarti lembaga ini telah tuntas mengawasi dirinya sendiri. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap anggaran DPR sejak 2004 hingga 2008, terlihat berbagai catatan praktik penganggaran yang buruk.
Perjalanan dinas, misalnya. Dalam pemeriksaan BPK atas belanja DPR tahun 2007 dan 2008, ditemukan Rp 341,339 miliar anggaran perjalanan dinas di DPR yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Ini bisa terjadi karena, menurut BPK, pertanggungjawaban anggaran perjalanan dinas DPR masih menggunakan peraturan pemerintah (PP) yang sudah sangat lawas.
PP Nomor 61 Tahun 1990 tentang Perjalanan Dinas DPR tentu sudah sangat lama. PP ini dibuat sebelum Indonesia mereformasi sistem keuangan publik dari sistem tradisional ke sistem berbasis kinerja. Sistem anggaran tradisional sendiri dikenal sangat lemah, sarat pemborosan, dan berorientasi menghabis-habiskan anggaran.
Sistem penganggaran tradisional menggunakan alokasi gelondongan atau lump sum. Alokasi ini diberikan untuk setiap jenis kegiatan dengan pertanggungjawaban terbatas. Kegiatan perjalanan dinas, misalnya, cukup dengan tanda tangan dari lembaga yang dikunjungi. Sistem ini sangat mudah dimanipulasi dengan mengubah standar fasilitas perjalanan dari penerbangan kelas eksekutif menjadi kelas ekonomi. Atau, hotel kelas bintang menjadi kelas melati. Bahkan, dapat dimanipulasi dengan bukti perjalanan fiktif bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan dinas.
Dengan modus manipulasi bukti perjalanan seperti ini, sisa ongkos dapat dikantungi secara pribadi atau dipakai untuk kepentingan lain, seperti berwisata atau pergi ke fasilitas hiburan. Bahkan, dapat digunakan untuk mengajak serta keluarga di dalam perjalanan. Wajar saja BPK membuat catatan buruk atas praktik penganggaran seperti ini.
Kontrol lemah
Sistem kontrol internal terhadap anggaran di DPR bahkan lebih lemah dari kementerian atau lembaga pemerintah yang diawasinya. Karena catatan BPK terkait anggaran DPR cukup serius dan terus berulang, seharusnya ada bagian di dalam sistem kelembagaan parlemen yang dapat mengevaluasi dan memberi peringatan awal untuk mencegah hal ini terjadi.
Jika instansi pemerintah memiliki unit seperti inspektorat atau satuan pengawas internal sebagai audit internal, DPR tidak memiliki unit serupa. Padahal, dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap instansi pemerintah, DPR justru memiliki Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. Sayangnya, lembaga ini memang hanya bertugas secara eksternal untuk memeriksa hasil audit BPK atas kementerian di bawah pengawasan komisi- komisi di DPR RI sesuai dengan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Parlemen.
Pertanyaannya, siapa yang mengawasi implementasi anggaran DPR dan sekjen DPR sebagai sistem pendukungnya? Apakah anggota DPR telah menyadari hal ini atau sengaja membiarkan sistem keuangan internalnya berjalan tanpa kontrol?
Seharusnya dengan kerasnya kritik publik atas anggaran DPR dan banyaknya temuan audit eksternal (BPK) terhadap praktik anggaran DPR, adanya semacam unit pengawas internal jelas diperlukan. Tentu banyak anggota DPR yang merasa risih diawasi secara internal. Namun, unit ini setidaknya dapat membantu membuat peringatan untuk mencegah penyelewengan anggaran. Unit ini juga dapat membantu membuat sistem pertanggungjawaban anggaran secara internal di parlemen menjadi lebih baik.
Sejauh ini hubungan anggota DPR dan sekjen DPR hanya dijembatani oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Sistem ini sebetulnya baik. Hanya saja, tidak efektif. Jabatan di BURT banyak disambi dengan jabatan yang terdapat pada alat kelengkapan lain, jadi tidak fokus.
BURT juga hanya terlibat dalam perencanaan anggaran bersama sekjen DPR, tetapi tidak memiliki sistem untuk mengawasi pencapaian target serapan anggaran di DPR. Kerja sekjen dan BURT juga terkesan parsial. Hasilnya tidak dibahas. Hanya disepakati di dalam agenda paripurna DPR.
Mekanisme seperti ini kerap menjadi bom waktu bagi DPR sendiri, terutama setelah terungkap di publik bahwa terdapat alokasi bermasalah. Simak, misalnya, alokasi pembangunan gedung DPR, pengadaan fasilitas laptop, dan sarana teknologi informasi di DPR. Ketika kasus demi kasus ini terungkap, DPR baru sadar ada kekeliruan di dalam alokasi anggaran internalnya.
Untuk menyibak tebalnya kabut skandal anggaran, parlemen periode sekarang seharusnya mampu meretas dilema dan melakukan evaluasi atas sistem penganggaran internal. Keberadaan unit pengawasan internal harus jadi prioritas untuk mencegah dan memperbaiki akuntabilitas anggaran.
Juga bagaimana mengefektifkan BURT untuk mengawasi kinerja anggaran. Jika sistem berubah, keliaran dan perilaku korup setidaknya dapat ditekan. Sayangnya, sistem akuntabilitas internal ini tampaknya masih dianggap justru sebagai peluang bagi penyimpangan.
Ibrahim Fahmy Badoh Peneliti ICW dan Ketua Badan Pekerja Komisi Anggaran Independen (KAI)
Sumber : Kompas, Rabu, 8 Desember 2010 | 04:58 WIB

Tidak ada komentar: