Sabtu, 30 April 2011

Telisik Dua Wajah Generasi Tionghoa


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Perwakilan dari universitas peserta pameran pendidikan mancanegara memberikan keterangan kepada calon mahasiswa di Hotel Phoenix, Yogyakarta, Sabtu (15/1).
Bestian Nainggolan
Derasnya terpaan budaya global pada generasi muda Tionghoa menekan eksistensi tradisi leluhur yang diturunkan orangtua mereka. Apabila kesuksesan hidup sama-sama menjadi tujuan pencapaian dua generasi tersebut, masihkah perlu dikhawatirkan?
Bagi Hendry (52), kerusuhan Mei 1998, yang memakan banyak korban dari kalangan etnis Tionghoa, bisa menjadi langkah awal penentu masa depan anak-anaknya. Saat itu di Medan, demikian juga kota-kota besar lainnya, dalam suasana tidak menentu. Bergegas, anak-anaknya ia kirim keluar negeri. Singapura, Penang, dan Melbourne, tiga kota itulah yang selanjutnya menjadi pusat didikan dua dari ketiga anaknya, mulai dari bangku SMP hingga perkuliahan.

Tidak sia-sia ia mengirimkan anaknya keluar negeri. ”Keduanya kini sudah bekerja sangat baik. Luar biasa baik,” papar Hendry. Ia membanggakan anak sulungnya yang kini menjadi manajer di perusahaan pasta gigi. Usianya baru saja menjejak 28 tahun. Namun, sebagai manajer, ia menjadi atasan sekitar 500 pekerja.
Kedua putra dan putri Widjaya (61) sempat pula mengenyam pendidikan di luar negeri. Selepas tamat SMA di Jakarta, sang ayah yang berprofesi sebagai dokter itu memilih Amerika Serikat (AS) sebagai negara tujuan pendidikan. Ketika krisis ekonomi 1998 melanda, biaya pendidikan luar negeri tentu terasa mencekik. ”Agar mereka terus bertahan, saya mesti menjual rumah dan memilih mengontrak 5-6 tahun selanjutnya,” kenang Widjaya. Namun, kini, semua keprihatinannya telah terbalas. Putri tertuanya kini memilih tetap bermukim di AS, bekerja dan membina rumah tangga dengan pria setempat. Anak keduanya kini bekerja di Singapura.
Jika ditelusuri, tampaknya bukan kisah yang langka lagi jika menyekolahkan anak keluar negeri menjadi pilihan keluarga beretnis Tionghoa. Terutama, tentu saja bagi para orangtua dengan kemampuan ekonomi yang mapan.
Terdapat beragam alasan memang, mengapa luar negeri menjadi tujuan. Bagi Hendry, misalnya, penyelamatan masa depan anak dari situasi politik yang tidak memungkinkan menjadi alasan utama. Terdapat pula alasan politis lain yang berbau diskriminasi, yaitu menyangkut minimnya peluang memasuki perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini. Dalam survei ini, misalnya, beberapa orangtua mengaku sempat menjadi ”korban” diskriminasi seleksi perguruan tinggi negeri lantaran identitas ke-Tionghoa-an mereka. Namun, tersirat dari berbagai orang tua yang diwawancarai, bersekolah keluar negeri adalah peluang dan ”tangga” menuju kesuksesan turunan mereka.
Penanam dan penuai
Pengorbanan orangtua kini mulai berbuah. Namun, terdapat sisi ”pergulatan” lain yang kini dihadapi. Lingkungan global yang dikecap, misalnya, turut pula membentuk habitat baru generasi anak. Dalam bekerja, kecenderungan anak kini memilih berkarier dalam lingkup internasional. Edwin (62), misalnya, menceritakan bahwa anak semata wayangnya kini memilih bekerja sebagai profesional di Dubai ketimbang Surabaya, kediaman mereka. Bahkan sebelumnya, dengan berbekal pendidikan bisnis di AS, anaknya sudah mengawali karier internasionalnya dengan bekerja di China.
Begitupun pemaparan Tirto (53), pemilik tujuh bidang usaha di Jakarta. Ia mengungkapkan, putra dan putrinya sudah lulus perguruan tinggi di Australia. ”Anak saya yang laki kerja di Australia, di National Australian Bank,” ungkap Tirto. Anak keduanya baru saja lulus di bidang akuntansi dan berencana bekerja di Singapura.
Habitat yang cenderung berbeda sempat pula memancing ”kegundahan” orangtua. Pembenturan antargenerasi pun kerap muncul. Generasi para orangtua adalah generasi kelahiran tahun 1950-an (Baby Boom Generation), yang tumbuh tatkala negeri ini baru saja memulai kemandiriannya. Peluang memang terbuka lebar, tapi kondisi demikian amat tidak mengenakkan bagi kelompok etnis Tionghoa yang sering dipandang sebagai pendatang di negeri ini.
Secara ekonomi, kondisi perekonomian keluarga—sebagai pedagang atau pemilik usaha kecil dengan pekerja seluruh anggota keluarga—belum makmur saat ini. Secara sosial pun keberadaan mereka tidak terlalu dianggap masyarakat, bahkan cenderung dipojokkan. Tidak ada pilihan lain, desakan hidup memaksa bertahan, dan bahkan memacu motivasi pencapaian yang harus ”lebih” dari yang lain. Motivasi pencapaian yang berkelindan dengan nilai-nilai kerja keras, ulet, dan hemat ditanamkan pada setiap anggota keluarga. ”Pulang sekolah saya harus kerja di bengkel las, potong besi,” kenang Hendry. Ia menambahkan, ”Di rumah, kita makan bubur. Di luar, kita enggak harus makan bubur. Kalau di rumah kita hemat, enggak ada yang liat. Itu ajaran orangtua,” imbuhnya lagi.
Ajaran orangtua ataupun para leluhur bagi generasi tua saat ini memang amat melekat. Dalam desakan zaman, proses internalisasi nilai-nilai yang diajarkan, seperti kerja keras, gigih dan ulet, maupun hemat, berlangsung mulus. Inilah spirit yang dipraktikkan dalam aktivitas ekonomi mereka. Dalam perjalanan waktu, capaian-capaian materi memang berhasil mereka raih. Kapital pun semakin berlipat ganda, yang kian menempatkan mereka pada barisan upper class.
Sebagaimana para orangtua Tionghoa akui, ajaran orangtua yang membentuk karakter penyikapan mereka melebihi internalisasi ajaran pendidikan sekolah ataupun agama yang mereka anut. Bahkan, mereka pun bangga terhadap stereotipe yang terbentuk saat ini: ulet, hemat, menjadi sisi lebih yang membedakan diri mereka dengan kelompok etnis lain.
Secara sadar, nilai-nilai yang mereka terima dari para leluhur ini mereka turunkan kepada anak-anak mereka. Namun, perbedaan generasi berikut konteks situasi sosial maupun ekonomi yang melingkupinya membangkitkan pergulatan tersendiri. Generasi anak, generasi muda saat ini, tumbuh pada era 1980-an. Tidak seperti kebanyakan orangtua mereka, nyaris kini tidak terlalu banyak kendala ekonomi ataupun sosial dihadapi. Singkat kata, generasi muda Tionghoa saat ini menjalani kehidupannya layaknya para penikmat hasil panenan yang ditanam orangtua mereka.
Di sisi lain, penguasaan teknologi dan produk teknologi komunikasi maupun informasi menjadi ciri melekat kalangan muda Tionghoa. Pola komunikasi mereka sangat interaktif, berlangsung egaliter, dan tidak lagi dibatasi ruang maupun waktu. Tidak keliru menempatkan mereka pada barisan terdepan Net Generation, suatu generasi yang menurut Don Tapscott (2009) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi layaknya orang bernapas.
Tujuan sama
Hidup dalam kemudahan ekonomi dan penguasaan teknologi adalah aset. Namun, bagi sebagian orangtua justru kekhawatiran kini tampak di ambang mata. Menurut mereka, nilai tradisi orang tua yang terus-menerus ditanamkan kini bergulat dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih modern. Parahnya, justru pandangan pesimistis mencuat, yang menganggap begitu mudahnya kalangan muda tergerus arus zaman, manja, ingin gampangnya saja, dan boros.
Namun, persoalannya, apakah kondisi yang dikhawatirkan itu memang terbukti melunturkan nilai-nilai yang selama ini coba dipelihara turun-temurun? Beberapa generasi muda yang diwawancarai mengakui ajaran orangtua tetap menjadi rujukan utama mereka. Mereka pun merasa sejauh ini telah berupaya menuruti tradisi yang diturunkan, sekalipun mulai terdapat resistensi pasif. Mengenyam pendidikan dan pekerjaan di luar negeri, misalnya, secara sadar memang membuka diri terhadap nilai-nilai baru yang dianggap lebih modern. Namun, dalam lingkungan seperti itu pula mereka merasa leluasa berkiprah.
Perbedaan pandangan dan penyiasatan hidup antargenerasi dan budaya memang tidak terhindarkan, tapi bukan sesuatu yang patut dibenturkan. Dalam hal ini, bisa jadi cara antara generasi tua dan muda Tionghoa dalam menginterpretasi zaman berbeda. Namun, jika dikaji tujuan akhir kedua generasi ini toh sama saja, kesuksesan dalam hidup. (Tim Litbang Kompas)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/02/04171089/telisik.dua.wajah.generasi.tionghoa

Tidak ada komentar: