Selasa, 19 April 2011

Optimisme Ekonomi Vs Pesimisme HAM

Kompas, Rabu, 12 Januari 2011 | 03:28 WIB

Todung Mulya Lubis
Tim ekonomi pemerintah berapat di Bogor dan menyuarakan optimisme yang luar biasa.
Menteri Koordinator Ekonomi Hatta Rajasa mengatakan, pada 2025 produk domestik bruto Indonesia akan berkisar 3,7 triliun dollar AS-4,7 triliun dollar AS, sementara pendapatan per kapita akan berkisar 12.800 dollar AS-16.160 dollar AS.

Pada waktu itu Indonesia akan termasuk dalam 10 besar ekonomi dunia. Kemudian, pada 2050 Indonesia akan masuk enam besar ekonomi dunia. Kenapa? Perkiraannya, pada 2013 tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkisar antara 7 dan 8 persen.
Optimisme ini didukung pula oleh prestasi Bursa Efek Indonesia: indeks harga saham gabungan pada akhir tahun mencapai angka 3.703,51, yang berarti peningkatan sampai 44 persen. Bursa saham kita dianggap yang terbaik di Asia Pasifik, melewati bursa saham negara lain.
Pencapaian ini memang luar biasa, menunjukkan kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia sangat kuat. Penanam modal institusional mengalirkan uangnya ke pasar efek Indonesia karena ekonomi AS dan Eropa lesu. Dalam jangka pendek, kembalian yang mereka peroleh jauh lebih menguntungkan ketimbang menanamkan uangnya di negara lain.
Lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pemeringkatan juga memproyeksikan kemampuan Indonesia membayar utang jauh lebih baik. Prakiraan Fitch, Moody, dan Standard & Poor tak jauh beda. Mereka sepakat setidaknya pada 2012 Indonesia akan mencapai investment grade atau dianggap aman sebagai tempat berinvestasi.
Modal asing yang bakal masuk ke Indonesia mulai 2012 akan berkisar antara
12 miliar dollar AS dan 20 miliar dollar AS per tahun. Kalau ini benar, masuknya modal asing ini benar-benar akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
Kita tentu bangga dengan proyeksi ekonomi yang optimistis itu karena semua itu akan membuat jumlah rakyat miskin dan penganggur berkurang. Pemerataan pendidikan dan pelayanan kesehatan seharusnya akan membaik.
Pembangunan infrastruktur akan mulai berjalan dan semua ini akan membuat daerah sebagai sentra ekonomi baru di luar Jakarta. Ekonomi yang lamban pertumbuhannya dalam 10 tahun setelah reformasi tampaknya akan berakhir, dan kita bisa menatap masa depan lebih cerah.
Hak ekosob
Pertanyaannya, sejauh mana optimisme ekonomi ini akan membawa perbaikan bagi hak asasi manusia (HAM) khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya? Kita semua tahu keadilan sosial adalah janji konstitusional kepada rakyat Indonesia.
Kita pun sudah meratifikasi Covenant on Economic, Social and Cultural Rights di mana hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) itu merupakan hak yang melekat pada manusia dan karenanya harus dipenuhi.
Pertanyaan inilah yang mendesak dijawab karena dalam 12 tahun terakhir kita tampaknya lebih peduli pada pemenuhan hak-hak sipil dan politik. Diabaikannya hak-hak sipil dan politik selama Orde Baru membuat pemerintah zaman reformasi ini terpanggil memulihkan hak-hak sipil dan politik itu. Sementara itu, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya kurang jadi prioritas.
Dua hal setidaknya perlu kita pertanyakan kepada pemerintah: seberapa berhasilkah pemerintah mengurangi jumlah orang miskin dan penganggur? Secara statistik memang jumlah orang miskin berkurang, tetapi kriteria orang miskin yang dipakai adalah pendapatan per hari 1 dollar AS, bukan 2 dollar AS.
Per Maret 2010, menurut BPS, jumlah orang miskin 31,02 juta jiwa dengan pengeluaran sehari Rp 7.000 atau katakanlah sama dengan 1 dollar AS. Kalau angka pendapatan per hari 2 dollar AS seperti yang dipakai Bank Dunia yang dipergunakan, bisa-bisa angkanya sekitar 50 persen.
Dengan zaman yang telah berubah, ketika Indonesia mendaku kemajuan ekonomi dan sudah pula menjadi anggota G-20, adalah tak lagi layak bertahan dengan angka pendapatan per hari 1 dollar AS.
Angka pengangguran juga masih 8,59 juta orang atau 7,41 persen dari total angkatan kerja. Di sini kita bicara tentang pengangguran terbuka, bukan setengah pengangguran. Banyak TKI, legal dan ilegal, yang menyabung nasib di negeri orang yang jumlahnya 4 juta-5 juta orang.
Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya juga harus dilihat dalam konteks pemenuhan akan hak atas alat-alat produksi, tanah, keterampilan, pendidikan dan kesehatan. Tentu di sana-sini terjadi perbaikan seperti publikasi Indeks Pembangunan Manusia. Namun, banyak pertanyaan terhadap angka-angka tersebut.
Sejauh mana angka kemiskinan dan pengangguran bisa dipangkas drastis? Dengan model pembangunan ekonomi seperti sekarang, hal itu masih diragukan karena ”translasi” ke bawah dari pertumbuhan ekonomi yang ada masih jadi persoalan. Kalau rakyat terus diberikan bantuan atau subsidi, itu namanya kedermawanan, bukan pemberdayaan.
Kalau kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin terus dibiarkan menganga lebar, pemenuhan hak-hak ekosob akan tetap bermasalah. Belum lagi, kita sangat rentan terhadap dampak krisis ekonomi di negara atau kawasan lain.
Di sini pentingnya optimisme tetap dibarengi dengan kewaspadaan. Apalagi di tengah euforia politik berlebihan sekarang ini di mana politik adalah segala-galanya.
TODUNG MULYA LUBIS Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
 Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/12/03282987/optimisme.ekonomi.vs.pesimisme.ham

Tidak ada komentar: