Sabtu, 16 April 2011

Teritorialisasi Demokrasi

Kompas, Kamis, 9 Desember 2010 | 05:34 WIB

BUDIARTO DANUJAYA
Selaik para warga pengusungnya, untuk hidup sehat dan ”beranak-pinak”, demokrasi juga butuh tempat tinggal memadai. 
Dalam diskursus politik, inilah perkara sangkut paut teritorialisasi demokrasi dengan proliferasi institusional demokrasi. Gamblangnya, sangkut paut peruangan nilai dan semangat demokrasi dengan keberanak-pinakan kelembagaan demokrasi dalam rangka konkretisasi lanjutnya pada praksis kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Bersengkarut dengan inter-relasi inilah laju demokratisasi kita dewasa ini menimbulkan antinomi: sekaligus menerbitkan optimisme maupun pesimisme. Menerbitkan harap lantaran Reformasi telah melembagakan hampir 30 lembaga, badan, dan komisi baru demi pengelolaan tambahan, penyeimbang ekstra yudikatif, serta pengawasan alternatif. Menerbitkan gundah lantaran banyak institusi itu terbukti terbengkalai, bahkan—sehubungan KPK—sempat muncul isu sengaja hendak dilemahkan.
Dalam konteks ini, banyaknya lembaga, badan, serta komisi negara baru maupun lama yang dibiarkan berlarut mengalami kedaluwarsa keanggotaan atau kosong kepemimpinan bikin gundah. Bayangkan, beberapa lembaga dibiarkan terkatung lebih dari setahun. Sulit membayangkan ini tak mendorong inefektivitas ke titik nadir seperti dikhawatirkan banyak pihak.
Politik keterbukaan
Sekejap retrospeksi menelusur gelegak demokratisasi di awal Reformasi menggamblangkan betapa alamat tertuju kehadiran lembaga baru itu jelas bukanlah antah-berantah. Raison d’etre-nya: terkuaknya kesenjangan kelembagaan mendasar dalam pengelolaan tertib pemerintahan serta penegakan hukum dan HAM. Jadi, kesadaran akan kebutuhan proliferasi kelembagaan ini merupakan dampak legal-institusional dari gelombang pasang kritisisme publik akibat politik keterbukaan era Reformasi.
Di satu sisi, gerak revitalisasi pengelolaan tertib pemerintahan serta penegakan hukum dan HAM menyadarkan betapa korup, bobrok, dan tak memadai kinerja lembaga sefungsi yang ada. Konsekuensi logisnya, terbitlah tuntutan kebutuhan akan lembaga pengelola, penyeimbang, dan pengawas alternatif.
Di sisi lain, gerak intensifikasi demokrasi berkonsekuensi logis pada pasangnya tuntutan akan ekstensifikasi demokrasi pula. Terpicu derivasi lanjut pengejawantahan nilai dan semangat demokrasi ke pelbagai ranah perjuangan baru yang lebih spesifik, terbitlah tuntutan kebutuhan akan wadah perjuangan, pengelolaan, juga pengawasan baru.
Dalam kelindan kebutuhan baru ini, demokratisasi lalu tak sekadar mendorong revitalisasi pengelolaan tertib pemerintahan serta penegakan hukum dan HAM dalam kerangka penyegaran semangat kesetaraan politik warga (isonomia) secara umum dan menyeluruh belaka. Melainkan, lebih lanjut, revitalisasi ini juga mengalami pendalaman dimensional sehingga menyangkut isonomia berbasis kluster sosiopolitik lebih spesifik pula.
Misalnya, isonomia berbasis jender (kaum perempuan) atau anak-anak yang secara sosiohistoris cenderung tersubordinasi sehingga lebih dari pantas jadi subyek tindakan penguatan politis. Sebuah penguatan politis berbasis keberpihakan asimetris yang lebih dikenal sebagai perjuangan politik ”perbedaan”. Kiranya inilah konteks kehadiran Komnas Perempuan atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Jadi, intensifikasi demokrasi hanya mungkin sungguh dikonkretkan lewat ekstensifikasi demokrasi, perluasan spasial ke lembaga demokrasi baru yang akan mengejawantahkan perjuangan nilai dan semangat ”baru”. Inilah sengkarut proliferasi demokrasi dengan teritorialisasi demokrasi: ketika kelembagaan demokrasi berbiak struktural demi memenuhi intensifikasi fungsionalnya. Itu sebabnya, dalam kerangka struktural-fungsional, kian proliferatif sistem demokrasi secara struktural, pada galibnya kian menjanjikan demokratisasi pula secara fungsional.
Laras ganda demokratisasi
Dalam kerangka ini, menimpakan keterbengkalaian lembaga demokratisasi ekstra fungsional pada keraguan atau kelambanan perorangan sesosok presiden semata, seperti santer diwacanakan kini, jelas terlalu meremehkan soal. Akan lebih memadai jika kita perluas pembicaraan perkara ini dalam konteks penyurutan semangat demokratisasi secara lebih menyeluruh dewasa ini.
Lewat perspektif ini, kita lebih mudah melihat kesejajaran kecenderungan di balik pembengkalaian, pelemahan, bahkan usul penutupan sejumlah lembaga demokratisasi ekstra fungsional dengan usul berbau resentralisasi, struktural maupun fungsional.
Contohnya, usul resentralisasi pemilihan kepala daerah ke pemerintah pusat karena dianggap pemborosan dan kuyup persoalan. Kecenderungan serupa juga gamblang melatari keinginan peringkusan sistematis sistem multipartai, baik lewat usul perumitan prosedur pendirian parpol maupun lonjakan drastis ambang batas karena dianggap kurang sesuai (merepotkan) dalam sistem presidensial. Belum lagi ucapan seperti democracy is noisy, democracy is a mess, atau demokrasi kita sudah kebablasan dari mulut petinggi kita.
Kecamuk pikiran di baliknya, di satu sisi, teritorialisasi proliferatif demokrasi justru cuma memunculkan banyak soal baru. Di sisi lain, raison d’etre ”kegentingan” tuntutan Reformasi juga berangsur samar dalam benak kita semua, ternetralisasi berlalunya waktu. Akibatnya, ”kegentingan” kebutuhan proliferasi teritorial demokrasi dengan mudah terkolonisasi kebutuhan praksis politik yang lebih pragmatis-prosedural, seperti memenuhi tuntutan kebutuhan sistemik penyelenggaraan politik yang lebih sederhana, praktis, dan efisien.
Menilik pendalaman dimensional dan perluasan institusional demokrasi merupakan jawaban atas tuntutan Reformasi, barangkali pengembalian pada titik tolak kebutuhan itu, cara revaluasi paling tepat. Pertanyaannya: apakah kebutuhan fungsional atas pelembagaan alternatif sungguh sudah menyusut? Atau, apakah lembaga lama sudah bisa bekerja lebih efektif sehingga tak perlu lagi lembaga demokratisasi ekstra fungsional?
Banyak terungkapnya kasus suap, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang pada lembaga konvensional kita—sejak kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perwakilan rakyat, hingga pemerintahan daerah maupun nasional—beberapa tahun belakangan ini membuat kita lebih dari maklum atas jawaban pertanyaan itu. Itu sebabnya, pembengkalaian, pelemahan, bahkan usul penutupan lembaga demokratisasi ekstra fungsional ini perlu kita kaji ekstra hati-hati agar tak memerosokkan kita kembali pada penyakit lama pra-Reformasi.
Memang demokratisasi pada galibnya gerak berlaras ganda. Di satu sisi, pengosongan ruang kuasa lama dari oknum, nilai dan semangat, serta kebiasaan buruk praksis politik lama yang totaliter, tak adil, dan tak semena-mena. Di sisi lain, pengisian terus-menerus ruang kuasa ”baru” ini dengan persona, nilai dan semangat, serta kebiasaan praksis politik baru yang lebih demokratis, adil, serta sadar hukum dan HAM.
Jika kita tak waspada untuk terus-menerus mengisi dan menyegarkan kembali nilai dan semangat reformatif itu, ruang kuasa yang telanjur kosong ini bisa saja diisi nilai dan semangat lain yang kurang sejalan dengan upaya demokratisasi lebih lanjut. Boleh jadi termasuk kembalinya oknum, nilai, semangat, dan kebiasaan praksis politik lama yang pernah mencengkeram tengkuk kita itu pula.
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB UI

Tidak ada komentar: