Kompas, Jumat, 19 November 2010 | 05:05 WIB
Wahyu Susilo
Penganiayaan yang dialami Sumiyati, buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat—mulutnya digunting oleh majikan di Arab Saudi—untuk kesekian kali terjadi pada perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri.Dalam satu-dua hari ini, tetapi tidak lebih dari hitungan minggu, kita akan dibombardir oleh keprihatinan mendalam dari para pejabat dan janji-janji untuk menuntaskannya. Minggu-minggu selanjutnya janji-janji itu menguap sampai kita diharu biru oleh kasus serupa berikutnya
Rasanya terlalu banyak untuk dituliskan kembali kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap buruh migran Indonesia, yang penyelesaiannya terkatung-katung hingga kini. Mungkin Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Luar Negeri sudah lupa derita Ceriyati, Kurniasih, Siti Hajar, Siti Tarwiyah, Susmiyati, Sariah, Winfaida, dan puluhan nama lain yang pernah dijanjikan penyelesaian kasusnya.
Berdasarkan pemantauan Migrant Care, dari ratusan kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri, hanya kasus Nirmala Bonat yang terekam lengkap peradilannya. Kasus-kasus lain tak jelas sampai di mana.
Bahkan kasus penganiayaan oleh seorang majikan di Arab Saudi pada Agustus 2007 yang menyebabkan kematian Siti Tarwiyah dan Susmiyati serta luka-luka serius pada Rumini dan Tari, dihentikan dengan pembayaran santunan. Si majikan terbebas dari hukuman yang harusnya dijalani.
Para petinggi negeri ini seolah amnesia terhadap derita, luka, bahkan kematian buruh migran perempuan Indonesia yang teraniaya di luar negeri. Padahal, saya yakin para petinggi tak akan pernah melupakan gemerincing remitansi (kiriman uang dari jerih payah bekerja di luar negeri) dan pasti berharap bahwa setiap tahun akan terus bertambah.
Remitansi memang tidak masuk kas negara, tetapi menjadi salah satu pelumas penggerak perekonomian daerah. Ketika duit-duit negara di APBN dan APBD digerogoti oleh korupsi atau setidaknya diparkir di SBI, remitansilah yang menghidupkan dinamika ekonomi daerah.
Jika kita baca secara cermat laporan Bank Dunia berjudul Migration and Remittances Factbook 2011, terbit 8 November 2010, kita akan dapati betapa remitansi dari jerih keringat buruh migran semakin menjadi andalan pembiayaan pembangunan dari tahun ke tahun.
Terus meningkat
Di kawasan Asia Pasifik, posisi Indonesia terus meningkat sebagai negara penerima remitansi. Sekarang Indonesia di posisi keempat dengan penerimaan remitansi 7,1 miliar dollar AS di bawah China (51 miliar dollar AS), Filipina (21,3 miliar dollar AS), dan Vietnam (7,2 miliar dollar AS).
Jika kita baca data remitansi Indonesia di laporan ini, terlihat bahwa kemajuan dari kebijakan migrasi tenaga kerja hanya terjadi pada peningkatan remitansi, tetapi tidak ada peningkatan kualitas proteksi. Ini bisa dilihat dari laju kasus kekerasan yang dialami oleh buruh migran Indonesia dan respons negara yang tidak signifikan.
Laporan ini mencatat bahwa di bawah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—baik bersama Jusuf Kalla maupun Boediono—sumbangan remitansi dari buruh migran tidak bisa diremehkan.
Pada akhir masa pemerintahan Megawati tahun 2004, remitansi dari buruh migran adalah 1,866 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat menjadi 5,420 miliar dollar AS (meningkat 400 persen) tahun 2005 dan terus meningkat hingga tahun 2008 menjadi 6,794 miliar dollar AS. Jumlah ini stagnan tahun 2009 (6,793 miliar dollar AS) karena krisis ekonomi dan diprediksi meningkat menjadi 7,139 miliar dollar AS pada tahun 2010.
Lonjakan drastis remitansi tahun 2005 merupakan hasil dari tertatanya manajemen migrasi tenaga kerja dalam kerangka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Undang-undang ini melegitimasi kebijakan memobilisasi penempatan tenaga kerja sebagai labour export policy yang memicu remitansi.
Namun, dalam lima tahun pelaksanaan UU, masalah perlindungan tak pernah menjadi perhatian. Selama lima tahun ini tak ada instrumen efektif dihasilkan untuk melindungi para buruh migran Indonesia. Sebagai aktivitas antarnegara, instrumen yang bersifat bilateral ataupun multilateral mutlak diperlukan. Namun, Indonesia gagal mewujudkan. Kesepakatan dengan Malaysia hanya menghasilkan MoU yang masih berpotensi pelanggaran hak asasi buruh migran. Pemerintah Indonesia bahkan tak berhasil mendesak Arab Saudi membuat kesepakatan perlindungan buruh migran perempuan.
Kegagalan lainnya adalah keengganan untuk meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya walau telah diagendakan di RAN HAM 1998-2003 dan RAN 2004-2009.
Tidak adil
Ada dimensi ketidakadilan apabila kita membandingkan jerih payah buruh migran Indonesia dalam bentuk remitansi senilai 7,139 miliar dollar AS tahun 2010 dengan total bantuan asing (Official Development Assistance) yang hanya 1,2 miliar dollar AS pada tahun yang sama.
Walau sumbangan remitansi buruh migran besarnya hampir enam kali lipat dari total bantuan asing, buruh migran tak pernah menikmati perlakuan terhormat dari Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, demi mendapatkan bantuan asing, Pemerintah Indonesia tak segan-segan memenuhi persyaratan yang didesakkan oleh pemberi bantuan (tied aid) meski persyaratan tersebut kadang bertentangan dengan konstitusi.
Padahal, bantuan asing sebenarnya juga merupakan titik masuk utang baru yang memberatkan masa depan. Karpet merah digelar dan pengawasan berlapis diberlakukan menyambut kedatangan tamu negara (terutama dari negara-negara pemberi bantuan).
Namun, kedatangan buruh migran Indonesia di bandara didiskriminasi, berbiaya tinggi, rentan pemerasan, serta dilayani dengan kualitas buruk. Menurut survei integritas pelayanan publik KPK yang dirilis awal November 2010, pelayanan pemulangan TKI di Bandara Soekarno-Hatta masuk kategori pelayanan terburuk.
Tubuh dan hati Sumiyati pasti sakit dan terkoyak akibat perlakuan majikan yang sangat keji. Ribuan, bahkan jutaan, buruh migran Indonesia akan makin merasa teraniaya kalau tahu pemerintah hanya peduli remitansi, tidak menjalankan kewajibannya melindungi warga negara yang bekerja di luar negeri.
Wahyu Susilo Analis Kebijakan di Migrant Care dan Program Manager di INFID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar