Didik Supriyanto - detikNews |
Jakarta - Jangan pernah mengira bahwa pemecatan Muhammad Nazaruddin dari jabatan Bendahara Umum Partai Demokrat, akan membuat ciut nyali para anggota DPR yang terbiasa memanfaatkan kedudukannya untuk mengambil uang negara. Peristiwa ini hanya menjadikan mereka lebih berhati-hati sambil meningkatkan kecanggihan operasi agar aman dari jeratan hukum.
Jangan pernah tanya, apakah pendapatan resmi anggota DPR tidak cukup untuk hidup nyaman di Jakarta. Cukup. Mereka disediakan rumah dinas; ketika rumah dinas direnovasi, mereka mendapat uang sewa rumah atau apartemen. Fasilitas komunikasi dibayari kas negara, demikian juga untuk kunjungan ke konstituen. Kurang apa lagi?
Tetapi, mengapa mereka masih terus memburu uang dengan cara tidak halal? Pendekatan agama, agaknya tak mencukupi menjelaskan soal ini. Sebab, pendidikan dasar hingga tinggi di negeri ini telah memberikan banyak materi keagamaan. Hampir semua anggota DPR adalah sarjana. Bahkan banyak di antara mereka yang menyerap pindidikan khusus agama di pesantren, paroki, vihara, dll.
Mereka yang beragama Islam tampak rajin salat, mereka yang beragama Kristiani juga rajin ke gereja. Lihat saja perayaan Hari Waisak yang lalu, hampir semua anggota DPR yang beragama Buddha datang, serius mendegarkan pesan-pesan Waisak. Kata ahli agama, mereka mengetahui ilmu agama, tetapi tidak menghayatinya; mereka menjalankan ritual agama tetapi tidak menyerap nilai-nilainya.
Apakah mereka punya kepribadian buruk atau semacam asosial? Susah menjawabnya. Sehari-hari di rumah mereka orang baik nan bijak: menyayangi keluarga, akrab dengan tetangga, tak segan membantu bila diminta. Sebagian mereka terlibat beragam kegiatan sosial. Mereka tampak berkeras mewujudkan kata-kata “demi rakyat”, “demi bangsa” dan “demi negara” dalam seluruh aktivitasnya.
Namun, ketika mereka melihat ada peluang untuk mengambil “sedikit” uang negara yang lewat di hadapanya, mereka pun tak bisa berpaling. Bagaimana mau berpaling, saat melihat ke kanan dan kiri ke depan dan belakang, hampir semua koleganya mengambil kesemptan itu. Toh hanya mengambil sedikit, toh sudah memperjuangkan ini itu untuk rakyat, toh gaji direktur BUMN lebih banyak ...
Begitu banyak alasan untuk mengambil uang negara yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Uang yang dikumpulkan dari keringat seluruh rakyat Indonesia, sehingga kalau mereka masih percaya dosa, percaya kehidupan akhirat, mereka akan menanggung beban dosa yang luar biasa. Rupanya, mereka tidak percaya itu. Jika pun percaya, rasionalisasinya cukup membenarkan atas apa yang dilakukan.
Faktanya, sebagai anggota Dewan, mereka harus menghadapi tuntutan konstituen. Tak terhitung jumlah proposal masuk di kantornya, tak terhitung pula permintaan lisan, lewat telepon maupun sms, atas sejumlah uang untuk segala macam keperluan. Apa meraka mau dibiarkan? Bukankah suara mereka yang membawanya berkantor di Senayan? Kan tidak cukup hanya 5 tahun di Senayan.
Kenyataannya, partai politik mengharuskan mereka menyetor sejumlah uang untuk membiayai kegiatan partai. Mereka yang hanya menyetorkan potongan gajinya, pasti tidak bisa berharap dicalonkan lagi. Semakin banyak setoran semakin baik buat partai, dan itu juga semakin baik buat masa depan karier politiknya. Bolehlah ideologi hilang dalam politik, tapi uang tidak mungkin.
Jadi agak aneh jika partai kemudian menghukum kadernya yang rajin menyetor uang dalam jumlah banyak, karena sesungguhnya partailah yang membuat mereka mengembat segala macam asal usul dan bentuk uang. Tetapi, siapa berani melawan. Jangan coba-coba jika tak mau habis karier politik.
Karena itu, pemecatan Nazaruddin tak perlu disesali, tak perlu ditangisi. Dia lagi bernasib sial saja. Kesialan biasanya menghinggapi orang yang tidak hati-hati. Makanya, berhati-hatilah menghadapi perangkap hukum yang hendak ditegakkan oleh orang-orang yang tidak paham dunia politik.
Politik itu kotor. Saling menginjak, saling memanfaatkan. Tapi politik harus tampak bersih, karena politik adalah atas nama rakyat, atas nama bangsa dan negara, bahkan juga atas nama agama. Oleh karena itu, kecanggihan mengambil uang negara yang harus ditingkatkan agar tidak bernasib seperti Nazaruddin, dan mereka yang kini jadi tersangka atau terpidana lain....
Didik Supriyanto, Wapemred detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
(diks/nrl)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/05/24/153520/1645965/103/belajar-dari-nasib-nazaruddin?nd991107103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar