Kompas Kamis, 26 Agustus 2010 | 02:47 WIB
Laode Ida
Pemberian remisi dan grasi oleh pemerintah terhadap beberapa narapidana kasus korupsi—antara lain besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Aulia Pohan) yang mendapat remisi dan mantan Bupati Kutai Kartanegara Ahmad Syaukani yang memperoleh grasi—telah menimbulkan reaksi keras banyak kalangan.
Mereka menyayangkan dan menentang kebijakan itu sebab faktanya, hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan kepada para koruptor itu tergolong singkat. Rata-rata di bawah 10 tahun, bahkan di bawah lima tahun penjara. Namun, pemerintah tetap pada pendiriannya.
Selain menganggap hal itu sudah sesuai ketentuan yang berlaku, pemerintah memberi grasi kepada Syaukani berdasarkan pertimbangan kemanusiaan setelah dokter mengeluarkan keterangan bahwa yang bersangkutan kini buta global. Singkatnya, semua kritik diabaikan begitu saja. Berlalu bagai angin. Pemerintah merasa diri benar.
Pemerintah dengan sikap dan kebijakan semacam itu dapat dianggap arogan oleh tenggang rasanya yang tinggi kepada koruptor. Ini sungguh ironis dan bertolak belakang dengan semangat berantas korupsi yang didengung-dengungkan Presiden dan dikehendaki warga. Mengapa?
Pertama, pemerintah telah mengabaikan rindu rakyat pada keadilan. Betapa tidak! Uang yang dicuri para pejabat itu adalah milik dan hak rakyat, dicuri saat mereka mengelola anggaran dan uang negara. Begitu tega pemerintah memberi ”keistimewaan” terhadap para pencuri selagi masih banyak rakyat miskin yang sehari-hari hidup menderita.
Sehari-hari kita saksikan pengemis dan anak jalanan berkeliaran lantaran tak beroleh pelayanan yang baik dari negara karena uang negara diisap para pencuri yang menduduki jabatan di pemerintahan.
Seharusnya pemerintah dan jajaran pejabat serta penegak hukum menyadari (1) saat uang negara dikorupsi oleh seorang atau segelintir pejabat—apalagi dalam jumlah yang signifikan besar—maka saat itu sebenarnya sebagian rakyat atau komunitas tidak terlayani dengan baik, dan (2) korupsi pasti menghambat tercapainya kesejahteraan rakyat dan/atau pencerdasan bangsa sebagaimana tujuan negara kita di dalam konstitusi. Karena itu, pemerintah tak boleh bertenggang rasa terhadap para koruptor dengan alasan apa pun.
Kedua, kebijakan pemerintah seperti itu kalau terus diberlakukan akan berdampak pada rendahnya efek jera koruptor atau para pejabat di negeri ini dalam mengeruk uang negara bagi kepentingan pribadi atau memperkaya diri. Mereka berpikir, ”Kalaupun ketahuan dan suatu saat dihukum, pasti hukuman itu tak akan lama, apalagi bila dibarengi remisi saban tahun bahkan grasi. Marilah memanfaatkan kesempatan memperoleh uang banyak dengan jalan pintas dan setelah keluar dari penjara, uang korupsi masih bisa dinikmati bahkan sampai pada anak cucu.”
Lebih berat
Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi berefek jera. Barangkali cara China yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, bahkan hingga sampai pada sebagian anggota keluarganya, dianggap terlalu berat. Namun, itu tak berarti kita memberi dispensasi berlebihan kepada para penjahat itu hingga mereka tetap menikmati kebebasan dan terus bermewah-mewah.
Ketiga, kebijakan seperti itu menunjukkan bahwa pemerintah dan pemegang otoritas hukum di negeri ini sungguh sangat bersahabat dan berteman sangat hangat dengan para koruptor. Ketika sejumlah pejabat menjenguk terpidana korupsi di rumah tahanan atau di rumah sakit, sebenarnya ini momen memamerkan ekspresi nyata bertenggang rasa dan dekat secara moral dengan sang koruptor.
Hubungan khusus itu semakin menemukan aktualitasnya bila sang pejabat memberi keterangan kepada publik berintikan pembelaan atas kebijakan remisi atau grasi terhadap para koruptor. Maka, sang pejabat tak boleh tersinggung bila dicurigai ”sudah bermain atau memperoleh suatu imbalan dari para koruptor”.
Para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi sosial dengan menjauhi mereka dari interaksi fisik. Sanksi sosial semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari para pejabat atau pemimpin di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistik: meniru apa yang dilakukan petinggi. Tenggang rasa pemerintah terhadap koruptor bukan saja telah menjadikan lambannya penanganan kasus korupsi yang banyak dilaporkan masyarakat dari berbagai daerah, tetapi juga melumpuhkan lembaga produk reformasi pemberantas korupsi alias KPK akhir-akhir ini.
Bisa dimengerti kalau banyak figur di negeri ini yang semula terkait atau terindikasi korupsi justru diakomodasi atau diposisikan sebagai pejabat baik di level nasional maupun daerah otonom. Memprihatinkan.
Laode Ida Sosiolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar