Kamis, 05 Mei 2011

Demokrasi atau Kleptokrasi


Kompas, Selasa, 31 Agustus 2010 | 03:09 WIB

Oleh Susanto Pudjomartono
Reaksi publik yang keras menentang keputusan pemberian grasi dan remisi kepada sejumlah koruptor saat hari proklamasi kemerdekaan menunjukkan beberapa hal.
Pertama, masyarakat umumnya kian gemas dan muak terhadap korupsi sehingga grasi dan remisi dipandang sebagai pelunakan sikap pemerintah dalam memberantas korupsi. Kedua, sekali lagi pemerintah keliru membaca mood publik. Keputusan ini telah menaikkan tingkat kemarahan publik terhadap pemerintah. Apalagi berbagai hal yang terjadi akhir- akhir ini, seperti bom elpiji dan naiknya harga barang konsumsi, telah menambah resah masyarakat. Masyarakat bisa-bisa mulai meninggalkan sikap apatis-pasif yang nrimo (menerima apa adanya). Ini jelas bisa memicu rasa frustrasi publik ke arah negatif yang lebih keras.
Ketiga, efek jera yang diharapkan akan muncul lewat pemberian hukuman kepada para koruptor ternyata tidak berhasil. Bahkan, rasa malu untuk korupsi sudah hilang, terlihat dari kian besarnya jumlah kasus korupsi. Bangsa kita telah berubah.

Rasa bersalah pada hati nurani karena melakukan kejahatan kian terkikis habis. Semua yang serba palsu kini seperti dihalalkan, seperti surat keterangan sakit dokter, asal-usul kekayaan yang serba absurd, konsumerisme dan materialisme yang tak mengenal solidaritas sosial, serta kepongahan yang menduniawi.
Seorang mantan menteri zaman Orde Baru pernah bercerita, salah seorang temannya yang juga eks menteri dan telah selesai menjalani hukuman karena korupsi lebih memilih menjalani tambahan hukuman kurungan daripada harus membayar denda beberapa miliar rupiah. Jelas itu perubahan persepsi orang terhadap korupsi. Kini korupsi dianggap sebagai kegiatan yang ”cepat menguntungkan” meski punya risiko tinggi.
Padahal, selama ini kita percaya kombinasi tindakan tegas terhadap korupsi dan penggalakan rasa malu dan rasa bersalah bisa meredam korupsi. Kini jelas bahwa kita telah gagal memberantas korupsi. Korupsi kian menggila. Para koruptor kebal dan tidak takut terhadap ancaman hukuman. Rasa malu dan rasa bersalah bukan lagi penghalang.
Bangsa permisif
Salah satu penyebab, kita telah makin menjadi bangsa yang ”terlalu pemaaf”, bahkan juga kepada musuh-musuh kita. Kita cenderung mengejar harmoni, kehidupan yang tenang, dan perdamaian. Korupsi telah diakui dan dinyatakan sebagai tindak pidana ekstrem dan musuh utama bangsa, tetapi kita tak mau dan tidak berani tegas menindaknya. Malah terkesan, para koruptor ikut menyabotase usaha penindakan terhadap korupsi ini.
Pemaafan diakui didasarkan pada tingginya rasa perikemanusiaan kita karena melihat terpidana dianggap sakit dan tidak mampu bangkit lagi. Tetapi, mengapa rasa kasihan kita tidak tersulut melihat penderitaan rakyat miskin, kaum duafa dan papa yang kurang makan, kurang gizi, dan tak mampu mengecap pendidikan layak? Tiadanya solusi nyata membuat kita sekali lagi tenggelam dalam teater retorika, berteriak-teriak keras tanpa tindakan nyata.
Belakangan, ada yang mengusulkan agar kita meniru Latvia dan China yang dianggap berhasil menghapuskan korupsi. Ini kekeliruan. Dalam daftar Transparency International, Latvia masih urutan ke-58 negara terkorup dan peringkat China malah naik dari 57 (2001), ke 72 (2008) dan 79 (2009). Studi korupsi oleh Minxin Pei, Direktur Carnegie Endowment, pada 2007 mengungkapkan, korupsi mengakibatkan kerugian sekitar 3 persen dari GDP atau sekitar 86 miliar dollar AS per tahun. Namun, jumlah koruptor yang tertangkap dan dijatuhi hukuman tak sampai 3 persen, hingga korupsi dianggap kegiatan yang high return, tetapi low risk.
Hukuman mati di China dapat dikenakan pada 68 jenis kejahatan, termasuk korupsi dan penyelundupan heroin. Namun, pekan lalu pemerintah mengajukan RUU, antara lain, berisi ketentuan bahwa 13 jenis kejahatan menyangkut ekonomi dan yang tidak menyangkut kekerasan akan dicabut dari daftar hukuman mati. RUU telah diajukan ke parlemen dan hampir pasti memperoleh persetujuan.
Hukuman mati di China dengan ditembak mati atau diinjeksi merupakan rahasia negara, hingga tidak jelas berapa yang sudah menjalaninya. Ada dugaan, mencapai ribuan setiap tahun. Korupsi di China meluas terutama sejak 1980-an saat ekonomi pasar mulai diterapkan.
Salah satu alasan korupsi meluas adalah karena kekuasaan dipegang oleh Partai Komunis China. Tidak adanya LSM dan media yang bebas menyebabkan tak ada kontrol atau pengawasan masyarakat terhadap korupsi. Menurut buletin partai, jumlah pejabat yang terlibat korupsi pada 2009 tercatat 106.000, naik 2,5 persen dari 2008.
Negara kleptokrasi
Lantas, apa yang harus dilakukan jika efek jera lewat ditumbuhkannya budaya malu dan rasa bersalah tidak ampuh lagi untuk mengganyang korupsi di Indonesia? Apalagi apabila pemerintah setengah hati, ditambah lagi upaya sistematis sementara kalangan, termasuk di DPR, untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Pada akhir 1960-an saat Operasi Bhakti untuk pemberantasan korupsi dilakukan, muncul pertanyaan: siapa yang harus diganyang lebih dulu, ikan besar atau ikan kecil? Kini pertanyaan itu tak relevan lagi. Korupsi sudah melibatkan pejabat kecil maupun besar. Upaya reformasi birokrasi, termasuk peningkatan remunerasi pegawai negeri, tak mengurangi ”nafsu” calon koruptor. Khotbah para ulama juga belum bisa meredakan niat untuk korupsi. Iming- iming gaya hidup mewah atau setidaknya berkecukupan lebih manjur dibanding ancaman hukuman di bumi dan dunia fana.
Belakangan, ada usul untuk menerapkan sistem hukum pembuktian terbalik bagi mereka yang disangsikan sumber kekayaannya. Kita bisa meniru Korea Selatan yang mengenakan sanksi sosial: pejabat (dan keluarganya) yang hidup mewah kelewatan dan disangsikan asal-usul hartanya dapat dikucilkan masyarakat.
Kita sering menyebut diri sebagai bangsa besar, murah senyum, beradab tinggi, dan menghargai pahlawan. Rasanya kini kita harus menambahkan satu moto lagi: bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memberantas korupsi, penyelewengan dan nepotisme. Kita juga membanggakan diri sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Setelah 65 tahun merdeka, alih-alih betul-betul menjadi negara demokrasi, kita bisa tersungkur menjadi negara kleptokrasi (negara yang diperintah oleh para maling).
Susanto Pudjomartono Wartawan Senior

Tidak ada komentar: