Kamis, 05 Mei 2011

Lanjutkan Korupsi!

Kompas, Selasa, 7 September 2010 | 03:30 WIB

Febri Diansyah
Jika Anda koruptor sejati, datanglah ke Indonesia. Anda pasti untung. Masih banyak sumber daya alam, dana bantuan sosial, pembangunan infrastruktur sekolah dan rumah sakit, alat kesehatan, atau bahkan pengadaan sapi yang bisa Anda korupsi.
Tak perlu gentar dengan pidato dan klaim pemberantasan korupsi pemerintah. Buktinya, pada hari kemerdekaan Indonesia, ratusan koruptor mendapat kado keringanan hukuman.
Seperti diketahui, 341 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, 11 orang di antaranya langsung menghirup udara bebas. Aulia Pohan adalah salah satu nama yang mendapat berkah kemerdekaan ini. Sederet nama koruptor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun masuk dalam urutan penerima remisi.

Sejauh ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 jo PP No 28/2006, dan Keputusan Presiden No 174/1999 sebagai dasar legitimasi hukum. Semua regulasi itu bisa jadi memberikan pembenaran tekstual. Namun, deretan aturan dan teks yang mati di atas ternyata sama sekali tidak mampu memastikan adanya mekanisme yang ketat untuk meminimalisasi praktik ”jual-beli” hak narapidana. Sejumlah riset ICW, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan testimoni mantan narapidana secara jelas menyebutkan eksistensi praktik mafia lapas dan jual beli remisi, kunjungan, dan sejenisnya.
Argumentasi pemerintah tersebut haruslah dibaca secara kritis. Selain soal masalah mendasar di pengelolaan lembaga permasyarakatan yang tercoreng dengan skandal penjara mewah sejumlah narapidana, penyesatan informasi publik pun patut diawasi. Sering kali masyarakat dihadapkan pada penjelasan, pemberian remisi dan grasi dilakukan dengan alasan pemerintah menjalankan perintah undang-undang. Seolah-olah jika koruptor tidak dimaafkan, maka pemerintah melanggar hukum.
Wacana ini jelas menyesatkan karena baik UU Permasyarakatan ataupun Peraturan Pemerintah tentang Remisi pada prinsipnya mengatur, pemerintah punya hak menilai dan memutuskan bisa atau tidaknya remisi diberikan. Benar, remisi adalah hak narapidana secara umum. Akan tetapi, penerapannya tidak bisa dilakukan dengan mudah.
Sikap negara
Soal bentuk dan lama penghukuman sesungguhnya merupakan kewenangan hakim di pengadilan. Kekuasaan yudisial menjatuhkan hukuman mewakili negara untuk merampas kemerdekaan warganya. Di titik inilah, diskusi soal penghukuman dan segala yang terkait dengan pengurangan hukuman mau tidak mau harus dibaca dalam kerangka teori pemidanaan.
Logika antitesis yang disampaikan Georg WF Hegel soal teori penghukuman ini amatlah sederhana, bahwa seseorang yang melakukan kejahatan sesungguhnya telah mengingkari hukum. Dengan demikian, sintesanya, negara punya hak menjatuhkan pidana tersebut. Hal ini sesungguhnya dimaknai oleh konsepsi hukum pidana dalam arti subyektif, yakni sebuah teori yang menjelaskan hak negara menjatuhkan pidana. Poin yang perlu ditegaskan adalah pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, atau apa pun yang mengurangi bobot putusan hakim haruslah tetap diletakkan dalam koridor teori pemidanaan tersebut. Lantas bagaimana?
Titik krusialnya terletak pada sikap negara dalam menghukum atau mengurangi hukuman. Jika kita bicara soal pemberantasan korupsi, tentu kita akan menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental. Bagaimana sikap dan posisi negara soal penghukuman terhadap koruptor? Atau, bagaimana negara melihat koruptor dalam iklim berbangsa yang lebih luas? Pertanyaan ini penting dijawab agar pemberian remisi, grasi, atau keringanan terhadap narapidana koruptor tidak hanya dijawab dengan argumentasi tekstual yang sempit dan penyesatan makna hak asasi manusia.
Sikap negara tersebut tentu bisa dibaca dari dua hal. Pertama, dari apa yang dilakukan dan diucapkan Kepala Negara. Kita tahu, Presiden sebagai kepala negara bahkan memberikan pengampunan atau grasi selama 3 tahun terhadap seorang koruptor kakap yang sebelumnya diproses KPK. Presiden pun juga nyaris tidak serius mengawal evaluasi dugaan praktik kotor jual beli ”hak narapidana”. Presiden yang sama juga diragukan komitmennya melakukan pemberantasan korupsi di tubuh partainya sendiri dan di institusi penegak hukum.
Dengan demikian, agaknya kita menemukan cermin pemberian grasi dan remisi dengan teori pemidanaan. Bahwa, salah satu personifikasi negara memang terkesan kompromi dengan kosmos korupsi. Pembacaan kedua dapat dilakukan melalui ukuran yang lebih kuantitatif, seperti bagaimana unsur-unsur lembaga negara menyikapi korupsi. Bagaimana Kepolisian dan Kejaksaan memerangi korupsi. Dan, potret resistensi para politisi dengan lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Bahkan, sejumlah regulasi yang seharusnya bisa disusun untuk memperkuat pemberantasan korupsi justru dijegal dan dilemahkan.
Dari dua sudut pandang dan pembacaan di atas, kita bisa melihat praktik pemberian remisi, grasi, dan pengurangan hukuman dalam bentuk lain sebagai hubungan negara dengan masyarakatnya. Tidak berlebihan kiranya jika ada yang mengatakan, negara yang diselenggarakan oleh unit-unit pemerintahan sedang melakukan rentetan anomali pemberantasan korupsi.
Segudang persoalan
ICW bisa saja menyampaikan sejumlah data tentang segudang persoalan pemberantasan korupsi di era kepemimpinan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Yudhoyono. Termasuk peta pidato Presiden yang akhir-akhir ini justru menunjukkan wajah anomali tersebut. Pada 100 hari pemerintahan Yudhoyono jilid II misalnya. ICW mengamati 15 potongan pidato yang signifikan dan terkait dengan pemberantasan korupsi. Ternyata 10 dari 15 (66,67 persen) masuk kualifikasi pernyataan yang mengkhawatirkan untuk pemberantasan korupsi.
Selain itu, karakter parsial, disorientasi strategi dan kosmetifikasi menjadi catatan yang mencolok dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini. Dihubungkan dengan konsep pemidanaan dan pengurangan hukuman oleh kekuasaan negara terhadap koruptor, agaknya kita menemukan benang merah yang tegas. Bahwa, komitmen pemberantasan beberapa simbol kenegaraan kita sungguh mencemaskan.
Dalam nada satir, saya teringat slogan Kepala Negara saat menjadi calon presiden. Lanjutkan! Memangnya Lanjutkan Pemberantasan Korupsi atau Lanjutkan Korupsinya?
Febri Diansyah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Tidak ada komentar: