Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010 | 04:11 WIB
Nalini Muhdi
Kekerasan demi kekerasan bertubi-tubi menyergap dan menjadi menu suguhan masyarakat kita dalam beberapa tahun ini.Yang mutakhir peristiwa di Tarakan, Kalimantan Timur, dan Jalan Ampera, Jakarta, yang ditayangkan televisi secara telanjang. Keduanya membuat giris suasana jiwa yang sedang haus kedamaian dan kesejukan untuk mengimbangi dari kegelisahan hidup karena berbagai tekanan masalah yang tak kunjung henti dan menuntut penyelesaian.
Beberapa hari yang lalu, saya juga terkejut mengamati foto yang terpampang menjadi wallpaper telepon genggam seorang remaja: foto seorang korban kekerasan yang barusan terjadi di negeri ini tewas tergeletak bersimbah darah segar dengan ekspresi amat mengerikan. Betapa memilukan, pemandangan seperti itu mengisi benak generasi yang sebaiknya dihindarkan dari paparan kekerasan. Kelak tanpa disadari akan memengaruhi ambang toleransi mereka terhadap perilaku kekerasan. Memprihatinkan.
Contoh di atas mungkin kelak bisa membentuk persepsi bahwa kekerasan bisa diterima apabila kita sering terpapar oleh masalah-masalah kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Lebih mengerikan jika lantas terjadi pembenaran bahwa kekerasan bisa dipakai sebagai cara untuk menyelesaikan masalah karena tidak ada sanksi sosial yang cukup adekuat bagi pelakunya. Tindakan aparat terkesan lambat, masyarakat juga semakin apatis serta skeptis.
Rasa marah kolektif
Luapan rasa amarah yang intens dan mewujud dalam bentuk perilaku kekerasan dalam berbagai kemasan, fisik maupun verbal-emosional, menjadi sebuah tontonan yang akhir-akhir ini kian menjadi suguhan sehari-hari. Dari skala kecil sampai besar, dilakukan rakyat kecil sampai pemimpin. Ada apa?
Beberapa alasan mengapa rasa marah dipakai sebagai cara mengekspresikan diri meskipun tidak memberikan solusi jangka panjang. Rasa marah kerap dipakai sebagai topeng sembunyi melawan perasaan yang lain, ketakutan akan ketidakpastian, kehilangan, rasa bersalah, malu, perasaan ditolak, atau kegagalan. Perasaan yang tentunya menimbulkan rasa frustrasi dan tertekan. Sering kali rasa marah tersebut telah berlangsung lama, berujung pada frustrasi, atau karena tak mendapatkan jalan keluar, membuat rasa tidak berdaya. Frustrasi yang berakumulasi akan meletup sebagai tindakan agresi ketika ada faktor pemicu yang pas dan spesifik.
Mengacu pada hipotesis frustrasi-agresi yang dipostulasikan oleh John Dollard, rasa frustrasi kerap mengawali tindakan agresi dan agresi sendiri bersumber dari rasa frustrasi. Agresi hampir pasti selalu ditingkatkan oleh rasa frustrasi. Pertanyaannya, mengapa masyarakat kita saat ini gampang marah dan melakukan tindakan agresi? Berarti, ada rasa marah kolektif yang menimbulkan rasa frustrasi massal, lantas meningkatkan perilaku agresif yang menyeruak subur di sekitar kita.
Masyarakat kian mudah menggebuk orang lain, tawuran, gampang memaki, meneror, dan mengintimidasi. Semua adalah bentuk manifestasi agresivitas atau kekerasan. Dilakukan oleh semua lapisan, mulai dari pemimpin sampai rakyat kecil.
Coba lihat perilaku pengendara di jalan sibuk kota besar, betapa mudahnya memuntahkan kata-kata kotor dan mempertontonkan ketidaksabaran. Coba lihat para pemimpin kita saling sikut, menggebrak meja, atau menyindir lawannya dengan kenyinyiran yang sering tidak menyelesaikan masalah secara langsung.
Mungkinkah beban masalah kehidupan sudah tak tertanggungkan lagi oleh masyarakat yang dalam satu dasawarsa ini mengalami perubahan begitu cepat, menimbulkan depresi massal yang membuat orang dari semua lini dan strata sosial-ekonomi cepat marah dan kehilangan kendali? Rasa frustrasi senantiasa akan meluap dengan tindakan agresi ketika frustrasi sudah begitu intens. Mentok.
Tanda bahaya
Masyarakat yang mengalami kondisi kejiwaan yang tak tertanggungkan ini (psychologically decompensated), atau meluas menjadi gangguan mental-emosional, mewujud dalam peningkatan kejadian kekerasan dalam berbagai menu variasi, berbarengan pula dengan tingginya angka kriminalitas akhir-akhir ini, tentu saja tak bisa dibiarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa status taraf kesehatan mental di masyarakat kita sudah membunyikan tanda bahaya. Kualitas hidup bangsa sudah terancam mengalami degradasi, apalagi menghadapi perubahan dunia yang menuntut kompetisi dan sering menghasilkan deteriorasi semua aspek kehidupan.
Kondisi marah, frustrasi, depresi, dan berujung pada perilaku merusak orang lain ataupun diri sendiri tersebut tentu tidak saja berimbas pada kesehatan mental semata, tetapi juga pasti akan merembet pada status kesehatan yang lain, menurunnya daya tahan tubuh, dan longgarnya kohesi sosial yang sering kita rindukan kembali. Kualitas hidup dipertaruhkan.
Kita sedang butuh pencerahan. Sambil menunggu langkah cepat menghadapi bahaya yang mampu membuat kita terpuruk, manifestasinya tak langsung, tetapi sudah nyata terasa, kita mesti menguatkan rasa empati. Seandainya kita di pihak korban. Bagi pemimpin, seandainya mereka menjadi rakyat kecil, apa akibat yang dirasakan. Dan sebaliknya. Atau, mungkin kita mulai berlatih tertawa lebar beberapa menit setiap hari untuk tujuan yang jelas. Tanpa sadar, kita sudah mulai jarang bisa tertawa bahagia.
Atau sebaliknya, kita membiarkan sama-sama kalah. Masyarakat yang kalah, rakyat yang kalah. Tentu, pemimpin yang kalah? Padahal, kita membutuhkan pemimpin yang mencerahkan. Sayangnya cahaya gemilang itu tak kunjung muncul.
Selamat menyambut Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober.
Nalini Muhdi Psikiater; Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia Pusat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar