Sabtu, 07 Mei 2011

Anomali Anarkisme Massa


Kompas, Senin, 4 Oktober 2010 | 10:53 WIB

MUNAFRIZAL MANAN
Bentrokan yang menelan korban jiwa dan luka-luka yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur, dan di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, baru-baru ini adalah penegas bahwa sisa-sisa perilaku era transisi akhir dekade 1990-an masih dilakoni oleh sebagian masyarakat.
Masih segar dalam ingatan kita betapa fenomena anarkisme massa merebak di banyak tempat di seantero Indonesia pada era transisi rezim dekade itu. Peristiwa itu masih menyisakan perasaan traumatis hingga kini. Apakah geliat anarkisme massa akhir-akhir ini merupakan puncak gunung es dari potensi anarkisme massa lebih besar dan masif di bawah permukaan? Ini mungkin pertanyaan yang menggelayuti benak publik saat ini.

Praktik kekerasan, sebagaimana pernah dicatat oleh Ungar, Bermanzohn, dan Worcester (2002: 3), umumnya merupakan bagian pengalaman dari sebuah negeri yang sedang mengalami transisi rezim. Pada periode transisi, karakter sosial masyarakat biasanya ditandai oleh merebaknya agresivitas massa dan vandalisme. Ini merupakan situasi masyarakat seolah tak punya negara dan hukum (stateless and lawless society). Hasil riset Ted Robert Gurr (1993, 2000), misalnya, pernah mengungkapkan, konflik etnik di berbagai negara selama dekade 1960-an hingga 1990-an sering terjadi pada fase pemerintahan transisional.
Masyarakat pada fase transisi, menggunakan terminologi Emile Durkheim, adalah masyarakat anomie, yaitu situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban sosial. Anomie muncul karena tatanan lama mengalami anakronisme, sementara tatanan baru belum selesai dibangun untuk ditaati. Inilah ruang kosong yang subur bagi anarkisme massa. Sesungguhnya, Indonesia tak lagi dalam fase transisi karena telah melewatinya. Kita telah melangkah lebih jauh dengan menempuh fase instalasi demokrasi lewat serangkaian reformasi kelembagaan negara dan konstitusi agar selaras dengan prinsip demokrasi konstitusional.
Lemahnya kepercayaan
Saat ini kita tengah dalam fase konsolidasi demokrasi setelah sukses menggelar tiga kali pemilu sejak fase transisi dimulai (1999, 2004, dan 2009). Menurut Samuel P Huntington (1991: 26-27), konsolidasi demokrasi dimulai ketika berhasil menyelenggarakan dua kali pemilihan umum demokratis dan damai (the two-turnover test). Karena itu, dilihat dari aspek elektoral, tak heran praktik demokrasi kita menuai apresiasi, pujian, dan penghargaan dari dunia internasional.
Namun, masih seringnya terjadi anarkisme massa menunjukkan, satu kaki kita masih tertinggal di fase transisi, sedangkan satu kaki lain telah melangkah ke fase konsolidasi demokrasi, yang semestinya ditandai oleh kultur demokrasi yang beradab. Ini adalah anomali fase transisi dan konsolidasi demokrasi, yang menunjukkan ada keterluputan dalam proses demokratisasi yang kita tempuh. Sedikitnya ada tiga sumber penyebab anomali ini.
Pertama, proses demokrasi kita selama ini cenderung fokus pada aspek perangkat keras (hardware) demokrasi, tetapi agak abai pada aspek perangkat lunak (software) demokrasi. Kita mendahulukan urgensi restrukturisasi kelembagaan negara dan reformasi konstitusi sembari meminggirkan pentingnya edukasi nilai dan prinsip berdemokrasi dan berkonstitusi.
Kita mungkin lupa, bangunan demokrasi tak hanya mensyaratkan adanya mekanisme checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga membutuhkan modal sosial untuk menyemai high-trust society. Seperti ditegaskan Francis Fukuyama (1995), trust adalah unsur penting dalam praktik demokrasi dan hubungan sosial antarmasyarakat. Anarkisme massa bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi serta merupakan indikasi low-trust society.
Kedua, praktik demokrasi kita tak sepenuhnya ditunjang hukum sebagai panglima. Potret penegakan hukum kita masih compang-camping. Institusi-institusi penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan pengadilan, mengalami krisis kepercayaan akut oleh masyarakat. Terungkapnya perangai korup sejumlah oknum polisi, jaksa, dan hakim belakangan ini semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa penegakan hukum lemah dan para penegak hukum brengsek.
Di tengah potret seperti itu, jangan heran bila publik tidak percaya kepada aparat dan prosedur hukum. Jangan pula heran jika ada gerombolan massa berani mengacungkan senjata tajam dan menarik pelatuk senjata api di tempat terbuka dan ramai. Tindakan main hakim sendiri dan ekspresi anarkisme massa secara melawan hukum merupakan puncak gunung es dari krisis kepercayaan terhadap hukum. Setelah pernah menjadikan politik sebagai panglima pada masa Demokrasi Parlementer dan ekonomi sebagai panglima pada masa Orde Baru inilah waktunya menjadikan hukum sebagai panglima.
Ketiga, institusi demokrasi seperti legislatif dan eksekutif tidak diyakini sebagai representasi kepentingan publik sehingga publik cenderung tak memosisikan sebagai jalur mediasi penyelesai masalah mereka. Ini terutama disebabkan aktor-aktor negara pada institusi demokrasi tersebut sering kali mendemonstrasikan teladan negatif ke publik.
Perlu ketegasan
Sulit mengharapkan publik dapat percaya aktor-aktor negara sebagai pelayan kepentingan mereka jika faktanya para aktor negara lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Sikap predatoris dan kleptokratis aktor-aktor negara melalui peningkatan fasilitas dan remunerasi telah membangun jarak psikologi-politik mereka dengan publik. Kepemimpinan yang lemah dan peragu berkontribusi pula mendorong keberanian massa untuk melakukan kekerasan. Maka, institusi demokrasi tak berfungsi sebagai kanalisasi embrio anarkisme massa.
Bagaimanapun, tindakan tegas terhadap para pelaku anarkisme massa harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa negara ada dan kewibawaan negara tidak dilecehkan. Namun, aspek preventif jangka panjang terhadap anarkisme massa perlu pula dilakukan melalui menabur benih modal sosial, menjadikan hukum sebagai panglima, dan membuat institusi demokrasi dipercaya dan berfungsi.
MUNAFRIZAL MANAN Dosen dan Ketua Badan Pelaksana Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar: