Sabtu, 07 Mei 2011

Pemerintah


Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010 | 03:17 WIB

Jaya suprana
Istilah pemerintah tepat dan benar untuk negara kita pada masa kerajaan Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa itu, sikap dan perilaku mereka yang sedang berkuasa senang, bahkan merasa wajib, memberi perintah. Tidak boleh dibantah. Membantah berarti tidak patuh perintah pemerintah!
Istilah pemerintah cocok bagi penguasa otoriter, apalagi diktator. Gelar pemerintah juga asri untuk rezim mazhab komunisme yang maunya mutlak memerintah tanpa dibantah.
Namun, setelah gerakan reformasi di mana demokrasi dirasa wajib dijunjung tinggi, istilah pemerintah terasa anakronis. Apalagi setelah kepala negara sampai kepala desa langsung dipilih rakyat. De facto demokrasi sudah menggantikan monarki, diktatorisme, ataupun komunisme. Maka, sebenarnya istilah pemerintah sudah kedaluwarsa!

Mereka yang disebut pemerintah di era reformasi seharusnya sadar, kepercayaan rakyat yang memilih mereka sebenarnya bukan merupakan hak, melainkan justru kewajiban dan tanggung jawab yang bisa dirangkum menjadi satu kata: amanah. Mereka yang dipilih rakyat sama sekali bukan untuk berhak main perintah kepada rakyat, melainkan justru tanggung jawab memberikan pelayanan kepada rakyat!
Apalagi setelah sistem perpajakan diwajibkan. Adalah konyol apabila rakyat yang sudah patuh membayar pajak masih harus patuh pada perintah mereka yang dipilih rakyat!
Rakyat
Mengenaskan. Di alam demokrasi yang serba kerakyatan, masih ada saja yang menganggap tugas dirinya bukan melayani, melainkan mengobral perintah. Jika rakyat tidak patuh, mereka yang menganggap dirinya pemerintah merasa kewibawaan dan kehormatan dirinya dilanggar. Akibatnya, mereka merasa berhak marah, bahkan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat yang berani membangkang!
Akibat menganggap keterpilihan oleh rakyat sebagai hak, bukan kewajiban, tidak sedikit yang merasa berhak untuk korupsi. Mereka menganggap uang rakyat dengan sendirinya menjadi hak diri pribadinya.
Asas pemerataan ternyata juga penting bagi kaum koruptor demi ringan sama dijinjing berat sama dipikul alias kebersamaan dalam hal memperoleh rezeki maupun musibah. Risiko asas pemerataan itu adalah dampak domino di mana suatu kelompok koruptor yang tumbang akibat ditumbangkan atau menumbangkan diri akan berdampak pada segenap pihak yang sempat menerima bagian pemerataan, dengan ikut terancam tumbang! Semua itu hanya akibat menganggap jabatan kepemerintahan adalah hak, bukan kewajiban.
Maka, secara psikososiologis, istilah pemerintah itu di samping anakronis sebenarnya juga merupakan salah satu sumber sikap dan perilaku yang keliru.
Merdeka
Salah satu alasan utama mengapa bangsa Indonesia memerdekakan diri adalah tidak ingin diperintah oleh bangsa asing. Sungguh ironis, setelah susah payah memerdekakan diri, ternyata bangsa Indonesia masih diperintah oleh pemerintah yang notabene bangsa sendiri.
Sebenarnya rakyat tidak butuh diperintah. Terbukti, petani rajin bertani tanpa ada yang memerintah. Nelayan setiap hari berlayar ke samudra demi menangkap ikan tanpa ada yang memerintah. Hanya karyawan perusahaan yang merelakan diri diperintah oleh pimpinan atau pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
Kakek saya mendirikan perusahaan jamu tanpa ada yang memerintah. Demikian pula ayah, paman-paman, saudara-saudara, dan saya sendiri meneruskan perusahaan keluarga atas kemauan masing-masing tanpa ada yang memerintah. Generasi IV perusahaan keluarga kami juga menerima estafet kepemimpinan atas kehendak mereka sendiri.
Hanya Direktorat Jenderal Pajak yang layak disebut pemerintah sebab memerintah, bahkan memaksa, perusahaan kami untuk membayar pajak. Kalau tidak diwajibkan—maka dinamakan: wajib pajak—jelas tidak ada yang sukarela sudi bayar pajak.
Kreatif
Diakui atau tidak, dalam kreativitas mencipta terminologi politik, Indonesia gemar berkiblat ke Amerika Serikat yang dalam hal berbahasa berkiblat ke bahasa Inggris. Istilah government dalam bahasa Inggris adalah kata benda yang berakar pada kata kerja to govern. Artinya bukan memerintah, tetapi justru lebih menjurus ke makna mengasuh.
Hakikat istilah pemerintah memang sudah anakronis dan berpengaruh tidak positif pada sikap dan perilaku mereka yang dipilih dan dipercaya rakyat untuk mengelola—bukan main memerintah—negara.
Oleh karena itu, sebutan yang sudah membasi alias busuk seyogianya diganti dengan istilah yang lebih tepat dan benar. Ini dilakukan agar lebih segar dan tidak menjerumuskan para pelakunya ke perilaku yang keliru.
Tersedia cukup banyak perbendaharaan kata pengganti pemerintah, mulai dari yang sesuai kenyataan tetapi terkesan kurang keren seperti pengasuh atau pelayan sampai yang terkesan lebih keren seperti penata laksana negara atau pengelola negara. Selain itu, berlimpah ruah istilah- istilah di benak para ahli bahasa Indonesia nan sohor kreatif bikin istilah itu. Pokoknya, asal bukan pemerintah.
Jaya Suprana Budayawan

Tidak ada komentar: